SINDO Wednesday, 18 April 2012
Tidak hanya Pasal 7 ayat (6A) RUU APBN-P yang telah disetujui DPR bersama dengan Presiden pada 1 April dini hari, lebih dua minggu lalu, menjadi UU APBN-P yang konstitusionalitasnya bermasalah.
Pasal 18 UU ini juga bermasalah konstitusionalitasnya. Menariknya,Pasal 18 UU ini lepas dari perhatian publik. Boleh jadi hal itu disebabkan pasal ini tidak dijadikan fokus perdebatan, apalagi didramatisasi substansinya secara terbuka pada perdebatan yang begitu panas menjelang paripurna pengambilan keputusan pada 1 April dini hari itu. Mungkinkah Pasal 18 itu berkarakter “barter” dengan Pasal 7 ayat (6A)?
Sejujurnya hal itu tidak penting untuk dikenali. Selain faktor itu tidak mungkin bisa dibuktikan, perkara “barter-barteran” dalam politik pembentukan undangundang tidak dapat dijadikan pijakan pengecekan konstitusi onalitasnya. Yang bisa dijadikan pijakan adalah pertimbangan- pertimbangan dan logika konstitusionalnya, yang diwujudkan menjadi norma dari undang-undang.
Perkara Lumpur
Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 18 ini terdiri atas tiga huruf. Hal itu diawali dengan norma “untuk kelancaran upaya penanggulangan lumpur Sidoarjo,alokasi dana pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tahun anggaran 2012 dapat digunakan untuk (a) pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada tiga desa (Desa Besuki,Desa Kedungcangkring, dan Desa Pejarakan), (b) bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan hidup,
biaya evakuasi dan pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan (Kelurahan Siring, Kelurahan Jatirejo, dan Kelurahan Mindi),(c) bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan hidup, biaya evakuasi dan pembayaran pembelian tanah dan bangunan pada wilayah di luar peta area terdampak lainnya yang ditetapkan melalui peraturan presiden”. Lumpur Lapindo,begitulah publik mengenal lumpur di Sidoarjo,
yang menyengsarakan itu, yang penanganannya kini diatur dalam pasal di atas, tentu membuat Pasal 18 ini lumayan mengagumkan. Negara, yang menurut alinea keempat UUD 1945 didirikan untuk, salah satunya, menyejahterakan warganya, menunaikan kewajiban etik konstitusionalnya. Apalagi derita dan duka mereka yang berada di area terdampak dan di luar peta area terdampak potensial merendahkan harkat dan martabat mereka.
Begitulah seharusnya kita bernegara dan begitu pulalah faedahnya berpemerintahan. Bernegara dan berpemerintahan bukan sekadar membuat lembaga negara dan mengoperasikannya menurut teksteks konstitusi yang sering kali, ketika berada di tangan pemerintah yang mata hatinya mati, lembaga-lembaga negara itu berubah fungsi menjadi pemangsa paling ganas terhadap warga negaranya. Sungguh cara yang ditempuh DPR dan Presiden ini indah pada dirinya. The founding fathers UUD 1945 pada tahun 1945, puluhan tahun yang lalu,rasanya akan t e rs e nyum syukur atas kebijakan, yang sekali lagi, seindah ini.
Kisi-Kisi Inkonstitusionalitas
Andai konstitusi membedakan nilai dan timbangan konstitusionalnya terhadap setiap warga negara, maka konstitusionalisme Pasal 18 itu sungguh indah dan manis. Sayangnya, tidak demikian nilai dan timbangan konstitusi atas setiap warga negara. Kenyataannya konstitusi memberi nilai dan timbangan konstitusional yang sama terhadap siapa pun sepanjang mereka berstatus warga negara.
Pada titik inilah problem konstitusional muncul, mengintai Pasal 18 UU APBN-P yang baru diubah dan disetujui bersama antara DPR dengan Presiden belum lama ini. Mengapa mereka yang sebagian rumahnya tersapu batu dandebuMerapi,tatkalaGunung Merapi meletus dua tahun lalu, tak membuat pemerintah dan DPR tergerak merancang dan membentuk pasal yang berspirit sama dengan Pasal 18 itu dalam APBN atau APBN-P kala itu?
Mengapa orang-orang di sebagian Kampung Melayu, Jakarta Timur,yang dari tahun ke tahun seolah tertakdir berpelukan erat dengan derita dan duka setiap kali datang hujan lebat sejam atau dua jam saja tak kunjung membuat Presiden dan DPR tersentuh rasa etis konstitusionalnya membentuk pasal berspirit sama dengan Pasal 18 itu?
Bila semburan lumpur dengan daya luberan sejauh itu diberi status hukum sebagai bencana nasional, mengapa bukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang ditugasi untuk mengurusnya? Mengapa Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang dibentuk dan ditugasi tampaknya diperuntukkan khusus untuk mengurus persoalan ini? Kalaupun BNPB tidak ditugasi mengurus persoalan itu, mengapa tidak ditugaskan saja kepada Kementerian Sosial atau Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat?
Apakah norma-norma yang tercantum pada huruf a dan b Pasal 18 itu ditujukan atau diperintahkan khusus kepada BPLS atau juga Presiden? Bila norma pada huruf a dan b ditujukan hanya kepada BPLS, maka soal konstitusional yang muncul adalah dengan hukum apa norma-norma pada kedua huruf itu dilaksanakan? Soal lain yang tak kalah pentingnya dilihat dari sudut logika konstitusionalitas adalah norma yang terdapat pada huruf b dan c Pasal 18 itu.
Pada huruf b terdapat norma “pada sembilan rukun tetangga pada tiga kelurahan”, sementara pada huruf c tidak ada norma itu.Selebihnya sama. Namun mengapa pada huruf c ditambahkan norma yang bersifat perintah kepada Presiden membentuk perpres? Mengapa perintah ini tidak dicantumkan pada huruf a dan b?
Apakah hanya BPLS yang akan menggunakan anggaran APBNP sehingga pasal-pasal lain dalam UU ini tidak dibentuk norma yang menyebut, misalnya, kementerian menggunakan anggaran untuk pelaksanaan program dan atau kegiatannya? Huruf c Pasal 18 ini juga dibelit masalah lain.Masalahnya adalah kelurahan apa saja yang harus ditetapkan oleh Presiden melalui perpresnya sebagai kelurahan di luar peta area terdampak,
berstatus sebagai kelurahan penerima bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan hidup, biaya evakuasi dan lainnya? Soal perpres ini pun bisa bermasalah.Mengapa tidak diperintahkan untuk dilaksanakan dengan peraturan pemerintah (PP)? Bukankah Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 telah menentukan norma pelaksanaan UU harus dengan PP?
Secara konstitusional PP adalah bentuk hukum yang disediakan konstitusi bagi Presiden untuk mengatur secara lebih terperinci pelaksanaan sejumlah hal dalam UU, tentu yang didelegasikan secara exprecis verbis dalam UU itu. Bukankah urusan yang hendak diatur lebih terperinci itu telah ditetapkan normanya dalam Pasal 18 UU APBN-P yang baru disahkan itu,yang konsekuensinya pengaturan terhadap urusan itu harus dituangkan dalam PP,bukan perpres?
DPR tidak bisa memilih bentuk hukum lain selain PP karena pembentukan PP bukan kewenangan DPR sehingga DPR tidak bisa mendelegasikan sesuatu yang bukan kewenangannya. Sejujurnya sulit untuk tidak mengatakan Pasal 18 UU APBNP tahun 2012 ini mengandung serangkaian persoalan konstitusionalitas.
Kekacauan pertimbangan dan inkonsistensi logikakonstitusional,yangtidak jelas apa pangkal penyebabnya, mengakibatkan pasal ini kehilangan bobot normatif konstitusionalitasnya. Tentu kekacauan ini tak bisa dibiarkan. Ada jalan untuk memperbaikinya. Salahsatunya adalahsemua potensi inkonstitusional pasal ini dipanggungkan, diuji di sidang Mahkamah Konstitusi.●
MARGARITO KAMIS
Doktor Hukum Tata Negara,
Staf Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Khairun Ternate
Selasa, 17 April 2012
Menjaga Hutan ASEAN
SINDO Wednesday, 18 April 2012
Penebangan hutan secara sembarangan,pengalihan fungsi lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata guna wilayah,keterlibatan mafia serta ketidakberdayaan negara ketika berhadapan dengan perusahaan besar yang ingin memperluas lahan usaha adalah “lagu lama”.
Jika ditilik ke belakang, bahkan sejak awal 1980-an telah diidentifikasi kadar keseriusan problem ini.Tidak hanya Indonesia yang berteriak soal ini. Negara tetangga di ASEAN yang terbilang kaya akan hutan seperti Filipina dan Malaysia juga menghadapi masalah serupa. Baru-baru ini Malaysia dipusingkan dengan laporan penebangan hutan di kawasan Sarawak meningkat pesat.
