Kamis, 09 Agustus 2012

Papua: “Desperado”

Antie Solaiman, PENULIS DI PUSAT STUDI PAPUA UKI JAKARTA
Sumber : SINAR HARAPAN, 25 November 2011



Tiba-tiba pesan singkat masuk dari kawan di Lembah Wissel (Paniai), mengabarkan Brimob menembak lagi delapan warga di Kampung Degeuwo. Nama-nama mereka disebut jelas.
Warga di sekitar pendulangan emas sekarang meninggalkan lokasi, mengungsi. Degeuwo adalah kampung tambang emas. Ada dua hal yang sangat mendukakan hati, yakni dua kata ini: menembak dan lagi.

Logika mengarahkan kita pada kesimpulan: pertama, itu bukan kecelakaan (menembak!) dan kedua, itu adalah peristiwa yang ke sekian (lagi!). Penulis mengontak pejabat keamanan dan UP4B.

Ternyata mereka belum tahu peristiwa sadis pada Minggu itu. Di wilayah yang tenang itu, orang mengungsi bukan karena gempa, banjir, atau bom, tapi karena ada darah mengalir di kampung!

Kekerasan Tak Kunjung Usai

Dalam huruf China, “konflik” berarti bahaya dan kesempatan. Konflik memiliki dua sisi; negatif (bahaya) dan positif (kesempatan). Konflik adalah realitas yang kita hadapi dalam korelasi ekonomi, politik, dan budaya, dan berpeluang penuh untuk bertabrakan dalam perbedaan kepentingan.

Dari sisi positif, konflik adalah kesempatan: ia merupakan pintu menuju hadirnya kesadaran baru. Ada fase kehidupan baru yang masuk ke pertumbuhan kepribadian yang lebih sehat dan sejahtera.

Dalam perubahan sosial, politik, dan ekonomi, konflik berpotensial hadir. Jika konflik dikelola dengan bijak, sekalipun konflik itu bermuatan negatif, ia bisa diubah menjadi positif, yakni lahirnya sejumlah kesempatan.

Di Indonesia, konflik kebanyakan dimaknai negatif, sehingga dihindari berbagai pihak, baik individu maupun kelompok, bahkan aparat sendiri. Para analis membagi konflik dalam dua kelompok, vertikal dan horizontal.

Vertikal terjadi akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap cara-cara pemerintah menangani kesejahteraan, keamanan, dan lain-lain. Contoh konflik antara aparat keamanan atau pemerintah dengan massa dan mahasiswa yang masuk dalam kategori konflik vertikal adalah gerakan separatis, yakni kehendak memisahkan diri dari negara.

Konflik ini sebenarnya bermula dari tindak kekerasan (wakil) negara terhadap masyarakat di wilayah itu. Kemudian konflik makin mengakar sehingga berwujud menjadi separatisme.
Aceh dan Papua menjadi contoh, termasuk konflik antara negara dan masyarakat yang mengungkapkan protes dan ketidakpuasan terhadap institusi negara tanpa motif separatisme. Misalnya tragedi Wamena, Wasior, dan Paniai kemarin.

Konflik kekerasan juga dapat bersifat horizontal; antarsesama anggota masyarakat karena berbagai faktor; ekonomi, sosial budaya, politik, dan SARA. Konflik ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah yang tak adil. Sering ini disebut sebagai kekerasan komunal; kekerasan sosial antara dua atau lebih kelompok komunitas.

Di Papua kita melihat terlibatnya kekerasan terstruktur yang dilakukan pemerintah atau aparat negara terhadap warga. Konflik kekerasan terus berlanjut tanpa upaya penyelesaian secara damai.

Ini menyebabkan beberapa daerah konflik tetap menjadi daerah rawan konflik, seperti yang sekarang kita saksikan di Pegunungan Tengah (Puncak Jaya, Ilaga, Paniai) dan daerah perbatasan (Keerom, Arso).

Kekerasan aparat terhadap warga Papua selama puluhan tahun yang begitu masif dan tak pernah dipertanggungjawabkan telah menorehkan luka kolektif pada warga Papua.
Semua rentetan pembunuhan yang terjadi sejak Mei 2011 tak ada penjelasan. Bahkan Komnas HAM seperti takut-takut mengatakan apa yang sebenarnya ditemuinya (Konferensi Pers awal November). Nyata jelas bahwa ada pengerasan konflik; tak sekadar berlarut-larut, tapi seperti sudah membudaya.

Dalam pertemuan Agustus, Forum Akademisi untuk Papua mencatat rendahnya komitmen dan konsistensi pemerintah dalam hal otsus, regulasi-regulasi, dan penerapannya. Ini menyebabkan masyarakat makin rendah kepeduliannya. Mereka tiba pada apatisme. Dulu di Ambon ada yang dikenal sebagai the politics of neglect, rupanya ini juga sudah kita temui di Papua.

Persoalan Papua sudah berlapis: politik, ekonomi, matinya hukum, dan lain-lain. Ada banyak masalah yang menggerogoti tubuh Papua, seperti korupsi, penyelewengan wewenang, kepemimpinan yang lemah, dan tidak adanya kesatuan. Bahkan kemiskinan dan keterbelakangan menjadi faktor pemicu.

Tapi sebaliknya, kemiskinan dan marginalisasi bisa menjadi akibat. Selain itu, pembangunan di Papua telah gagal dilakukan pemerintah. Pendidikan, kesehatan, dan ekonomi orang Papua sangat rendah.

Padahal inilah dasar-dasar yang diperlukan untuk membuat manusia hidup tenang dan damai. Kebutuhan-kebutuhan dasar itu bersifat unnegotiable. Siapa pun yang memerintah Papua, ini harus dicatat menjadi nomor satu.

“Desperado”

Sampai saat ini, kekerasan (dan pembunuhan) terus berlangsung; aksi penggerebekan asrama mahasiswa Papua di Jakarta, Denpasar, dan Makassar oleh aparat keamanan (9 November), penembakan terhadap delapan warga di Paniai (13 November), penembakan mobil kontainer Freeport (16 November), dan entah apa lagi.

Banyak pihak mengecam, seperti Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Kontras, serta sejumlah LSM Peduli Papua seperti KNPB, Foker LSM Papua, KAMPAK, dan juga gereja (PGI dan KWI).

Kenyataan di atas membawa orang Papua pada keadaan desperado. Mereka putus asa. Seperti yang diteriakkan mereka dalam berbagai pertemuan, “Kami diam, dikejar dan dibunuh, lalu kami mati. Lebih baik kami melawan sekarang, meski harus mati.” Semua upaya yang mereka lakukan terasa buntu. Musuh sangat besar, yakni aparat keamanan atau “siluman” bersenjata.

Sementara ini keadaan di Papua sangat memprihatinkan. Warga ketakutan, tidak tahu siapa kawan dan siapa lawan. Takut ke luar rumah sendirian, takut “hilang” dan keluarga tidak tahu ke mana mencari. Polisi bukan lagi dirasa sebagai kawan.

Sesungguhnya kebebasan manusia adalah hal yang serba rumit. Karena kita dapat membeda-bedakan berbagai faktor dalam kebebasan, dan individu bergantung pada pengaruh dan kondisi, maka kebebasan sekaligus menjadi nilai yang paling lemah. Ia senantiasa terancam.

Artinya, dalam praktik selalu terjadi bahwa salah satu arti atau bentuk kebebasan diceraikan dari keseluruhannya, atau terlalu ditekankan, bahkan dimutlakkan. Orang dapat menekankan kebebasan satu aspek sedemikian berat sebelah, sehingga keharmonisan yang semestinya ada dirusak.

Dalam hal ini Papua terlalu banyak diberi “pengetatan” politik, sehingga negara menempuh kebijakan untuk tidak atau semakin mengurangi penyerahan kebebasan kepada warga. Sedikit ada “gerakan” direspons dengan pemeriksaan dan sweeping. Ini membuat warga hidup dalam ketakutan.

Memang dirasakan tidak adanya pemimpin yang tampil membela, yang berani pasang badan untuk warga. Tidak ada pemimpin yang bisa dipercaya untuk mengintegrasikan semua aspirasi warga. Sangat tragis, karena ketika ketakutan dan ketegangan itu muncul, Papua disiram dengan uang. ●

Ironi Kehidupan di Timika

ozep Ojong, DOKTER YANG BERTUGAS DI PAPUA SEJAK 1983, KINI MENETAP DI TIMIKA
Sumber : SINAR HARAPAN, 26 November 2011


Ketika seseorang berkata dia tinggal di Timika, yang pertama terlintas di benak penulis adalah Freeport.

Memang Kota Timika identik dengan Freeport, perusahaan Amerika Serikat yang mengelola tambang tembaga dan emas raksasa kaliber dunia, dan Timika memang timbul karena kehadiran perusahaan tersebut. Produk Domestik Bruto Kabupaten Mimika hampir seluruhnya (96 persen) bergantung dari Freeport.

Kehadiran perusahaan tersebut jelas tampak begitu mendarat di Bandara Internasional Mozes Kilangin, Timika. Sejumlah pesawat dan helikopter berlogo Airfast milik perusahaan itu tampak di landasan, siap menerbangkan para karyawan perusahaan ke berbagai penjuru di Nusantara saat cuti.

Kota tujuan itu bisa Manado, Ambon, Ujung Pandang, Denpasar, Surabaya, Solo, dan Jakarta, maupun sejumlah tujuan di pedalaman Papua, maupun Jayapura dan Biak.

Bandara tersebut dibangun dan dimiliki Freeport lengkap dengan prasarana dan sarana bandara internasional. Pesawat B 737 Garuda, Merpati yang menggunakan mesin jet maupun pesawat baling-baling milik Trigana, Susi Air, MAF, dan AMA, semua bergantung pada pengisian avtur milik Freeport.

Kantor Imigrasi, Kesehatan Pelabuhan, dan berbagai konter penerbangan dibangun Freeport. Di sebelah bandara pun hadir hotel berbintang yang dibangun Freeport.

Keluar dari kompleks bandara akan tampak banyak kendaraan bernomor lambung milik perusahaan, baik jenis LV Toyota, bus penumpang warna oranye, maupun trailer raksasa.
Bila menuju ke Kota Kuala Kencana, kota yang penghuninya para karyawan, kita akan melintasi jalan beraspal kualitas tinggi yang dibangun perusahaan. Dalam perjalanan ke Kuala Kencana akan terlihat kantor-kantor pemerintahan, perumahan DPR, kantor DPR, Gereja Katedral, rumah sakit modern bagi masyarakat, dan tangsi tentara dan polisi, yang sumber dananya tidak lepas dari peran perusahaan.

Praktis hampir seluruh hasil pembangunan di Timika ada kaitannya dengan Freeport. Pelabuhan Pomako, tempat bersandarnya kapal-kapal Pelni dan kapal barang dari Jawa, juga dibangun dengan bantuan dari perusahaan.

Memang Freeport telah hadir sejak 1969 di bumi Mimika, sebab itu logis bahwa berbagai aspek pelayanan umum sejak awal didukung perusahaan, seperti pelayanan kesehatan melalui puskesmas, pendidikan melalui sekolah, pelayanan pemerintah di kantor kecamatan beserta program transmigrasinya, maupun pembangunan gerejanya.

Awal Mula Timika

Awal 1980-an,Timika hanyalah kecamatan kecil dengan kelompok-kelompok permukiman. Orang Papua yang bermigrasi dari pegunungan menetap di Desa Kwamki Lama, sedangkan para pendatang menetap di pusat Kecamatan Timika, tempat mereka membangun rumah, toko, hotel, pasar, sekolah, puskesmas, tempat ibadah, dan sebagainya.

Saat itu tidak ada tata kota dalam membangun Timika. Beberapa kilometer dari kota kecamatan ada beberapa Satuan Permukiman (SP), tempat para transmigran yang didatangkan dari Jawa sejak awal 1980-an menetap, seperti SP1, SP2, SP3, dan SP4.
Waktu itu tidak ada yang menyangka kota kecamatan kecil berpenduduk hanya beberapa ratus orang di kemudian hari bisa menjadi daya tarik bagi puluhan ribu pendatang yang mengadu nasib mencari nafkah.

Saat itu para pendatang dalam memperoleh sepetak tanah ukuran 1.000 m2 hanya perlu bernegosiasi dengan tokoh adat untuk pelepasan hak ulayat tanah adat dengan membayar ala kadarnya, lalu sudah dapat mulai mematok batas tanahnya dan mulai membangun rumahnya.
Itulah uniknya Timika, kota yang timbul dalam kurun waktu singkat dari kota kecamatan berpenduduk sekian ratus pada awal 1980 dan mencapai 100.000 dalam kurun waktu 20 tahun. Gelombang migrasi terjadi beberapa kali.

Gelombang awal migrasi terjadi setelah gejolak kerusuhan di Papua tahun 1977 dengan eksodusnya orang suku Amungme dari pegunungan, kemudian dilanjut dengan para transmigran tahun 1980-an.

Migrasi besar kedua terjadi setelah ditetapkan Kabupaten Administratif Mimika 1996 dengan para pendatang dari Sulawesi, Flores, dan Kepulauan Kei bersama suku-suku Papua pegunungan lain, seperti suku Dani, suku Me, dan suku Damal.

Gelombang migrasi terbesar terjadi pada 2000-an bersamaan terjadi konflik di Ambon, lepasnya Timor Timur, dan pascakrisis moneter, yang sebagian besar datang berasal dari Jawa. Mereka tiba dengan pesawat udara maupun kapal laut. Dengan begitu, di Timika dapat ditemukan berbagai suku yang ada di Indonesia yang membaur dengan orang-orang Papua.
Tidak sampai lima tahun kemudian, seiring perkembangan pesatnya, kabupaten administratif ini ditingkatkan statusnya menjadi kabupaten definitf, jadi usia kabupaten Mimika hasil pemekaran dari Kabupaten Fakfak relatif masih muda dengan Timika sebagai kota utamanya.

Dampak Migrasi

Akibat pertumbuhan penduduk yang beratus-ratus persen, infrastruktur Kecamatan Timika kewalahan. Listrik yang sebelumnya hanya untuk beberapa ratus rumah tidak lagi memadai bagi kebutuhan kota kabupaten, demikian juga jaringan telepon, kunjungan puskesmas membeludak, daya tampung sekolah melebihi kapasitas, dan beban kerja di berbagai kantor pemerintah meningkat pesat.