Tingkat penebangan hutan di Sarawak 3,5 kali lebih pesat dibandingkan di seluruh negara Asia.Kepulauan Filipina dulu semuanya merupakan hutan dan hutannya sekarang cuma tersisa 35%. Jadi, skala hilangnya hutan dan fungsi-fungsi penunjang lingkungan hidup sangat memprihatinkan. Di Amerika Latin dan Afrika pun penggundulan hutan merupakan masalah serius.
Menurut illegal-logging.info, di Nigeria dan Ghana hanya tersisa 10% hutan dan di Honduras tinggal separuh. Harus disadari hilangnya hutan ini terjadi bersamaan dengan upaya mengejar pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di negara-negara ini. Dengan membuka hutan,diharapkan ada lahan pekerjaan yang tersedia bagi penduduk setempat, ada masyarakat dan pebisnis yang mengecap untung, adapemerintahdaerahyangmenerima retribusi dari perdagangan dan pengolahan hasil hutan, adapabrik-pabrikpengolahan hasil hutan yang terbentuk sehingga terciptalah pembangunan.
Yang tidak diperhitungkan adalah skala keuntungan yang jauh lebih besar jika pengelolaan hutan tadi tidak dilaporkankepadanegaradanjika hasil-hasil hutan tadi diselundupkan. Dalam penelitian yang saya lakukan bersama rekan- rekan Universitas Indonesia( 2010),adaoknummiliterdan dinas kehutanan yang diuntungkan juga dari bisnis hitam ini. Yang dihadapi di sini adalah masalah multidimensional. Pertama, pengelolaan hutan yang salah.
Kedua, lemahnya penegakan hukum.Ketiga,menggiurkannya bisnis hitam di bidang ini. Keempat, terjadinya kejahatan lintas batas negara dan yang secara khusus ingin saya bahas kali ini adalah lemahnya skema kerja sama antarnegara, khususnya di ASEAN, untuk mengatasi masalah itu. Pada 13 Agustus 1981 di Jakarta, pernah terbentuk konsensus antarnegara ASEAN (di tataran menteri ekonomi) untuk membuat kebijakan kehutanan bersama se-ASEAN.
Beberapa di antaranya disepakati adanya upaya bersama menjaga sumber daya hutan, melakukan reboisasi, serta mengembangkan program, strategi, dan rencana penggunaan lahan hutan yang ramah lingkungan, tetapi punya nilai sosial ekonomi yang tinggi. Pada 1993, ada kesepakatan di tingkat menteri untuk memadukan pengelolaan pangan, pertanian,dan kehutanan demi menjaga pasokan pangan di kawasan ini, mendukung perdagangan intra-ASEAN, mendorong pengembangan dan transfer teknologi,
mengembangkan komunitas desa, melibatkan sektor swasta dan investor, mengelola sumber daya alam, serta memperkuat kerja sama ASEAN dalam mengatasi masalah regional. Hal ini ditegaskan lagi dalam pertemuan tingkat tinggi di Kuala Lumpur pada 15 Desember 1997. Dari sana,terbentuklah Rencana Aksi Strategis untuk kerja sama ASEANdibidangpangan,pertanian, dankehutanan(1999–2004 dan 2005–2010).Waktu itu dibentuklah kelompok kerja yang memantau kegiatan di ASEAN, bahkan terbentuk pula ASEANAustralia Development Cooperation Programme.
Tiap Rencana Aksi selalu didukung rekomendasi dan kesepakatan ulang antarmenteri. Pada 6 Oktober 2011, muncul pernyataan pers dari temu menteri ASEAN tentang pengelolaan hutan dan pertanian yang terpadu di ASEAN. Ironisnya, sampai sekarang pun, meskipun sudah didukung perjanjian yang demikian banyaknya, negara-negara ASEAN belum bisa keluar dari kemelut problem hutan yang begitu pelik.
Berikut ini kenyataan yang luput dari penanganan di ASEAN. Pertama, pemberantasan dan pembatasan pembalakan hutan menyangkut wewenang internal tiap negara ASEAN; bahkan dalam banyak kasus menyangkut wewenang pemerintah daerah.Dengan prinsip nonintervensi, ASEAN sulit bergerak menegakkan komitmen itu, apalagi hal ini terkait pembersihan sistem dari oknum busuk.
Kedua, skema-skema ASEAN masih terbatas pada inisiatif mengembangkan sistem kerja bersama untuk mengelola hutan.Tidak ada upaya membahas pengembangan bisnis bersama dari produk-produk hasil hutan. Padahal, sudah bukan rahasia lagi bahwa penebangan hutan adalah bisnis yang paling cepat mendatangkan untung dengan investasi yang sangat minim. Apalagi setelah menebang hutan, lahannya masih bisa dipakai untuk mendatangkan untung lain yang relatif cepat, yakni jika ditanami kelapa sawit.
Kita tidak mungkin menahan naluri kapitalisme dengan imbauan moral. Sadarilah bahwa pembukaan hutan tidak menjamin lapangan kerja yang layak.Diplomasi di sektor ini sebaiknya tidak terpaku pada pengelolaan kawasan hutan, tapi juga mengangkat pengembangan bisnis dari hasil-hasil hutan. Harus ada upaya bersama untuk membangun sentrasentra usaha dan unit bisnis yang meningkatkan nilai tambah produk hutan.
Misalnya dengan membangun pabrik kertas, pabrik mebel,pabrik sabun, pabrik kosmetik dan produkproduk turunan sawit lainnya, yang punya standar tinggi di ASEAN, ditopang lembaga penelitian yang mempekerjakan peneliti dari berbagai negara di ASEAN dan dikelola seperti model franchise di kawasan ASEAN. Kita harus mulai lebih berani berpikir bahwa ASEAN memang satu.
Asal ada pembagian tugas tentang keahliankeahlian yang menopang usaha bersama tersebut,semua negara di ASEAN pasti puas. Ketiga,penangananhutanini tidak bisa hanya melibatkan satu atau dua saja.Semua menteri yang relevan harus diundang untuk terlibat. Bahkan, perlu dipikirkan mekanisme dialog antarpemerintah daerah di ASEAN. Kenyataannya, dalam hal peningkatan pertumbuhan ekonomi,ada pemilik wewenang yang cenderung membangkang.
Maka, ajaklah mereka dan berilah ruang supaya dalam perjalanan pengharmonisan kebijakan tidak menjadi penghambat. Contoh konkretnya adalah ketika berbicara tentang konsep perdagangan karbon dan green economy.Sampai sekarang pemerintah daerah menganggap kedua hal tersebut isapan jempol belaka dan mereka tak punya bahan untuk menghadapi penduduk yang akan kehilangan pekerjaan dan penghasilan bagus bila pembalakan diberantas dan perusahaan atau oknum pemerintah yang nakal ditindak tegas.
DINNA WISNU PHD
Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
Penebangan hutan secara sembarangan,pengalihan fungsi lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata guna wilayah,keterlibatan mafia serta ketidakberdayaan negara ketika berhadapan dengan perusahaan besar yang ingin memperluas lahan usaha adalah “lagu lama”.
Jika ditilik ke belakang, bahkan sejak awal 1980-an telah diidentifikasi kadar keseriusan problem ini.Tidak hanya Indonesia yang berteriak soal ini. Negara tetangga di ASEAN yang terbilang kaya akan hutan seperti Filipina dan Malaysia juga menghadapi masalah serupa. Baru-baru ini Malaysia dipusingkan dengan laporan penebangan hutan di kawasan Sarawak meningkat pesat.
Tingkat penebangan hutan di Sarawak 3,5 kali lebih pesat dibandingkan di seluruh negara Asia.Kepulauan Filipina dulu semuanya merupakan hutan dan hutannya sekarang cuma tersisa 35%. Jadi, skala hilangnya hutan dan fungsi-fungsi penunjang lingkungan hidup sangat memprihatinkan. Di Amerika Latin dan Afrika pun penggundulan hutan merupakan masalah serius.
Menurut illegal-logging.info, di Nigeria dan Ghana hanya tersisa 10% hutan dan di Honduras tinggal separuh. Harus disadari hilangnya hutan ini terjadi bersamaan dengan upaya mengejar pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di negara-negara ini. Dengan membuka hutan,diharapkan ada lahan pekerjaan yang tersedia bagi penduduk setempat, ada masyarakat dan pebisnis yang mengecap untung, adapemerintahdaerahyangmenerima retribusi dari perdagangan dan pengolahan hasil hutan, adapabrik-pabrikpengolahan hasil hutan yang terbentuk sehingga terciptalah pembangunan.
Yang tidak diperhitungkan adalah skala keuntungan yang jauh lebih besar jika pengelolaan hutan tadi tidak dilaporkankepadanegaradanjika hasil-hasil hutan tadi diselundupkan. Dalam penelitian yang saya lakukan bersama rekan- rekan Universitas Indonesia( 2010),adaoknummiliterdan dinas kehutanan yang diuntungkan juga dari bisnis hitam ini. Yang dihadapi di sini adalah masalah multidimensional. Pertama, pengelolaan hutan yang salah.