Dampak pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi yang sebagian besar adalah para pencari kerja akhirnya mengakibatkan tingginya angka pengangguran, karena pada umumnya para pencari kerja ini tidak memiliki keterampilan.

Tukang ojek pun pekerjaan paling mudah selain prostitusi. Penyakit HIV yang sebelumnya tidak dikenal pada tahun sebelum 2000, kini menjadi tertinggi di Papua dan Indonesia.
Masuknya prostitusi diikuti ekses negatif lain, seperti bebasnya peredaran minuman keras, perjudian, dan narkoba. Pencurian makin marak terutama barang perusahaan baik yang berupa bahan makanan, alat-alat perkantoran, mesin-mesin perusahaan, maupun emas.

Di Timika dapat dengan mudah membeli barang-barang yang berasal dari perusahaan dengan harga miring. Hutan pun menjadi lahan uang baik karena tingginya permintaan kayu untuk perumahan. Uang dengan mudah diperoleh bagi yang jeli melihat peluang, berani menempuh segala risiko, dan dapat mengatur hukum.

Akibat tingginya peredaran uang, baik dari makin banyaknya keluarga karyawan yang menetap di Timika maupun dari berbagai bisnis yang timbul dengan kehadiran perusahaan, harga barang-barang menjadi mahal.

Akibat tidak terkejarnya kenaikan biaya hidup, semua bercita-cita menjadi karyawan perusahaan walau hanya sebagai petugas kebersihan. Sebagai ilustrasi, gaji petugas cleaning service di Freeport dapat mencapai Rp 10 juta sebulan.

Bisnis Emas

Sejak awal beroperasinya perusahaan ini, hasil tailing yang mengalir ke laut tidak pernah terpikir untuk didulang, namun dengan datangnya orang dari Jawa, profesi pendulang marak berkembang.

Awalnya, hanya orang Papua yang boleh mendulang, namun seiring dengan makin tingginya pengangguran di Timika, kini para pendatang pun mendulang di sepanjang kali yang mengalirkan sisa pembuangan pabrik Tembagapura yang terletak 100 kilometer ke hulu.

Hasilnya lumayan untuk ukuran penganggur, dapat mencapai 10 gram sehari bagi yang mahir. Pendulang kini menjadi primadona mata pencarian penganggur, dan bisa jadi jumlah pendulang kini sama jumlahnya dengan separuh para karyawan Freeport.

Bisnis toko-toko emas di Timika pun bertebaran untuk menampung emas-emas itu. Perputaran emas di Timika dapat mencapai 10 kg sehari di toko-toko emas bila jumlah pendulang sebanyak itu.

Kini perusahaan ini bukan saja menjadi tempat pemberi kerja bagi mereka yang ahli dan terampil, namun juga bagi mereka yang tidak terampil. Merekalah yang menggerakkan roda kehidupkan Kota Timika dan Kabupaten Mimika.

Timika bagaikan gula yang menjadi daya tarik bagi semut-semut dari seluruh Nusantara. Kini, bisa jadi penduduk Timika sudah melebihi sensus resmi kependudukan yang mencapai 200.000 jiwa.

Sisi Ironis

Namun gemerlapan uang yang beredar di Timika hanya bagai kilauan bagi para pegawai negeri, transmigran, tukang ojek, dan orang Papua yang termarginalkan.

Para petani di permukiman transmigrasi akhirnya tergoda meninggalkan mata pencarian mereka karena hasil perolehan pekerjaan lain lebih menjanjikan. Bidang pertanian dan perkebunan menjadi tidak menarik lagi. Terjadilah kenaikan harga sayur-mayur.

Tingginya biaya kehidupan menyebabkan para PNS juga terpaksa mencari pekerjaan tambahan yang berakibat tidak optimalnya roda pemerintahan. Orang Papua menjadi termarginalkan dan terjadilah potensi gejolak konflik sosial yang menjelaskan mengapa di Timika sering terjadi berbagai konflik kepentingan.

Para pendatang baru yang tidak mempunyai tabungan akan hidup dalam kemiskinan, dan para karyawan tempat-tempat usaha kecil dan toko-toko setempat harus hidup ala kadarnya.
Namun dari segi Pendapatan Asli Daerah untuk Mimika dan Papua, baik dari retribusi, royalti, maupun pajak sangat meningkat pesat. Kabupaten Mimika kini menjadi kabupaten terkaya di Papua.

Kini dengan adanya pemogokan karyawan yang berakibat pada terhentinya produksi tambang praktis segala aspek kehidupan Timika mulai redup, dan ini juga berdampak pada perekonomian di Papua. ●

Bukan “Centeng Freeport”

Febridiansyah, PENELITI ICW
Sumber : KOMPAS, 21 November 2011


Kemelut masih terjadi di Papua. Sebuah afiliasi perusahaan tambang internasional yang berkantor pusat di Phoenix, Arizona, AS, sedang menuai masalah yang tidak kecil. Salah satunya tentang dana keamanan Freeport yang diberikan kepada aparat Indonesia.
Setelah pada tahun 2005 Global Witness dan (almarhum) Munir dari Kontras pernah mempersoalkan dana untuk ”ten - tara Freeport” tersebut, sekarang persoalan itu muncul kembali.

Polri mengakui adanya dana keamanan dari Freeport. Pihak perusahaan tak membantah. Bahkan, Mabes Polri mengatakan dana tersebut sah secara hukum, tak akan berhenti menerima meski dikritik banyak pihak. Di sisi lain, Komnas HAM tegas mengatakan, dana itu ilegal. Di Amerika, United Steelworkers mengirimkan surat ke Fraud Section di Departemen Kehakiman AS agar memeriksa apakah dana ini merupakan korupsi seperti diatur dalam US Foreign Corrupt Practices Act. Bagaimana kita membaca fakta-fakta ini?

Obyek Vital

Jika dicermati, kita bisa menemukan sejumlah kejanggalan. Dalam jawaban resmi Polda Papua kepada Kontras dikatakan bahwa ada 635 personel keamanan ditugaskan untuk pengamanan obyek vital (Freeport). Untuk pengamanan tersebut ada kontribusi perusahaan Rp 1.250.000 per orang per bulan. Jika dihitung, selama satu tahun satgas pengamanan tersebut menerima Rp 9,525 miliar.

Bandingkan dengan catatan Laporan Keuangan Freeport yang tak dibantah oleh Polri. Ada alokasi dana keamanan 14 juta dollar AS atau sekitar Rp 126 miliar pada tahun 2010. Dikatakan, Polri siap diaudit dan terbuka untuk penggunaan dana tersebut dan dana itu secara riil langsung diberikan kepada anggota di lapangan.

Benarkah? Jika dicermati, ternyata dana yang diterima secara langsung oleh anggota Polri dan TNI di lapangan hanya 7, 56 persen. Masih ada selisih lebih dari Rp 116 miliar. Ke mana dan siapa penikmat dana 92,44 persen lainnya?

Polri bisa saja menjawab bahwa dana itu juga digunakan untuk kepentingan lain. Akan tetapi, sistem keuangan kita menghendaki sebuah mekanisme penerimaan dan pertanggungjawaban lebih rinci dan terbuka. Di titik inilah penggunaan dana tersebut harus diperiksa instansi yang berwenang, seperti BPK atau BPKP. Setelah mengurai kejanggalan dari aspek aliran dana, pertanyaan paling serius sebenarnya adalah: apakah dana keamanan tersebut sah? Polri mengatakan sah, menggunakan Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional. Mereka akan terus menerima dana dari Freeport selama belum ada keppres baru. Logika yang menurut saya harus dikoreksi. Kenapa?

Benar bahwa keppres yang diturunkan pada Keputusan Menteri ESDM Nomor 1762K Tahun 2007 menyebutkan ada 126 obyek vital nasional di Kementerian ESDM. Namun, aturan ini tak bisa jadi dasar bagi institusi mana pun memungut atau menerima dana di luar ketentuan keuangan negara. Bayangkan jika setiap departemen atau lembaga negara bisa memungut uang di semua obyek vital pada semua departemen, lalu dana itu tak dipertanggungjawabkan dengan mekanisme audit atau mekanisme keuangan negara yang ada. Jika itu terjadi, ini adalah lubang besar yang potensial korup. Ingat, sejumlah kasus korupsi sudah diproses secara hukum terkait dana-dana nonbudgeter yang dikelola oleh lembaga negara.

Pasal 4 Ayat (2) Keppres No 63/2004 justru mewajibkan Polri memberikan bantuan keamanan. Kenapa tertuju pada obyek vital? Pasal 2 keppres ini menyebut karena obyek vital tersebut punya arti penting bagi kebutuhan masyarakat, pemerintahan, dan bahkan kemanusiaan atau kepentingan umum. Untuk itulah Polri ditugaskan melakukan pengamanan. Hal ini pun sesuai dengan UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dana Centeng?

Banyak pihak menyoroti aspek independensi Polri jika menerima dana dari perusahaan. Itu benar, tetapi ada persoalan yang lebih mendasar: apakah boleh institusi negara menerima dan memungut uang dari masyarakat atau swasta di luar mekanisme keuangan negara? Tidak! Pasal 23A UUD 1945 melarang adanya pajak atau pungutan kecuali diatur dengan undang- undang. Kenapa undang-undang? Karena di sana ada keterlibatan rakyat melalui DPR untuk menentukan pungutan yang akan membebani mereka. Namun, argumen ini akan dibantah: bukankah dana dari Freeport itu sumbangan sukarela? Mari bertanya, jika Freeport tak memberikan dana 14 juta dollar AS, apakah akan diturunkan 635 aparat untuk mengamankan Freeport?

Aturan tentang penerimaan dana di luar pajak itu bisa kita lihat dalam UU No 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Di kepolisian sendiri, tarif dan jenis PNBP ini diatur rinci dan terbatas dalam PP No 31/2004. Polri hanya bisa menerima PNBP dari tujuh sumber, yaitu SIM, STNK, tes klinik mengemudi, BPKB, STCK, TNKB, dan izin senjata api.
Tak ada aturan Polri boleh menerima dana dari jasa pengamanan obyek vital, apalagi masyarakat tidak pernah tahu penggunaan dana tersebut secara rinci dan apakah dana itu disetor ke kas negara.

Hal-hal seperti ini sangat sensitif dan rawan korupsi. Tak bisa dibayangkan jika institusi negara tanpa dasar hukum yang kuat memungut atau menerima dana. Dari aspek PNBP sebenarnya juga dimungkinkan adanya penerimaan dalam bentuk hibah dari pemerintah dan swasta dalam atau luar negeri. Hal ini diatur dalam Pasal 2 Huruf (f) UU PNBP. Namun, dana-dana tersebut wajib disetor ke kas negara dan seluruhnya dikelola dengan sistem APBN (Pasal 3 dan 4 UU PNBP). Apakah mekanisme dana keamanan dari Freeport sudah memenuhi aturan tersebut? Tidak!

Selain dari aspek PNBP, kita perlu menganalisis dari aspek gratifikasi yang diatur dalam UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi. Menarik ketika dalam buku saku KPK Memahami Gratifikasi disebutkan: gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas. Memang tak semua gratifikasi bisa dipidana, tetapi pada contoh keenam, KPK menegaskan, jika ada pemberian hibah dari BUMN atau swasta terhadap Polri, kejaksaan, atau instansi pemerintah lainnya, dana tersebut tidak bisa langsung diterima, tetapi harus dilaporkan ke KPK agar ditetapkan sebagai milik negara dan kemudian disalurkan dan digunakan melalui persetujuan Menteri Keuangan.

Persoalan ini tidak boleh mengambang karena potensi korupsinya sangat tinggi. Presiden sebagai pemimpin di eksekutif tidak bisa lepas tanggung jawab terhadap fenomena ini. Pertanggungjawaban secara administrasi keuangan dan hukum juga harus dilakukan. Selain itu, jika memang ada persoalan kekurangan anggaran, hal ini pun harus diselesaikan. Aparat keamanan kita jelas bukan ”centeng Freeport” atau perusahaan mana pun. ●

"Fairport", Bukan Freeport

Effendi Gazali, PENELITI KOMUNIKASI POLITIK
Sumber : KOMPAS, 15 November 2011


Tiba-tiba Presiden SBY menyatakan, ada pihak-pihak yang tak waras. Entah kepada siapa pernyataan itu ditujukan. Saya menonton langsung siarannya di TVRI. Situs Presiden pun mengutip pernyataan Pak Beye di sela-sela arahan untuk rapat terbatas membahas Papua di Kantor Presiden (9/11/2011).

Lengkapnya, Pak Beye menyebut tidak waras kalau ada yang menuduh pertemuannya dengan Sri Mulyani sebagai ”Konspirasi Century”. Juga kedatangannya ke acara HUT Golkar yang dianggap sebagai ”Konspirasi Lapindo”. Ia pun membandingkan ”ketidakwarasan” pihak yang mengkritik atau menuduhnya dengan ”kewarasan” pihak luar negeri yang justru mengapresiasi apa yang sudah dilakukan pemerintah.

Fenomena komunikasi politik waras dan tak waras ini jadi menarik karena beberapa pertimbangan. Pertama, ini ungkapan yang terasa tegas dan keras dari Pak Beye. Jika dianalogikan pada zaman Pak Harto, kira-kira ungkapannya seperti: ”Tak gebuk!”

Kedua, rapat terbatas di Kantor Presiden itu sebetulnya dikhususkan untuk membahas Papua; tetapi yang terdengar nyaring keluar adalah bantahan defensif soal Bank Century dan Lapindo. Ini pun sebuah sinyal bahwa pemerintah tidak fokus pada persoalan Papua.

Ia dengan gampang tergeser oleh sesuatu yang dianggap lebih ”panas”. Akibatnya, kewarasan atau ketidakwarasan cenderung dipertarungkan pada isu-isu lain, bukan pada substansi Papua itu sendiri!

Ketiga, rupanya dalam komunikasi politik, pemimpin di Indonesia sering sekali dipertentangkan antara kewarasan pihak di antara rakyat Indonesia dan pihak di luar negeri. Perbandingan ini dibuat begitu linier seakan kedua pihak memiliki kepentingan yang persis sama terhadap tanah dan air Indonesia.