Kedua, lemahnya penegakan hukum.Ketiga,menggiurkannya bisnis hitam di bidang ini. Keempat, terjadinya kejahatan lintas batas negara dan yang secara khusus ingin saya bahas kali ini adalah lemahnya skema kerja sama antarnegara, khususnya di ASEAN, untuk mengatasi masalah itu. Pada 13 Agustus 1981 di Jakarta, pernah terbentuk konsensus antarnegara ASEAN (di tataran menteri ekonomi) untuk membuat kebijakan kehutanan bersama se-ASEAN.
Beberapa di antaranya disepakati adanya upaya bersama menjaga sumber daya hutan, melakukan reboisasi, serta mengembangkan program, strategi, dan rencana penggunaan lahan hutan yang ramah lingkungan, tetapi punya nilai sosial ekonomi yang tinggi. Pada 1993, ada kesepakatan di tingkat menteri untuk memadukan pengelolaan pangan, pertanian,dan kehutanan demi menjaga pasokan pangan di kawasan ini, mendukung perdagangan intra-ASEAN, mendorong pengembangan dan transfer teknologi,
mengembangkan komunitas desa, melibatkan sektor swasta dan investor, mengelola sumber daya alam, serta memperkuat kerja sama ASEAN dalam mengatasi masalah regional. Hal ini ditegaskan lagi dalam pertemuan tingkat tinggi di Kuala Lumpur pada 15 Desember 1997. Dari sana,terbentuklah Rencana Aksi Strategis untuk kerja sama ASEANdibidangpangan,pertanian, dankehutanan(1999–2004 dan 2005–2010).Waktu itu dibentuklah kelompok kerja yang memantau kegiatan di ASEAN, bahkan terbentuk pula ASEANAustralia Development Cooperation Programme.
Tiap Rencana Aksi selalu didukung rekomendasi dan kesepakatan ulang antarmenteri. Pada 6 Oktober 2011, muncul pernyataan pers dari temu menteri ASEAN tentang pengelolaan hutan dan pertanian yang terpadu di ASEAN. Ironisnya, sampai sekarang pun, meskipun sudah didukung perjanjian yang demikian banyaknya, negara-negara ASEAN belum bisa keluar dari kemelut problem hutan yang begitu pelik.
Berikut ini kenyataan yang luput dari penanganan di ASEAN. Pertama, pemberantasan dan pembatasan pembalakan hutan menyangkut wewenang internal tiap negara ASEAN; bahkan dalam banyak kasus menyangkut wewenang pemerintah daerah.Dengan prinsip nonintervensi, ASEAN sulit bergerak menegakkan komitmen itu, apalagi hal ini terkait pembersihan sistem dari oknum busuk.
Kedua, skema-skema ASEAN masih terbatas pada inisiatif mengembangkan sistem kerja bersama untuk mengelola hutan.Tidak ada upaya membahas pengembangan bisnis bersama dari produk-produk hasil hutan. Padahal, sudah bukan rahasia lagi bahwa penebangan hutan adalah bisnis yang paling cepat mendatangkan untung dengan investasi yang sangat minim. Apalagi setelah menebang hutan, lahannya masih bisa dipakai untuk mendatangkan untung lain yang relatif cepat, yakni jika ditanami kelapa sawit.
Kita tidak mungkin menahan naluri kapitalisme dengan imbauan moral. Sadarilah bahwa pembukaan hutan tidak menjamin lapangan kerja yang layak.Diplomasi di sektor ini sebaiknya tidak terpaku pada pengelolaan kawasan hutan, tapi juga mengangkat pengembangan bisnis dari hasil-hasil hutan. Harus ada upaya bersama untuk membangun sentrasentra usaha dan unit bisnis yang meningkatkan nilai tambah produk hutan.
Misalnya dengan membangun pabrik kertas, pabrik mebel,pabrik sabun, pabrik kosmetik dan produkproduk turunan sawit lainnya, yang punya standar tinggi di ASEAN, ditopang lembaga penelitian yang mempekerjakan peneliti dari berbagai negara di ASEAN dan dikelola seperti model franchise di kawasan ASEAN. Kita harus mulai lebih berani berpikir bahwa ASEAN memang satu.
Asal ada pembagian tugas tentang keahliankeahlian yang menopang usaha bersama tersebut,semua negara di ASEAN pasti puas. Ketiga,penangananhutanini tidak bisa hanya melibatkan satu atau dua saja.Semua menteri yang relevan harus diundang untuk terlibat. Bahkan, perlu dipikirkan mekanisme dialog antarpemerintah daerah di ASEAN. Kenyataannya, dalam hal peningkatan pertumbuhan ekonomi,ada pemilik wewenang yang cenderung membangkang.
Maka, ajaklah mereka dan berilah ruang supaya dalam perjalanan pengharmonisan kebijakan tidak menjadi penghambat. Contoh konkretnya adalah ketika berbicara tentang konsep perdagangan karbon dan green economy.Sampai sekarang pemerintah daerah menganggap kedua hal tersebut isapan jempol belaka dan mereka tak punya bahan untuk menghadapi penduduk yang akan kehilangan pekerjaan dan penghasilan bagus bila pembalakan diberantas dan perusahaan atau oknum pemerintah yang nakal ditindak tegas.
DINNA WISNU PHD
Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
Minggu, 15 April 2012
Celoteh Pelestarian Hutan
Marison Guciano, Mahasiswa Pascasarjana UI; Pengurus Yayasan Greennet Indonesia; Juru Kampanye Sekretariat Kerja Sama Pelestarian Hutan Indonesia
SUMBER : KOMPAS, 09 April 2012
Penghancuran hutan Indonesia masih terus berlangsung. Pada 2 Maret, Greenpeace dan Walhi menyampaikan hasil investigasi dugaan perusakan hutan di Riau— termasuk menebang ramin—oleh perusahaan kertas ke Mabes Polri.
Penebangan ramin dilarang sejak 2001 dan secara internasional spesies ramin dilindungi oleh Convention on International Trade in Endangered Species (CITES). Laporan itu juga menyebutkan, sejak 2001 paling tidak 180.000 hektar hutan lahan gambut di Sumatera hancur dikonsesi-konsesi perusahaan.
Laporan disampaikan kepada polisi ketika Presiden SBY belum genap tiga pekan menegaskan komitmennya melestarikan lingkungan di hadapan para diplomat asing (Kompas, 16/2). Komitmen yang berulang kali diucapkan untuk menyelamatkan hutan Indonesia itu dinilai tak lebih dari sekadar pernyataan belaka.
Belajar dari sejarah
Sepanjang sejarah Indonesia, negara sering tak berdaya menghentikan perusakan hutan alam oleh perusahaan-perusahaan pemegang izin hak pengusahaan hutan (HPH). Dengan kekuatan uang, perusahaan membuktikan dirinya jauh lebih kuat—bahkan daripada negara sekalipun—untuk memegang kendali atas sumber daya hutan yang semestinya dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Akibat konflik sumber daya hutan dengan perusahaan, tak jarang masyarakat terusir dari tanahnya tanpa perlindungan negara dan kompensasi apa pun. Kasus Mesuji adalah salah satu contohnya. Padahal, jika kita mau belajar dari sejarah, kekayaan hutan yang dikuras perusahaan tak pernah sebanding dengan kontribusi mereka bagi perekonomian nasional dan peningkatan kesejahteraan penduduk lokal.
Dekade 1980-an adalah masa sumber daya hutan Indonesia mulai dieksploitasi oleh ratusan perusahaan HPH. Sepanjang 1980-1999 tercatat ada 115 industri kayu nasional. San Afri Awang—dalam pidato pengukuhan guru besarnya di UGM tahun 2008—menyebutkan, setelah dikelompokkan, pemegang izin HPH itu hanya dimiliki sekitar 20 konglomerat kehutanan.
Ironisnya, sepanjang tahun 1980-1999 itu pula pemanfaatan hasil hutan tidak berkontribusi maksimal terhadap perekonomian nasional dan kesejahteraan penduduk di sekitar hutan. Bahkan, yang terjadi justru sebaliknya. Cifor (2004) mengungkapkan, pengelakan pajak hutan diperkirakan merugikan negara 1,5 miliar dollar AS per tahun.
Kini, yang ditinggalkan para konglomerat kehutanan hanyalah kerusakan. Kerusakan hutan tercepat di Indonesia terjadi dalam kurun 1980-1999, saat para konglomerat kehutanan dengan serakah mengeksploitasi hutan alam Indonesia hingga 2,83 juta hektar per tahun.
Hutan rusak adalah sumber malapetaka. Bencana akibat susutnya hutan hadir di sekitar kita. Pada musim hujan, bencana banjir datang seolah tanpa berkesudahan. Pada musim kemarau, kekeringan ada di mana-mana. Hancurnya hutan telah memusnahkan sumber kehidupan karena hutan menyediakan jutaan keanekaan hayati yang berfungsi sebagai penyedia sumber air dan kebutuhan nyata jutaan penduduk, penyedia tanaman obat, sumber stok genetik, regulator iklim, pencegah bencana alam, dan penjaga keseimbangan ekosistem.