”The Other”

Dari poin-poin di atas, tampak kesan bahwa Papua diposisikan oleh pemerintah kita sebagai ”the other”. Katakanlah semacam fenomena ”bukan (persis) saya atau kita”. Walhasil, mereka tidak fokus ke sana. Dengan begitu, tentulah tak bisa merasakan persis dukanya (kalau memetik sukanya mungkin ada). Namun, ini tidak hanya eksklusif untuk elite politik. Untung ada rekan-rekan dari Walhi, Jaringan Advokasi Tambang, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), serta pemerhati HAM lain. Namun, untuk—ambil contoh—sebagian aktivis mahasiswa, tema ini masih relatif bagaikan isu ”the other”.

Kewarasan aneka pihak tentang ”the other” ini juga jauh berbeda! Beberapa sumber menghitung, kurun waktu 1967-2010 (43 tahun), penambangan Freeport sudah menghasilkan 7,3 juta ton tembaga plus 724,7 juta ton emas. Hitung-hitungan mereka menyebutkan, setiap tahun, Freeport mendulang hasil penjualan Rp 8.426,744 triliun. Setelah dipotong bermacam-macam biaya, hasil bersih sekitar Rp 8.000 triliun per tahun. Bandingkan dengan volume APBN kita (Rp 1.202 triliun).

Nah, berapa yang diperoleh Indonesia? Salah satu sumber adalah Hatta Taliwang, mantan anggota DPR yang rajin mengumpulkan data untuk kewarasan rakyat versinya. Menurut Taliwang, Indonesia hanya mendapat sekitar 1 persen atau Rp 80 triliun per tahun. Sebagian media bahkan memperkirakan Rp 15 triliun-Rp 20 triliun setiap tahun.

Saya tak mengatakan sumber ini yang benar. Pasti segera akan ada yang menyebut perhitungan nan beredar luas di media sosial tersebut naif. Situs Freeport, misalnya, menyatakan, sejak dimulainya kontrak yang berlaku saat ini dengan pemerintah pada 1992, manfaat langsung bagi Indonesia seluruhnya mencapai lebih dari 8 miliar dollar AS. Kontribusi tak langsung, antara lain, berupa investasi senilai lebih kurang 6 miliar dollar AS pada berbagai proyek. Di luar itu, ada pembelian barang dan jasa dalam negeri serta dana kemitraan. Belum lagi dana untuk kepolisian yang belakangan bikin heboh.

Persoalan utamanya, jika reduction of uncertainties menjadi salah satu prinsip utama komunikasi politik, siapakah yang pernah jadi mediator independen dari perbedaan kewarasan ini? Jika belum ada, kewarasan versi saya (sebagai contoh) membayangkan seharusnya Papua itu sudah tumbuh begitu rupa sehingga saat kita mendarat di sana kita seperti menyaksikan emirat bernama Abu Dhabi! Inilah kewarasan yang amat mungkin didukung oleh kewarasan rakyat biasa lainnya. Masih banyak kewarasan lain yang terlihat bertentangan tajam. Pemerintahan Pak Beye sering menyatakan, hanya terjadi pelanggaran HAM kecil di Papua. Sementara Kontras punya data tentang pelanggaran-pelanggaran serius berbasis pada laporan (kewarasan) warga. Koordinator Kontras Usman Hamid dengan tegas menyatakan, mereka juga mencatat dan bersuara sekalipun yang jadi korban adalah aparat.

”Fairport”

Sekarang ini mengerucut soal kewarasan domestik dan luar negeri. Jelang terpilihnya Obama, November 2008, dalam berbagai diskusi di Indonesia ataupun di AS, saya terus mengilik soal Papua dan Freeport. Untuk Indonesia, setidaknya isu ini bisa jadi indikator untuk membuktikan apakah Obama memang lebih hebat (baik) dari Bush Junior. Tak mungkin Obama tak tahu soal kewarasan yang berbeda-beda ini. Faktanya, saat Obama datang ke Indonesia, tidak nyaring kita dengar kata-kata ”Papua” (di luar kata-kata pulang kampung, sate, bakso, dan lainnya).

Yang lebih substansial justru apa yang disampaikan Richard Greene, penulis buku Words that Shook the World. Ia datang pada saat yang sama dengan Obama dan memberikan kuliah umum ”Komunikasi Politik Seorang Pemimpin” (9/11/10). Greene tuntas menyatakan, ”Poin utama dalam komunikasi politik adalah kejujuran dan ketulusan. Tanpa itu, politisi hanya akan dipandang sebagai manipulator.” Untuk aneka kasus yang berat, ia memberikan tips mengedepankan keterbukaan tentang beratnya hal tersebut dengan tidak melebih-lebihkan dan tidak memiliki agenda manipulatif. Terhadap krisis Papua—menurut hemat saya—jangankan pemimpin Indonesia, Obama pun mungkin belum pernah menjalankan tips ini.

Berangkat dari pemikiran Richard Greene, sebagian pencinta makna mungkin mulai berharap posisi Freeport di Papua seharusnya berganti menjadi ”Fair- port”. Keadilan dan kejujuranlah yang harus jadi referensi menentukan sebesar-besarnya manfaat alam tersebut untuk (sesuai dengan kewarasan) rakyat Papua, bangsa Indonesia, pemimpin Indonesia, para pemilik perusahaan tambang, sampai ke Obama Sang Penerima Nobel Perdamaian!

Akhirnya, mungkin bangsa ini boleh bermimpi tentang sebuah isyarat, misalnya pada peringatan kemerdekaan RI di Istana. Jika kita sayang Papua, selain lagu-lagu wajib dan tambahan lagu-lagu Pak Beye, semestinya sudah lama ada lagu pendamping tentang Papua. Bayangkan kalau warga Papua mendengarkan di akhir acara yang sakral tersebut mengalun syair seperti (lagu ”Aku Papua” Franky Sahilatua), Tanah Papua, tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi. Seluas tanah, sebanyak batu, adalah harta harapan.

Pasal 33, Freeport, dan Papua

Sri-Edi Swasono, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI UI
Sumber : SINDO, 1 Januari 2012


Dasar hukum penanaman modal asing di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967.

Pada 1968, mahasiswa Indonesia di AS yang tergabung dalam Permias dan dike- tuai Tony Agus Ardie menyambut positif UU No 1/1967. Bekerja sama dengan KBRI di Washington DC dan Konsulat Jenderal RI di San Francisco, Permias mengadakan seminar ”Investment in Indonesia” untuk mendorong pengusaha AS berinvestasi di Indonesia. Selaku Ketua Permias Cabang Pittsburgh, saya menolak hadir. Merasa tak sreg. Insting saya: UU ini awal kembalinya kapitalisme asing di Indonesia.

Mengapa UU No 1/1967 diteken Presiden Soekarno, yang sebelumnya meneriakkan go to hell with your aid kepada kapitalis-imperialis Barat, bahkan keluar dari keanggotaan di PBB?

Barangkali Presiden Soekarno ditekan atau mungkin kompromistis karena Pasal 4, 5, dan 6 UU No 1/1967 masih menegaskan bidang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak (Pasal 33 UUD 1945), yang secara eksplisit dinyatakan tertutup bagi modal asing, yaitu pelabuhan; produksi, transmisi, dan distribusi listrik untuk umum, telekomunikasi; pelayaran; penerbangan; air minum; kereta api umum; tenaga atom; dan media massa.

Kemudian terbukti UU No 1/1967 menjadi awal dominasi asing, ”dikasih hati, minta ampela pula”. Sejak 1982 merebak peraturan perundang-undangan deregulasi ekonomi yang samar-samar melanggar Pasal 33 UUD 1945.

Selanjutnya PP No 20/1994 mulai terang-terangan membabat nasionalisme ekonomi yang masih dipangku UU No 1/1967. Porsi pemilikan saham Indonesia dicukupkan 5 persen dalam berpatungan dengan investor asing. Indonesia sejak itu jadi lahan eksploitasi perusahaan asing.

Dan, 40 tahun kemudian, Tony Agus Ardie selaku tokoh Kadin dan Hippi menolak RUU yang menyetarakan investor asing dengan investor nasional. Kesetaraan sok imparsial ini justru diskriminatif terhadap anak-negeri yang masih lemah. RUU itu jadi UU No 25/2007 yang menggelar karpet merah buat investasi asing.

Catatan pribadi saya kepada Tony Agus Ardie dan almarhum Hartojo Wignjowijoto tentang kehadiran Presiden Obama di Kampus UI tahun lalu, ”Bung, meski saya tak bilang mereka mirip inlander, kalian dan saya boleh heran, ketika Presiden Obama mengawali uluk salamnya ’Pulang kampung nih’, kok mereka berlebihan bersorak-sorai kegirangan. Namun, tak semua ramah murah macam itu. Ada sekelompok mahasiswa menyiapkan spanduk bertuliskan ’Please no double standard Mr Obama, your Freeport destroys our environment’. Ini sopan dan intelektual.”

Kelengahan Ideologis

Derasnya investasi asing ke Indonesia memang problematik. Dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945, UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara tak sekadar mewajibkan para investor asing dalam pertambangan mineral merenegosiasi kontrak kerja, tetapi juga wajib melaksanakan perintah UU. UU No 4/2009 menyebutkan enam isu strategis: luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara, kewajiban divestasi, kewajiban pengolahan dan pemurnian, serta kewajiban penggunaan barang dan jasa dalam negeri.

Kontrak kerja generasi I tahun 1967 dengan PT Freeport Indonesia (FI) diperbarui dengan kontrak kerja generasi II pada 1991. Namun, pembaruan tak optimal keuntungannya bagi Indonesia. Kita lengah melulu. UU No 4/2009 mengamanatkan perlunya negosiasi ulang kontrak semua perusahaan tambang asing.

Saham PT FI 90,64 persen dikuasai Freeport McMoran Copper and Gold dan 9,36 persen dikuasai Pemerintah Indonesia. Terkait UU No 4/2009, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada akhir September 2011 mengakui 65 persen dari 118 perusahaan tambang setuju dan 35 persen masih dalam tahap negosiasi, salah satunya PT FI yang terang-terangan ogah-ogahan. Bahkan diberitakan, Direktur PT FI Armado Mahler dan Juru Bicara PT FI Ramdani Sirait menegaskan tak ada yang salah dalam kontrak kerja: sudah cukup adil bagi sesama pihak.

Kelengahan ideologis DPR dan pemerintah sebagai pembuat UU plus rakusnya imperialisme korporasi PT FI, sebagai wujud baru kolonialisme Eropa abad-abad lalu, tak saja telah mengakibatkan tak ber- akhirnya kepedihan hidup dan ”keterting- galan” saudara-saudara kita di Papua, tetapi juga merupakan pembiaran atas compang-campingnya kedaulatan negara.

Mestinya pemerintah malu telah lalai menyejahterakan rakyat sendiri di sekitar lokasi pertambangan PT FI di Pegunungan Ertsberg dan Grasberg yang superkaya logam mulia. Tindakan ekstraordinari penyejahteraan dan pembahagiaan rakyat Papua harus segera dibuktikan hasilnya. Kekerasan terhadap rakyat Papua harus distop. Salah asuhkah aparat kita yang semena-mena melakukan kekerasan terhadap rakyat demi apa dan demi siapa? SBY jadi sangat tak populer karena kelakuan aparat dan pembiaran seperti ini.

Teringat pada pertemuan saya dengan PM Xanana Gusmao pada 2010 di pesang- grahannya, saya menasihatinya mengemban doktrin kemerdekaan nasional agar benar-benar menjadi master (tuan) di negeri sendiri. Jawabnya, ”Tentu, jangan kita sekadar menjadi master of ceremony.”

Ia benar. Jangan kita hanya mengantar tuan-tuan asing duduk di kursi VIP, mengedarkan daftar hidangan, mengobral SDA, dan menyilakan memilih hutan mana, tambang apa, lahan di mana, serta infrastruktur apa. Korupsi telah menyebar ke segala tingkat birokrasi pusat dan daerah. Artinya, rezim merampok negara.

Meningkatkan Pemilikan Saham

Negosiasi ulang kontrak kerja harus berdasarkan Pasal 33 UUD 1945. Kita tak anti-asing. Kita batasi investasi asing agar tak mendominasi ekonomi nasional. Arah negosiasi ulang adalah meningkatkan bertahap pemilikan saham untuk cabang produksi yang penting bagi negara: minimal Indonesia 51 persen. Jadi, idiom ”dikuasai oleh negara” akan mangkus terwujud.

Jangka waktu kontrak kerja dipendekkan, mengakhiri model konsesi, lalu mengubahnya menjadi kontrak bagi hasil. Selama kontrak kerja berjalan, royalti ditingkatkan dua kali lipat. Peran menentukan manajer Indonesia ditingkatkan. Pengelolaan perusahaan dan proses produksi harus transparan.

Mahkamah Konstitusi perlu lebih memahami roh dan misi kemerdekaan Indonesia. Konstitusi tak sekadar rentetan kata-kata. Kecanggihan jangan tereduksi sikap the King can do wrong. Komisi Hukum Nasional harus proaktif nasionalistis. Demikian pula ISEI: tak berpang- ku tangan jadi organisasi yang terkesan abai terhadap imperativisme ekonomi konstitusi. Jangan sampai ISEI memilih berpedoman pada silabus ruang kelas yang penuh dengan hegemoni akademis. ●

Monster Pertambangan

Ferdy Hasiman, PENELITI DI INDONESIA TODAY
Sumber : KOMPAS, 5 Januari 2012


Korporasi berwajah tambang mendapat penolakan masif warga lingkar tambang. Penolakan masif itu terjadi di NTT, Papua, dan Kalimantan. Terakhir adalah penolakan warga Bima, NTB, terhadap tambang emas PT Sumber Mineral Nusantara.

Dengan demikian, gerakan antitambang sebenarnya hampir terjadi di seluruh Indonesia. Pemicu penolakan tersebut adalah konflik pengelolaan sumber daya alam yang diberikan secara serampangan pemerintah daerah.

Lebih dari itu, resistensi terjadi lantaran warga tidak pernah mendapat pemahaman sempurna berupa sosialisasi seputar baik buruknya sektor pertambangan. Protes warga muncul ketika mesin-mesin raksasa menggerus hak ulayat masyarakat adat, alam dirusak, tanah pertanian dan hutan lindung disabotase hanya untuk pertambangan.