Ketulusan hati
Pada 2001, penelitian yang dilakukan Pieter van Beukering dan Herman Cesar tentang nilai ekonomi hutan Leuser menunjukkan, nilai konservasi hutan jauh melebihi nilai ekonomi daripada pemanfaatan kayu.
Dalam hitungan mereka, upaya konservasi Kawasan Ekosistem Leuser selama 30 tahun akan memberi pendapatan Rp 85 triliun, antara lain dari pemanfaatan air oleh berbagai sektor dan jasa lingkungan. Di antaranya penyediaan air bersih, plasma nutfah, pengendalian erosi dan banjir, penyerapan karbon, pengaturan iklim lokal, perikanan air tawar, dan pariwisata. Dalam kurun waktu yang sama, pengambilan kayu hutan hanya menghasilkan Rp 31 triliun.
Pemerintah seharusnya merujuk hasil penelitian Van Beukering dan Cesar untuk menentukan pilihan pengelolaan sumber daya hutan, terutama saat hutan Indonesia memprihatinkan seperti sekarang.
Namun, pilihan konservasi hutan jangan pernah didasari pada niat untuk mendapat bantuan asing yang berkedok utang, seperti program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) sekarang. Selain menjadi beban anak cucu dan jadi ajang korupsi penyelenggara negara, utang itu jelas memosisikan bangsa kita lebih rendah daripada bangsa lain.
Sikap yang jauh lebih terhormat adalah merawat hutan dengan ketulusan kita, sebagaimana hutan pun ikhlas memberikan semua yang ada padanya.
SUMBER : KOMPAS, 09 April 2012
Penghancuran hutan Indonesia masih terus berlangsung. Pada 2 Maret, Greenpeace dan Walhi menyampaikan hasil investigasi dugaan perusakan hutan di Riau— termasuk menebang ramin—oleh perusahaan kertas ke Mabes Polri.
Penebangan ramin dilarang sejak 2001 dan secara internasional spesies ramin dilindungi oleh Convention on International Trade in Endangered Species (CITES). Laporan itu juga menyebutkan, sejak 2001 paling tidak 180.000 hektar hutan lahan gambut di Sumatera hancur dikonsesi-konsesi perusahaan.
Laporan disampaikan kepada polisi ketika Presiden SBY belum genap tiga pekan menegaskan komitmennya melestarikan lingkungan di hadapan para diplomat asing (Kompas, 16/2). Komitmen yang berulang kali diucapkan untuk menyelamatkan hutan Indonesia itu dinilai tak lebih dari sekadar pernyataan belaka.
Belajar dari sejarah
Sepanjang sejarah Indonesia, negara sering tak berdaya menghentikan perusakan hutan alam oleh perusahaan-perusahaan pemegang izin hak pengusahaan hutan (HPH). Dengan kekuatan uang, perusahaan membuktikan dirinya jauh lebih kuat—bahkan daripada negara sekalipun—untuk memegang kendali atas sumber daya hutan yang semestinya dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Akibat konflik sumber daya hutan dengan perusahaan, tak jarang masyarakat terusir dari tanahnya tanpa perlindungan negara dan kompensasi apa pun. Kasus Mesuji adalah salah satu contohnya. Padahal, jika kita mau belajar dari sejarah, kekayaan hutan yang dikuras perusahaan tak pernah sebanding dengan kontribusi mereka bagi perekonomian nasional dan peningkatan kesejahteraan penduduk lokal.
Dekade 1980-an adalah masa sumber daya hutan Indonesia mulai dieksploitasi oleh ratusan perusahaan HPH. Sepanjang 1980-1999 tercatat ada 115 industri kayu nasional. San Afri Awang—dalam pidato pengukuhan guru besarnya di UGM tahun 2008—menyebutkan, setelah dikelompokkan, pemegang izin HPH itu hanya dimiliki sekitar 20 konglomerat kehutanan.
Ironisnya, sepanjang tahun 1980-1999 itu pula pemanfaatan hasil hutan tidak berkontribusi maksimal terhadap perekonomian nasional dan kesejahteraan penduduk di sekitar hutan. Bahkan, yang terjadi justru sebaliknya. Cifor (2004) mengungkapkan, pengelakan pajak hutan diperkirakan merugikan negara 1,5 miliar dollar AS per tahun.
Kini, yang ditinggalkan para konglomerat kehutanan hanyalah kerusakan. Kerusakan hutan tercepat di Indonesia terjadi dalam kurun 1980-1999, saat para konglomerat kehutanan dengan serakah mengeksploitasi hutan alam Indonesia hingga 2,83 juta hektar per tahun.
Hutan rusak adalah sumber malapetaka. Bencana akibat susutnya hutan hadir di sekitar kita. Pada musim hujan, bencana banjir datang seolah tanpa berkesudahan. Pada musim kemarau, kekeringan ada di mana-mana. Hancurnya hutan telah memusnahkan sumber kehidupan karena hutan menyediakan jutaan keanekaan hayati yang berfungsi sebagai penyedia sumber air dan kebutuhan nyata jutaan penduduk, penyedia tanaman obat, sumber stok genetik, regulator iklim, pencegah bencana alam, dan penjaga keseimbangan ekosistem.
Ketulusan hati
Pada 2001, penelitian yang dilakukan Pieter van Beukering dan Herman Cesar tentang nilai ekonomi hutan Leuser menunjukkan, nilai konservasi hutan jauh melebihi nilai ekonomi daripada pemanfaatan kayu.
Dalam hitungan mereka, upaya konservasi Kawasan Ekosistem Leuser selama 30 tahun akan memberi pendapatan Rp 85 triliun, antara lain dari pemanfaatan air oleh berbagai sektor dan jasa lingkungan. Di antaranya penyediaan air bersih, plasma nutfah, pengendalian erosi dan banjir, penyerapan karbon, pengaturan iklim lokal, perikanan air tawar, dan pariwisata. Dalam kurun waktu yang sama, pengambilan kayu hutan hanya menghasilkan Rp 31 triliun.
Pemerintah seharusnya merujuk hasil penelitian Van Beukering dan Cesar untuk menentukan pilihan pengelolaan sumber daya hutan, terutama saat hutan Indonesia memprihatinkan seperti sekarang.
Namun, pilihan konservasi hutan jangan pernah didasari pada niat untuk mendapat bantuan asing yang berkedok utang, seperti program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) sekarang. Selain menjadi beban anak cucu dan jadi ajang korupsi penyelenggara negara, utang itu jelas memosisikan bangsa kita lebih rendah daripada bangsa lain.
Sikap yang jauh lebih terhormat adalah merawat hutan dengan ketulusan kita, sebagaimana hutan pun ikhlas memberikan semua yang ada padanya.
Memahami Gempa Besar yang Unik
Daryono, Doktor Peneliti di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
SUMBER : JAWA POS, 14 April 2012
GEMPA bumi besar 8,5 skala Richter kembali mengguncang bumi Nanggroe Aceh Darussalam pada Rabu (11/4). Pusat gempa bumi itu terletak di Samudra Hindia yang berjarak 398 kilometer arah barat daya Kota Meulaboh. Dengan kedalaman hiposentrum yang hanya 10 kilometer di bawah laut, gempa bumi itu pun dinyatakan berpotensi tsunami.
Patut disyukuri bahwa akhirnya gempa bumi tersebut hanya menimbulkan tsunami kecil di beberapa tempat. Di Lahewa, Nias Utara, ketinggian air laut naik sekitar satu meter. Di beberapa titik, sea level station mencatat, di wilayah Meulaboh, ketinggian air laut naik hingga 0,8 meter, sedangkan di Sabang air laut naik ke permukaan setinggi 0,6 meter.
Gempa bumi Aceh 2012 menjadi menarik untuk dikaji mengingat kekuatan magnitudonya yang besar tapi dampak yang ditimbulkannya sangat minimal. Selain itu, gempa bumi tersebut memiliki beberapa keunikan terkait dengan akumulasi tegangan yang bekerja dan lokasi pusat gempa buminya.
Syarat Tsunami
Peristiwa gempa bumi Aceh 2012, jika dibanding gempa bumi yang pernah mengguncang Aceh 2004, memang sama-sama gempa bumi besar namun berbeda dalam dampak yang ditimbulkan. Jika gempa bumi kuat 2004 memicu megatsunami yang menelan ratusan ribu korban jiwa, gempa bumi 2012 ini, meski kekuatannya sangat besar, tidak membangkitkan tsunami yang cukup signifikan.
Gempa bumi Aceh 2012, meski pusat gempa buminya di laut, bermagnitudo besar dengan kedalaman dangkal, tapi mekanisme sumber gempa buminya menunjukkan pergerakan persesaran horizontal (strike-slip fault). Aktivitas transform fault yang mendatar itulah yang membuat ribuan nyawa di pesisir barat Sumatera terselamatkan dari bencana tsunami yang hampir sama dengan tsunami 2004. Faktor mekanisme sumber gempa bumi itulah yang akhirnya membedakan secara tegas dari peristiwa gempa bumi Aceh 2004.