Kematian warga sekitar tambang (seperti di Bima) semakin mendaulatkan korporasi bak monster raksasa menakutkan. Korporasi-korporasi itu ingin mengamputasi individu dari tubuh organis, membiarkan warga hidup di luar kandungan ibu, dan melemparkan mereka ke dunia penuh bahaya.

Warga tak layak lagi bangga atas tanah mereka. Budaya dan kearifan lokal tidak pernah diperhitungkan dalam kontrak pertambangan, kecuali soal laba eksploitasi tambang.

Dalam konteks ini, penolakan investasi pertambangan merupakan renungan yang menyentuh eksistensi hidup manusia. Hidup bukan untuk hari ini saja, melainkan merentang ke masa depan. Hidup tidak hanya berlangsung di atas gelimang kemewahan bahan tambang yang hanya dinikmati segelintir manusia, tetapi terkait keberlanjutan generasi.

Sayangnya, gerakan warga lokal selalu lumpuh berhadapan dengan korporasi yang sejauh ini selalu keluar sebagai pemenang karena memiliki akses terhadap kekuasaan.

Ironis, memang! Aparat yang sejatinya menjadi pelindung warga berubah menjadi pemangsa. Warga lokal yang ingin dilindungi hak sipil, politik, dan ekonomi, sosial, dan budaya melalui penerapan otonomi daerah mulai tergusur dari pembangunan.

Padahal, otonomi daerah didesain agar kearifan lokal bisa digarap. Untuk itu pulalah pemda diberi wewenang mengurus administrasi dan keuangan daerah secara mandiri. Namun, otonomi daerah sudah diserahkan kepada pemimpin-pemimpin yang kerdil, miskin visi pemberdayaan, tidak memiliki kebijakan politik, dan tidak punya keterampilan manajerial untuk mengelola keuangan daerah.

Dengan dalih menambah penerimaan daerah dan lapangan kerja, pemda bagaikan mabuk tambang dan menyerahkan aset daerah kepada investor tambang. Apalagi pasca-pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, wewenang pemberian izin pertambangan ada di tangan pemda.

Tak heran banyak pengusaha raksasa membuat ”kesepakatan gelap” dengan pemda.
Menyembunyikan ideologi

Ironisnya, para penguasa di daerah dan investor tambang datang dengan janji-janji kesejahteraan. Ideologi kekuasaan yang bercokol di baliknya disembunyikan.

Di hadapan rakyat, mereka mengatakan, tanpa kehadiran perusahaan-perusahaan tambang, kekayaan alam yang ada dibiarkan tidak berguna. Padahal, pemberian izin konsesi menabrak semua rambu-rambu dan aturan hukum yang berlaku.

Di tengah sistem politik uang sekarang ini, politisi harus memberi karpet merah kepada pemodal. Politisi ingin mempertahankan kekuasaan, sementara korporasi ingin mengakumulasi modal. Pemda yang lapar investasi dengan mudah menyerahkan kedaulatan ekonomi daerahnya ke tangan pemodal.

Di tangan pemodal, kehormatan bangsa tergerus. Pancasila dan UUD 1945 tak lagi dijadikan pijakan untuk mengangkat kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat tidak lagi menjadi urusan pemerintah, tetapi sudah diserahkan ke tangan sistem pasar.

Liberalisasi pasar membawa ekses negatif secara ekonomi, sosial, dan politik. Dari segi upah, misalnya, perusahaan tambang kerap mengeksploitasi pekerjanya dengan gaji subsisten.

Ambil contoh kasus pertambangan di NTT. Upah buruh tambang di daerah itu hanya Rp 25.000 (pekerja wanita ) dan Rp 30.000 (pekerja pria ) per hari.

Mereka hidup tanpa jaminan kesehatan. Dengan kondisi kerja buruh pertambangan yang begitu keras, bukan tak mungkin membuat mereka jatuh sakit dan harus menanggung biaya pengobatan rumah sakit yang melambung tinggi.

Selain itu, kegiatan pertambangan menyebabkan penggundulan hutan, pencemaran sungai dan air tanah, mendangkalnya sungai dan penampungan air. Itu sebabnya mengapa kehadiran korporasi pertambangan ditolak warga. Meskipun demikian, mengapa gairah mengejar keuntungan korporasi pertambangan tak pernah surut?

Jawabannya adalah karena korporasi pertambangan kerap mengirimkan uang suap agar pemda memberi izin konsesi dengan mudah. Buktinya, ada 4.504 dari total 8.475 izin usaha tambang yang diterbitkan pemda dinyatakan ilegal.

Mata rantai korupsi pun sangat panjang, mulai dari mulut tambang, aktivitas eksplorasi dan pelabuhan, sampai pada negara pengekspor. Dari mata rantai tersebut, sudah bisa ditebak berapa institusi publik yang terkena dampak korupsi korporasi pertambangan.

Akibatnya, demokrasi di tingkat lokal memang kelihatan berjalan, tetapi demokrasi yang mengabdi pada kepentingan pebisnis. Demokrasi akhirnya bukan lagi rakyat yang berdaulat, melainkan para pemodal. Demokrasi bukan lagi terkait penegakan hukum, melainkan hukum pasar yang praktis mendikte praktik demokrasi.

Bangun komunitas lokal

Tambang tak bisa mengangkat kesejahteraan rakyat. Kematian warga di Bima perlu dibaca sebagai sikap kemartiran melawan keangkuhan korporasi yang memarjinalkan.
Darah korban sebagai tuntutan untuk memanggil kembali pemerintah, menegakkan hukum, reformasi pertanahan, dan mendesain kembali otonomi daerah. Otonomi daerah harus dikembalikan pada raison d’etre-nya, membangun dan memberdayakan komunitas lokal.

Komposisi terbesar penduduk Indonesia berada di komunitas desa. Untuk itu, pemerintah perlu membangun komunitas desa, mulai dari penyediaan prasarana penunjang, seperti transportasi agar rakyat mudah ke pasar. Setelah itu, pemerintah perlu menggerakkan sektor mikro agar mampu menampung pekerja dalam spektrum amat luas dan mengurangi eksodus masyarakat desa ke kota atau menjadi buruh kasar di negeri tetangga.

Kesempatan kerja akan berfokus pada sektor pertanian, industri pengelolaan manufaktur, dan industri kerajinan rakyat lainnya.

Agar industri kecil tumbuh, pemerintah perlu bekerja sama dengan sektor perbankan agar rakyat memiliki akses ke bank. Mekarnya industri kecil akan membantu pemerintah menutup defisit karena dari industri-industri itu pemerintah dapat memungut pajak menurut skala besar-kecilnya usaha. Pajak pendapatan rakyat dapat membantu pemerintah mengurangi utang luar negeri yang bertumpuk itu. ●

Ironi Papua: Kaya tetapi Menderita

LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
Ironi Papua: Kaya tetapi Menderita
Sumber : KOMPAS, 16 Desember 2011


Selama 40 tahun hidup bersama ternyata tidak menjamin ikatan akan terjalin sedemikian intim. Tak hanya perkara konflik berkepanjangan, stigma separatis yang susah hilang—mirip cap PKI zaman Orde Baru—tetapi juga belenggu saling tak percaya antara Jakarta dan Papua terus memasung masing-masing dalam kecurigaan.