Terkait dengan peristiwa terjadinya tsunami, ada empat syarat agar gempa bumi tektonik bisa memicu tsunami dahsyat. Yaitu, (1) kedalaman hiposentrum gempa bumi harus dangkal kurang dari 70 kilometer; (2) pusat gempa bumi terjadi di dasar laut; (3) magnitudo gempa bumi cukup besar lebih dari 7,0 skala Richter; dan (4) patahan yang terjadi karena gempa bumi merupakan patahan vertikal dengan dimensi sesar sangat besar.
Timbulnya tsunami kecil pada peristiwa gempa bumi sesar geser itu sangat mungkin disebabkan adanya hole yang vakum saat terbentuk penyesaran di zona transform fault. Selain itu, sesar geser bisa mengakibatkan tsunami jika pergeserannya tidak murni horizontal, tapi harus ada sedikit mekanisme dip-slip sebagaimana sesar gunting. Namun, umumnya, pada penyesaran geser, arah gerakan naik turunnya -bagaimanapun- tetap tidak sebesar kalau penyesaran naik (thrust fault) atau penyesaran turun (normal fault).
Beberapa Keunikan
Gempa bumi Aceh 2012 memiliki beberapa keunikan terkait dengan kekuatan gempa bumi, akumulasi tegangan, dan lokasi pusat gempa buminya. Pertama, gempa bumi Aceh 2012 dengan mekanisme strike-slip memiliki magnitudo sangat besar. Padahal, umumnya gempa bumi dengan mekanisme sesar horizontal (strike-slip) semacam itu tidak memiliki magnitudo yang besar. Gempa bumi kuat biasanya cenderung terjadi di zona penyusupan dangkal atau yang populer disebut zona megathrust. Di zona megathrust itu, sebuah lempeng tektonik menyusup di bawah lempeng yang lain, kemudian tertahan dan membangun akumulasi medan tegangan dalam waktu lama hingga energinya dilepaskan sebagai gempa bumi besar.
Kedua, berdasar perkiraan para ahli gempa bumi, energi medan tegangan di zona seismik sebelah barat Aceh sudah berkurang banyak seiring dengan terjadinya gempa bumi megathrust pada 26 Desember 2004 yang memicu tsunami. Namun, tanpa diduga, zona seismik yang relatif berdekatan dengan pusat gempa bumi utama 2004 masih menyimpan tegangan dan kini terjadi pelepasan energi tegangan di bagian luar daerah pertemuan lempeng (outer rise earthquake) dengan kekuatan sangat besar.
Ketiga, berdasar catatan sejarah, gempa bumi kuat yang terjadi di luar daerah subduksi semacam itu memang tergolong langka. Belajar dari kasus gempa bumi Aceh 2012, kita semakin yakin bahwa di lepas pantai barat Sumatera dan di selatan Jawa sekalipun atau di zona seismik mana pun yang memiliki kesamaan unsur tektoniknya, ternyata lempeng samudra belakang zona subduksi masih menyimpan potensi gempa bumi kuat (outer rise earthquake).
Seyogianya kenyataan tersebut membuat kita selalu waspada. Fenomena alam semacam itu sebenarnya menjelaskan kepada kita bahwa kondisi beberapa bagian kulit bumi kita memang masih dalam posisi tegangan kritis (critical stress).
Bagi masyarakat pesisir barat Sumatera, kondisi alam yang selalu kurang ''bersahabat'' tersebut merupakan konsekuensi yang harus diterima. Mau tidak mau, suka tidak suka, semua itu adalah risiko yang harus dihadapi sebagai masyarakat yang tinggal dan menumpang di batas pertemuan lempeng tektonik.
Bagi kalangan ahli kebumian dan instansi terkait dengan pemantauan gempa bumi, labilnya kawasan Sumatera bagian barat secara tektonik merupakan tantangan untuk mencari jalan keluar. Baik berupa upaya mitigasi atau merancang sistem peringatan dini yang digunakan sebagai acuan untuk meningkatkan kewaspadaan. Tak lupa, berupaya memperkecil risiko bila sewaktu-waktu terjadi gempa bumi dan tsunami.
SUMBER : JAWA POS, 14 April 2012
GEMPA bumi besar 8,5 skala Richter kembali mengguncang bumi Nanggroe Aceh Darussalam pada Rabu (11/4). Pusat gempa bumi itu terletak di Samudra Hindia yang berjarak 398 kilometer arah barat daya Kota Meulaboh. Dengan kedalaman hiposentrum yang hanya 10 kilometer di bawah laut, gempa bumi itu pun dinyatakan berpotensi tsunami.
Patut disyukuri bahwa akhirnya gempa bumi tersebut hanya menimbulkan tsunami kecil di beberapa tempat. Di Lahewa, Nias Utara, ketinggian air laut naik sekitar satu meter. Di beberapa titik, sea level station mencatat, di wilayah Meulaboh, ketinggian air laut naik hingga 0,8 meter, sedangkan di Sabang air laut naik ke permukaan setinggi 0,6 meter.
Gempa bumi Aceh 2012 menjadi menarik untuk dikaji mengingat kekuatan magnitudonya yang besar tapi dampak yang ditimbulkannya sangat minimal. Selain itu, gempa bumi tersebut memiliki beberapa keunikan terkait dengan akumulasi tegangan yang bekerja dan lokasi pusat gempa buminya.
Syarat Tsunami
Peristiwa gempa bumi Aceh 2012, jika dibanding gempa bumi yang pernah mengguncang Aceh 2004, memang sama-sama gempa bumi besar namun berbeda dalam dampak yang ditimbulkan. Jika gempa bumi kuat 2004 memicu megatsunami yang menelan ratusan ribu korban jiwa, gempa bumi 2012 ini, meski kekuatannya sangat besar, tidak membangkitkan tsunami yang cukup signifikan.
Gempa bumi Aceh 2012, meski pusat gempa buminya di laut, bermagnitudo besar dengan kedalaman dangkal, tapi mekanisme sumber gempa buminya menunjukkan pergerakan persesaran horizontal (strike-slip fault). Aktivitas transform fault yang mendatar itulah yang membuat ribuan nyawa di pesisir barat Sumatera terselamatkan dari bencana tsunami yang hampir sama dengan tsunami 2004. Faktor mekanisme sumber gempa bumi itulah yang akhirnya membedakan secara tegas dari peristiwa gempa bumi Aceh 2004.
Terkait dengan peristiwa terjadinya tsunami, ada empat syarat agar gempa bumi tektonik bisa memicu tsunami dahsyat. Yaitu, (1) kedalaman hiposentrum gempa bumi harus dangkal kurang dari 70 kilometer; (2) pusat gempa bumi terjadi di dasar laut; (3) magnitudo gempa bumi cukup besar lebih dari 7,0 skala Richter; dan (4) patahan yang terjadi karena gempa bumi merupakan patahan vertikal dengan dimensi sesar sangat besar.
Timbulnya tsunami kecil pada peristiwa gempa bumi sesar geser itu sangat mungkin disebabkan adanya hole yang vakum saat terbentuk penyesaran di zona transform fault. Selain itu, sesar geser bisa mengakibatkan tsunami jika pergeserannya tidak murni horizontal, tapi harus ada sedikit mekanisme dip-slip sebagaimana sesar gunting. Namun, umumnya, pada penyesaran geser, arah gerakan naik turunnya -bagaimanapun- tetap tidak sebesar kalau penyesaran naik (thrust fault) atau penyesaran turun (normal fault).
Beberapa Keunikan
Gempa bumi Aceh 2012 memiliki beberapa keunikan terkait dengan kekuatan gempa bumi, akumulasi tegangan, dan lokasi pusat gempa buminya. Pertama, gempa bumi Aceh 2012 dengan mekanisme strike-slip memiliki magnitudo sangat besar. Padahal, umumnya gempa bumi dengan mekanisme sesar horizontal (strike-slip) semacam itu tidak memiliki magnitudo yang besar. Gempa bumi kuat biasanya cenderung terjadi di zona penyusupan dangkal atau yang populer disebut zona megathrust. Di zona megathrust itu, sebuah lempeng tektonik menyusup di bawah lempeng yang lain, kemudian tertahan dan membangun akumulasi medan tegangan dalam waktu lama hingga energinya dilepaskan sebagai gempa bumi besar.
Kedua, berdasar perkiraan para ahli gempa bumi, energi medan tegangan di zona seismik sebelah barat Aceh sudah berkurang banyak seiring dengan terjadinya gempa bumi megathrust pada 26 Desember 2004 yang memicu tsunami. Namun, tanpa diduga, zona seismik yang relatif berdekatan dengan pusat gempa bumi utama 2004 masih menyimpan tegangan dan kini terjadi pelepasan energi tegangan di bagian luar daerah pertemuan lempeng (outer rise earthquake) dengan kekuatan sangat besar.