Dalam ruang sosial-politik, kekerasan dan pelanggaran HAM terus terjadi hingga pengujung 2011. Korbannya tak hanya warga sipil, tetapi juga aparat keamanan. Ruang tahanan dan penjara terus terisi oleh mereka yang dikenai pasal makar. ”Sesuatu yang aneh ini terjadi di negara demokratis seperti Indonesia,” kata Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim. Kondisi itu berbalut erat dengan kondisi sosial-ekonomi dan budaya masyarakat Papua yang tak berbanding lurus dengan alamnya yang kaya raya.

Data PT Freeport Indonesia menunjukkan, total cadangan terbukti untuk tahun pelaporan sampai 31 Desember 2010 adalah 2,57 miliar ton batuan mineral dengan kadar rata-rata dari cadangan itu adalah 0,98 persen tembaga, lalu 0,83 gram per ton emas, dan 4,11 gram per ton perak. Dari kinerja perusahaan itu, pada semester pertama 2011, kewajiban berupa pajak yang dibayarkan perusahaan itu mencapai 1,4 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 11,7 triliun.

Jika dihitung sejak kontrak karya 1992, hingga Juni 2011 perusahaan tambang itu telah membayar kewajiban mereka dalam bentuk pajak, royalti dan dividen masing-masing 12,8 miliar dollar AS, 1,3 miliar dollar AS, dan 1,2 miliar dollar AS. Kinerja perusahaan itu memberi kontribusi hingga 60 persen pada PDRB Provinsi Papua dan 96 persen pada PDRB Kabupaten Mimika.

Papua juga memiliki hutan lebih dari 32 juta hektar. Pejabat Gubernur Papua Syamsul Arief Rivai mengatakan, hutan di Papua memiliki nilai ekonomis sekitar 74 miliar dollar AS dari kayu, karbon, dan jasa lingkungan, termasuk air serta makanan. Hutan produksi konversi yang luas seperti di Merauke berdaya tarik kuat. Saat ini Merauke dilirik 48 investor yang ingin menggarap perkebunan melalui program Merauke Integrated Food and Energy Estate. Di laut pun demikian. Produksi ikan tangkap tahun 2010 di Merauke, misalnya, tercatat 2 juta kilogram.

Setiap tahun Papua mendapat dana otonomi khusus (otsus) sebesar Rp 2,6 triliun atau sekitar Rp 3,8 triliun jika dihitung bersama-sama dengan Provinsi Papua Barat. Dana tersebut diprioritaskan untuk pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan infrastruktur Papua. Namun, hingga 10 tahun berjalan (total kurang lebih Rp 28 triliun), misi otsus, yaitu membangun keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan orang asli Papua, tidak terwujud optimal.

Transformasi Mandek

Saat ini angka kematian bayi di Papua adalah 362 per 100.000 kelahiran hidup atau di atas angka nasional, yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup. Malaria juga terus jadi penyakit langganan warga. Di Boven Digoel, misalnya, pada 2010 tercatat 7.583 orang terserang malaria. Jumlah itu melonjak dibandingkan 2009, yaitu 5.988 orang. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Josef Rinta mengakui, meski jumlah puskesmas bertambah, tenaga medis belum mencukupi. Papua masih kekurangan 2.524 bidan, 212 tenaga gizi, 427 perawat, 241 analis kesehatan, 241 ahli kesehatan lingkungan, dan 280 ahli farmasi.

Demikian pula dalam bidang pendidikan. Ketertinggalan itu tampak dari minimnya jumlah guru di pedalaman sehingga harus mengajar rangkap beberapa mata pelajaran ataupun beberapa kelas sekaligus. Selain itu, gedung sekolah yang rusak, alat belajar-mengajar yang minim, dan banyak anak usia sekolah yang tidak bersekolah. Di Merauke, pada tahun 2010 sedikitnya 2.574 anak usia 7-12 tahun tidak mengenyam pendidikan sekolah dasar. Angka melek huruf dan rata-rata sekolah sangat rendah. Di Kabupaten Intan Jaya, misalnya, angka melek huruf 27 persen dengan rata-rata lama sekolah hanya 1,8 tahun.

Sekretaris Daerah Papua Constan Karma mengungkapkan, banyak tenaga guru dan tenaga kesehatan di daerah pemekaran terserap birokrasi. Dampaknya, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di daerah pemekaran rendah. Kabupaten Nduga salah satunya. IPM kabupaten pecahan dari Jayawijaya itu hanya 48,02 atau terbawah di Papua. Dapat dibayangkan bagaimana situasi di sana mengingat IPM Papua menduduki peringkat terbawah di Indonesia.

Hal itu menyumbang pada tingginya jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua, yang mencapai 944.000 orang lebih atau sepertiga total penduduk Papua (2,8 juta jiwa). Jumlah itu meningkat dibandingkan jumlah penduduk miskin tahun 2010, yaitu lebih dari 761.000 orang. Meskipun persentase penduduk miskin berkurang dari 36,80 persen tahun 2010 jadi 31,98 persen tahun 2011, tetap saja angka itu memprihatinkan.

Apalagi, penduduk yang masuk kategori itu umumnya orang asli Papua, terutama mereka yang tinggal di wilayah Pegunungan Tengah Papua dan pedalaman lainnya. Upaya pemerintah untuk mendekatkan pembangunan dengan membentuk kabupaten baru di Papua nyaris tidak berdampak.

Di Papua Barat, jumlah penduduk miskin tahun 2010 tercatat 34,88 persen atau 356.350 jiwa dari 798.601 jiwa. Meski jumlahnya turun dibandingkan 2009, tingkat kemiskinan kian tinggi. Tahun 2008, tingkat keparahan miskin penduduk miskin adalah 9,18 poin dan jadi 10,47 poin pada tahun 2010. Penyebabnya, naiknya nilai pengeluaran yang tak diimbangi peningkatan daya beli masyarakat. Agustus 2010, tercatat 26.341 penduduk usia kerja menganggur, sedangkan Agustus 2011 bertambah jadi 33.031 orang. Tren pengangguran naik dari 7,68 persen jadi 8,94 persen. Penurunan jumlah tenaga kerja terbanyak terjadi di sektor pertanian, sampai 10.639 orang. Padahal lahan pertanian, perkebunan, dan peternakan di bumi Papua ini terbentang luas.

Ketua DPR Papua Barat Yosep Johan Auri mengatakan, dana otsus belum menyentuh masyarakat dan belum tepat sasaran. Banyak dugaan dana digunakan tanpa perencanaan dan pertanggungjawaban. Anggaran ganda, dari dana APBD dan dana otsus, untuk satu proyek kerap ditemukan. Masalahnya, hingga 10 tahun otsus berjalan, pemerintah provinsi belum punya peraturan daerah khusus yang mengatur perencanaan, peruntukan, dan pertanggungjawaban dana otsus.

Dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan untuk penggunaan dana otsus tahun 2010, masih ditemukan sejumlah dana tidak jelas atau tidak tepat digunakan. Beberapa terindikasi diselewengkan. Tidak mengherankan jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai pengelolaan dana otsus tidak efektif.

Saat ini, pemerintah menawarkan kebijakan baru, yakni percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat. Akankah itu menjawab? Atau sebaliknya justru menambah luka baru? ●
(B Josie Hardianto/ Erwin EdhiPrasetya/ Timbuktu Harthana)