Ketiga, berdasar catatan sejarah, gempa bumi kuat yang terjadi di luar daerah subduksi semacam itu memang tergolong langka. Belajar dari kasus gempa bumi Aceh 2012, kita semakin yakin bahwa di lepas pantai barat Sumatera dan di selatan Jawa sekalipun atau di zona seismik mana pun yang memiliki kesamaan unsur tektoniknya, ternyata lempeng samudra belakang zona subduksi masih menyimpan potensi gempa bumi kuat (outer rise earthquake).
Seyogianya kenyataan tersebut membuat kita selalu waspada. Fenomena alam semacam itu sebenarnya menjelaskan kepada kita bahwa kondisi beberapa bagian kulit bumi kita memang masih dalam posisi tegangan kritis (critical stress).
Bagi masyarakat pesisir barat Sumatera, kondisi alam yang selalu kurang ''bersahabat'' tersebut merupakan konsekuensi yang harus diterima. Mau tidak mau, suka tidak suka, semua itu adalah risiko yang harus dihadapi sebagai masyarakat yang tinggal dan menumpang di batas pertemuan lempeng tektonik.
Bagi kalangan ahli kebumian dan instansi terkait dengan pemantauan gempa bumi, labilnya kawasan Sumatera bagian barat secara tektonik merupakan tantangan untuk mencari jalan keluar. Baik berupa upaya mitigasi atau merancang sistem peringatan dini yang digunakan sebagai acuan untuk meningkatkan kewaspadaan. Tak lupa, berupaya memperkecil risiko bila sewaktu-waktu terjadi gempa bumi dan tsunami.
Catatan tentang Gempa Aceh
Agustan, Perekayasa Bidang Dinamika Kebumian
SUMBER : KOMPAS, 14 April 2012
Gempa besar kembali mengguncang Aceh dan sekitarnya, 11 April 2012. Gempa ini termasuk yang jarang terjadi karena dua hal: masuk kategori outer-rise dan doublet.
Gempa outer-rise berarti terjadi di luar zona subduksi dan gempa doublet berarti terjadi dua kali gempa dalam waktu dan lokasi yang berdekatan dan dengan kekuatan yang hampir sama pula. Intensitas guncangan gempa outer-rise terasa lebih kuat karena energi yang dilepaskan terakumulasi dalam waktu singkat. Gempa Aceh dengan magnitudo 8,5 pada Rabu lalu berkekuatan setara dengan 500.000 kali ledakan bom atom Hiroshima yang dilepaskan secara bersamaan hanya dalam waktu 40 detik.
Tidaklah mengherankan apabila dampak guncangan terasa sampai wilayah yang jauh. Guncangan gempa tersebut dilaporkan terasa sampai di Bangkok. Sebaliknya, pada gempa Aceh, 26 Desember 2004, yang berkekuatan lebih besar, 9,2 skala Richter (SR), guncangannya hanya terasa sampai di pesisir barat Malaysia.
Berbahaya
Gempa outer-rise berkorelasi erat dengan tingkat stress atau tekanan pada zona interplate, yaitu zona pertemuan lempeng tektonik. Pada gempa Aceh, zona tersebut merupakan pertemuan antara Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Sunda. Meski jarang terjadi, gempa ini lebih berbahaya dibandingkan dengan kedua jenis gempa yang lain.
Gempa Aceh kali ini juga merupakan anomali karena terjadi pada zona yang terkunci secara kuat. Padahal, biasanya outer-rise terjadi pada zona ”transisi”, yaitu zona peralihan dari zona yang terkunci kuat (seperti kawasan pesisir barat Sumatera) ke zona yang tidak terkunci atau terkunci secara lemah, seperti kawasan di selatan Nusa Tenggara.
Gempa outer-rise bisa saja terjadi pada zona yang terkunci secara kuat, antara lain jika sebelumnya terpicu oleh gempa megathrust yang besar. Apabila mengikuti asumsi ini, gempa outer-rise pada Rabu lalu merupakan rentetan dari gempa megathrust yang mengguncang Aceh pada 26 Desember 2004. Namun, masih perlu analisis lebih lanjut mengingat mekanisme gempa pada 11 April 2012 didominasi komponen horizontal (strike-slip), sementara gempa pada 26 Desember 2004 didominasi komponen vertikal (thrust fault).
Selain gempa outer-rise memang dikenal juga gempa megathrust dan gempa tsunami, yang oleh Kanamori (2008) dikategorikan berdasarkan spektrum energinya. Jika dikaitkan dengan lokasi pusat gempa, pusat gempa outer-rise terletak di dalam patahan satu lempeng tektonik yang berada di luar zona subduksi. Sebaliknya, pusat gempa megathrust terletak pada pertemuan dua lempeng yang disebut zona subduksi.
Meski berkekuatan besar, gempa outer-rise yang berlokasi di sebelah barat Aceh kali ini mempunyai mekanisme geser (strike-slip). Dengan demikian, komponen horizontal adalah yang dominan sehingga tidak membangkitkan gelombang tsunami yang besar.
Kondisi tersebut berbeda dengan kejadian gempa outer-rise pada 19 Agustus 1977 di selatan Sumba yang didominasi oleh komponen vertikal karena berlangsung mekanisme patahan turun (normal-fault). Gempa berkekuatan 8,3 SR inilah yang membangkitkan tsunami dan menelan korban 189 jiwa. Contoh lain gempa outer-rise adalah gempa di selatan Jawa pada 26 Juni 2007 yang berkekuatan 6,0 SR.
Dengan demikian, dapat dikatakan, dampak negatif gempa outer-rise yang jarang terjadi ini lebih lengkap. Tidak hanya guncangannya yang lebih keras dan jangkauannya yang lebih jauh, tetapi juga menjadi lebih berbahaya apabila mekanisme gempanya didominasi oleh komponen vertikal (dip-slip) karena potensi tsunami menjadi sangat besar.
Gempa ”doublet”
Seperti disebutkan di atas, gempa yang baru saja terjadi juga memiliki karakteristik sebagai gempa doublet. Gempa pertama terjadi pada pukul 15.38 dengan kekuatan 8,5 SR dan gempa kedua terjadi pada pukul 17.43 dengan kekuatan 8,8 SR.
Kejadian gempa doublet (dua gempa yang terjadi dengan perbedaan kekuatan tidak lebih dari 0,2 unit atau jarak antartitik pusat tidak lebih dari 100 kilometer atau terjadi dalam waktu berdekatan) juga pernah beberapa kali terjadi di Indonesia.
Di antaranya, gempa Papua pada 3 Januari 2009 dengan kekuatan 7,6 SR dan 7,4 SR, berbeda tiga jam antar-kejadian.
Demikian pula gempa Bengkulu pada 12 September 2007 dengan kekuatan 8,4 SR dan 7,9 SR yang berselang 12 jam antar-kejadian. Yang terakhir gempa Aceh yang terjadi pada 11 April 2012 dengan kekuatan 8,5 SR dan 8,8 SR, dengan selisih waktu dua jam.
Berdasarkan sistem kegempaan di kawasan barat Sumatera, pelepasan energi melalui gempa outer-rise pada 11 April 2012 ini tak berarti mengurangi potensi pelepasan energi besar di segmen Mentawai yang selama ini diwaspadai. Oleh karena itu, pemantauan dan penelitian terhadap fenomena gempa di kawasan ini tetap harus dilakukan dengan komitmen penuh.
Kita perlu belajar dari negara-negara tetangga, yang notabene bukan negara pusat gempa, melainkan memberi perhatian serius pada gawar dini dan penanggulangan gempa dengan mendirikan lembaga-lembaga penelitian baru.
Mereka sadar betul bahwa gempa, terutama jenis outer-rise, dapat berdampak regional. Maka, bagi Indonesia, peristiwa gempa outer-rise ini hendaknya semakin meningkatkan upaya mitigasi bencana karena memang kita ”kaya” akan jenis gempa yang merusak dan akhir-akhir ini semakin sering terjadi. ●
SUMBER : KOMPAS, 14 April 2012
Gempa besar kembali mengguncang Aceh dan sekitarnya, 11 April 2012. Gempa ini termasuk yang jarang terjadi karena dua hal: masuk kategori outer-rise dan doublet.
Gempa outer-rise berarti terjadi di luar zona subduksi dan gempa doublet berarti terjadi dua kali gempa dalam waktu dan lokasi yang berdekatan dan dengan kekuatan yang hampir sama pula. Intensitas guncangan gempa outer-rise terasa lebih kuat karena energi yang dilepaskan terakumulasi dalam waktu singkat. Gempa Aceh dengan magnitudo 8,5 pada Rabu lalu berkekuatan setara dengan 500.000 kali ledakan bom atom Hiroshima yang dilepaskan secara bersamaan hanya dalam waktu 40 detik.
Tidaklah mengherankan apabila dampak guncangan terasa sampai wilayah yang jauh. Guncangan gempa tersebut dilaporkan terasa sampai di Bangkok. Sebaliknya, pada gempa Aceh, 26 Desember 2004, yang berkekuatan lebih besar, 9,2 skala Richter (SR), guncangannya hanya terasa sampai di pesisir barat Malaysia.
Berbahaya
Gempa outer-rise berkorelasi erat dengan tingkat stress atau tekanan pada zona interplate, yaitu zona pertemuan lempeng tektonik. Pada gempa Aceh, zona tersebut merupakan pertemuan antara Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Sunda. Meski jarang terjadi, gempa ini lebih berbahaya dibandingkan dengan kedua jenis gempa yang lain.
Gempa Aceh kali ini juga merupakan anomali karena terjadi pada zona yang terkunci secara kuat. Padahal, biasanya outer-rise terjadi pada zona ”transisi”, yaitu zona peralihan dari zona yang terkunci kuat (seperti kawasan pesisir barat Sumatera) ke zona yang tidak terkunci atau terkunci secara lemah, seperti kawasan di selatan Nusa Tenggara.
Gempa outer-rise bisa saja terjadi pada zona yang terkunci secara kuat, antara lain jika sebelumnya terpicu oleh gempa megathrust yang besar. Apabila mengikuti asumsi ini, gempa outer-rise pada Rabu lalu merupakan rentetan dari gempa megathrust yang mengguncang Aceh pada 26 Desember 2004. Namun, masih perlu analisis lebih lanjut mengingat mekanisme gempa pada 11 April 2012 didominasi komponen horizontal (strike-slip), sementara gempa pada 26 Desember 2004 didominasi komponen vertikal (thrust fault).
Selain gempa outer-rise memang dikenal juga gempa megathrust dan gempa tsunami, yang oleh Kanamori (2008) dikategorikan berdasarkan spektrum energinya. Jika dikaitkan dengan lokasi pusat gempa, pusat gempa outer-rise terletak di dalam patahan satu lempeng tektonik yang berada di luar zona subduksi. Sebaliknya, pusat gempa megathrust terletak pada pertemuan dua lempeng yang disebut zona subduksi.
Meski berkekuatan besar, gempa outer-rise yang berlokasi di sebelah barat Aceh kali ini mempunyai mekanisme geser (strike-slip). Dengan demikian, komponen horizontal adalah yang dominan sehingga tidak membangkitkan gelombang tsunami yang besar.
Kondisi tersebut berbeda dengan kejadian gempa outer-rise pada 19 Agustus 1977 di selatan Sumba yang didominasi oleh komponen vertikal karena berlangsung mekanisme patahan turun (normal-fault). Gempa berkekuatan 8,3 SR inilah yang membangkitkan tsunami dan menelan korban 189 jiwa. Contoh lain gempa outer-rise adalah gempa di selatan Jawa pada 26 Juni 2007 yang berkekuatan 6,0 SR.
Dengan demikian, dapat dikatakan, dampak negatif gempa outer-rise yang jarang terjadi ini lebih lengkap. Tidak hanya guncangannya yang lebih keras dan jangkauannya yang lebih jauh, tetapi juga menjadi lebih berbahaya apabila mekanisme gempanya didominasi oleh komponen vertikal (dip-slip) karena potensi tsunami menjadi sangat besar.
Gempa ”doublet”
Seperti disebutkan di atas, gempa yang baru saja terjadi juga memiliki karakteristik sebagai gempa doublet. Gempa pertama terjadi pada pukul 15.38 dengan kekuatan 8,5 SR dan gempa kedua terjadi pada pukul 17.43 dengan kekuatan 8,8 SR.
Kejadian gempa doublet (dua gempa yang terjadi dengan perbedaan kekuatan tidak lebih dari 0,2 unit atau jarak antartitik pusat tidak lebih dari 100 kilometer atau terjadi dalam waktu berdekatan) juga pernah beberapa kali terjadi di Indonesia.
Di antaranya, gempa Papua pada 3 Januari 2009 dengan kekuatan 7,6 SR dan 7,4 SR, berbeda tiga jam antar-kejadian.
Demikian pula gempa Bengkulu pada 12 September 2007 dengan kekuatan 8,4 SR dan 7,9 SR yang berselang 12 jam antar-kejadian. Yang terakhir gempa Aceh yang terjadi pada 11 April 2012 dengan kekuatan 8,5 SR dan 8,8 SR, dengan selisih waktu dua jam.
Berdasarkan sistem kegempaan di kawasan barat Sumatera, pelepasan energi melalui gempa outer-rise pada 11 April 2012 ini tak berarti mengurangi potensi pelepasan energi besar di segmen Mentawai yang selama ini diwaspadai. Oleh karena itu, pemantauan dan penelitian terhadap fenomena gempa di kawasan ini tetap harus dilakukan dengan komitmen penuh.
Kita perlu belajar dari negara-negara tetangga, yang notabene bukan negara pusat gempa, melainkan memberi perhatian serius pada gawar dini dan penanggulangan gempa dengan mendirikan lembaga-lembaga penelitian baru.
Mereka sadar betul bahwa gempa, terutama jenis outer-rise, dapat berdampak regional. Maka, bagi Indonesia, peristiwa gempa outer-rise ini hendaknya semakin meningkatkan upaya mitigasi bencana karena memang kita ”kaya” akan jenis gempa yang merusak dan akhir-akhir ini semakin sering terjadi. ●
Rabu, 11 April 2012
JALAN MENGHINDAR DARI EKOSIDA
Oleh BRIGITTA
ISWORO L
Kompas, Kamis, 16
April 2009 | 03:17 WIB
Sejumlah bangsa
atau masyarakat tertentu di dunia ini telah hilang dari catatan sejarah karena
mereka lenyap tanpa sisa. Yang sering disebut-sebut, karena banyak artefak yang
bercerita tentangnya, adalah suku bangsa atau masyarakat Maya. Selain suku
Maya, juga ada sebuah masyarakat yang hidup di suatu lembah di bagian utara
China. Mereka ko- non mirip Kaukasia (orang Eropa), tetapi mereka pun telah
lenyap. Mereka punah.
Ada dua penyebab
punahnya sebuah masyarakat, yaitu kerusakan lingkungan yang amat parah dan
perang dengan masyarakat lain—yang bisa disertai dengan genosida. Lingkungan
yang hancur bisa membawa ke jurang ekosida atau bunuh diri lingkungan
(ecocide)—bunuh diri suatu masyarakat akibat perusakan lingkungan.
Proses ekosida,
menurut seorang panelis, telah terjadi di sejumlah negara Afrika, antara lain
Somalia, Burundi, dan Kongo. Tragedi perang Darfur adalah akibat menurunnya
daya dukung lingkungan terhadap kehidupan sehingga terjadi perebutan sumber
air.
Untuk hidup,
manusia bergantung pada alam, baik alam sebagai ruang, alam sebagai penghasil
pangan, alam sebagai penghasil oksigen untuk bernapas, alam sebagai penyedia
air, maupun alam sebagai sebuah lingkungan di mana di dalamnya tercakup
berbagai ekosistem yang saling bergantung, yang saling menghidupi.
Meningkatnya
jumlah penduduk akan melahirkan tekanan lebih besar terhadap lingkungan alam
yang berpotensi merusak lingkungan. Lingkungan yang rusak atau hancur secara
otomatis akan turun daya dukungnya terhadap kehidupan. Seorang panelis
menyebutkan, sumber dari kerusakan lingkungan antara lain adalah pertumbuhan
penduduk karena semakin banyak penduduk, akan dibutuhkan semakin banyak sumber
daya, di antaranya adalah sumber daya alam.
Persoalan
kerusakan lingkungan tersebut antara lain berupa hutan gundul, rusaknya
habitat, kerusakan daerah aliran sungai (DAS) yang bisa berakibat tanah
longsor, kesuburan tanah hilang, punahnya sejumlah spesies, sulitnya penyediaan
air bersih, terbatasnya sumber air, pendangkalan sungai, polusi udara, dan
sampah. Itu semua terjadi akibat pembalakan liar, pembukaan tambak dengan
menghilangkan kawasan bakau, penggundulan DAS, pertambangan yang tidak
menggunakan prinsip- prinsip keberlanjutan, perusakan karst yang menjadi rumah
mata air, serta penggunaan tanaman hasil rekayasa genetika.
Di Indonesia,
akibat kehancuran lingkungan sudah banyak memakan korban jiwa dan materi,
seperti banjir di Kalimantan, yang sebelumnya tak pernah terjadi, perolehan
ikan oleh nelayan semakin menurun, polusi udara yang menyebabkan berbagai
penyakit, perkara limbah tambang di Teluk Buyat, yang pernah diperkarakan, dan
sebagainya.
Seorang panelis
menegaskan, pertumbuhan penduduk yang tak terkendali akan mengakibatkan
”ledakan penduduk”. Ledakan penduduk ditambah dengan kebijakan pembangunan
tanpa wawasan berkelanjutan akan menghasilkan sebuah kombinasi sempurna yang
membawa masyarakat pada suatu situasi ekosida.
Perkembangan
penduduk dunia dan Indonesia meningkat amat pesat sesuai deret ukur dengan
kurva eksponensialnya terjadi pada akhir abad ke-20, dengan berkembang pesatnya
dunia kedokteran yang ditandai dengan penemuan vaksin dan antibiotik sehingga
mampu mencegah terjadinya endemi. Sebagai catatan, perkembangan jumlah penduduk
yang luar biasa ini sebagian besar terjadi di negara berkembang.
Indonesia,
misalnya, pada abad ke-16 hanya berpenduduk 10 juta, 100 tahun kemudian menjadi
14 juta orang, dan pada tahun 1900 sekitar 40 juta orang. Pada tahun 2000 angka
itu melejit menjadi 205,8 juta orang— itu pun dengan sekitar 80 juta kelahiran
bisa dicegah karena program KB. Tahun 2009 angka ini mencapai 230 juta
orang—dengan 100 juta kelahiran dicegah.
Bagaimana dengan
35 tahun lagi? Dengan rumus ilmu demografi, didapat angka jumlah penduduk
Indonesia tahun 2044 adalah 411,6 juta orang! Dua kali lipat dari jumlah
penduduk 2009. Muncul pertanyaan eksistensial, bagaimana mereka harus hidup dan
dihidupi?
Sumber daya manusia
Di ujung lain dari diskursus kependudukan adalah sisi
positif dari sumber daya manusia. Kualitas
sumber daya manusia, ujar seorang panelis, memiliki bobot 80 persen dalam
menentukan kemajuan sebuah bangsa. Jumlah penduduk yang tinggi adalah sebuah
potensi.
Persoalan
kependudukan merupakan sebuah peta besar yang di dalamnya terdapat berbagai
persoalan yang saling kait- mengait: persoalan tata ruang, KB, transmigrasi,
kesehatan perempuan, ibu, dan anak, kesehatan masyarakat, perubahan iklim,
urbanisasi dan migrasi, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, peran serta hak
keluarga, dan sebagainya.
Program Tujuan
Pembangunan Milenium (MDGs) yang lahir tahun 2000 adalah puncak komitmen dunia
internasional terkait persoalan kependudukan.
Seorang panelis
menegaskan, MDGs merupakan titik masuk penanganan masalah kependudukan. MDGs
dan kependudukan memiliki hubungan timbal balik yang amat erat. Semakin
cepat penanganan kependudukan, semakin cepat pula MDGs akan tercapai.
Delapan tujuan pembangunan dalam MDGs terentang mulai dari
persoalan kemiskinan, kelaparan, pendidikan dasar, persoalan kesehatan terkait
penyakit malaria hingga HIV/AIDS, menurunkan angka kematian anak balita, dan
mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Untuk tercapainya MDGs sekaligus terselesaikannya persoalan
kependudukan, panelis itu menggarisbawahi pentingnya kebijaksanaan nasional
yang tegas agar program dapat berkelanjutan, koordinasi antarlembaga dengan
keharusan mengikis ego- sektoral dan ego-daerah, keterkaitan poryek pemerintah
pusat-daerah, mengembangkan kemitraan dengan semua pihak:
pemerintah-swasta-masyarakat yang juga bisa diwakili oleh organisasi
nonpemerintah.
Di atas itu semua adalah pendekatan masalah dan pemecahan
masalah secara holistik. Itu semua adalah kelemahan yang harus diatasi agar
masalah kependudukan teratasi sekaligus MDGs tercapai.
Dengan itu ada sedikit harapan: terjadinya ekosida bisa
dicegah.
Bumi yang Terluka
Bedjo Santoso, Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 11 April 2012
“Reklamasi hutan bukan sekadar menanam pada areal bekas tambang, melainkan juga memulihkan kembali fungsi areal hutan tersebut, baik lingkungan maupun kondisi sosial yang ada."
ALKISAH pada mitos masyarakat Yunani kuno tersebutlah Achilles yang perkasa dalam menjunjung bumi di pundaknya dengan tidak pernah merasa lelah. Achilles sadar bahwa tugas dan tanggung jawab yang diberikan Yang Maha Kuasa ialah menjaga bumi agar tidak rusak ataupun hilang terbawa oleh kekuatan lain. Maka, setiap hari berlanjut setiap bulan dan setiap periode waktu, Achilles meraba dan memeluk bumi dengan saksama.
Dahulu pada zaman Zeus berkuasa dan Achilles bisa ditanya, bumi yang dijunjungnya terasa sangatlah halus di permukaannya, hijau warnanya, dan sangat indah bila dipandang mata. Pada zaman itu bumi ini dihuni punggawapunggawa yang arif, di kala kehidupan mereka selalu diselaraskan dengan alam dan kebutuhan mereka belum terlalu beragam, misalnya kebutuhan energi diperoleh dari minyak kelapa dan BBM patra yang diambil secara bijaksana dan menjauhkan sifat ‘kemaruk’ (baca: tamak) untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Semua aktivitas di muka bumi diletakkan pada tatanan kepentingan besar dengan orientasi nasional yang dijalankan secara bermartabat dan berkeadilan.
Kini di kala Achilles kembali meraba bumi yang dijunjungnya, dia terkejut karena ternyata bumi itu kasar dan penuh dengan bekas luka. Pada sebagian wilayah bumi, luka tersebut bahkan belum sembuh dan berlubang di mana-mana. Kenapa? Ternyata hiruk-pikuk penambangan terbuka untuk mendapatkan komoditas batu bara, nikel, emas, dan lain-lain sedang berlangsung dilakukan para punggawa negeri yang mengalami dekadensi moral budi pekerti. Kegiatan penambangan tersebut berdampak luar biasa bagi masyarakat, baik bersifat negatif maupun positif. Ada masyarakat yang mendadak kaya, ada desa yang berubah wajah di antara gubuk papan di desa tiba-tiba muncul bangunan bagai istana.
Namun tidak sedikit pula para lelaki yang meninggalkan anak istri karena mendadak kaya raya dari eksploitasi perut bumi, dan tak sedikit pula suami yang diusir sang istri karena lupa diri. Itu penggalan dinamika masyarakat terkini. Lalu bagaimana dengan dinamika lingkungan? Sungguh lebih hebat lagi yang terjadi garagara tambang, bumi menjadi `terluka' dan masyarakat menderita akibat dampak dari luka tersebut. Setelah punggawa puas me nguras hasil tambang, terkadang dia membiarkan lahan merana begitu saja.
Peningkatan Kebutuhan Energi
Tidak dapat dimungkiri, perkembangan zaman yang seiring dengan perkembangan umat manusia menyebabkan peningkatan kebutuhan pangan, papan, dan energi. Khusus kebutuhan energi dari minyak patra (BBM fosil) tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga muncul energi alternatif yang paling potensial, yaitu batu bara. Penambangan batu bara setelah reformasi sangat luar biasa menyebar di mana-mana dengan berbagai cara, ada yang legal dan banyak pula yang ilegal yang dilakukan secara terbuka (open pit). Sistem pertambangan terbuka, terutama yang berada dalam kawasan hutan, telah menyebabkan bumi ini menjadi luka dan perlu disembuhkan melalui reklamasi hutan.
Kegiatan pertambangan terbuka dalam kawasan hutan berdasarkan data Kementerian Kehutanan, saat ini sekitar 680 ribu hektare dengan status pinjam pakai kawasan. Kegiatan eksploitasi sumber daya ini secara jangka pendek banyak positifnya, tetapi juga tidak terlepas dari ekses negatif yang ditimbulkan, terlebih terhadap lingkungan hutan itu sendiri seperti kerusakan vegetasim pencemaran air yang kesemuanya berdampak pada penurunan daya dukung sumber daya hutan.
Konsep Reklamasi Hutan Bekas Tambang
Reklamasi hutan merupakan usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Pertanyaan selanjutnya, mampukah hutan itu berfungsi secara optimal kembali setelah kegiatan reklamasi dilakukan pada areal bekas penambangan di dalam kawasan hutan? Jika keadaan hutan belum kembali pada rona awalnya, dengan fungsi-fungsi yang berjalan sebagaimana mestinya, reklamasi hutan hanyalah bentuk penyembuhan luka yang meninggalkan bekas-bekas luka tersebut.
Konsep reklamasi hutan pada kegiatan penambangan seyogianya berpijak pada suatu integrasi faktor-faktor yang telah hilang/rusak akibat aktivitas pertambangan. Konsep reklamasi hutan bekas penambangan diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.4/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi Hutan. Dengan demikian, kegiatan reklamasi hutan merupakan kegiatan sistematis dalam upaya mengembalikan kenormalan fungsi hutan pada tatanan semestinya. Tidak hanya mengobati luka hingga sembuh, ada perlakuan-perlakuan lanjutan agar luka yang telah sembuh tidak meninggalkan bekas, begitu pula halnya dengan reklamasi hutan.
Reklamasi hutan bukan sekadar menanam pada areal bekas tambang, melainkan juga memulihkan kembali fungsi areal hutan tersebut, baik lingkungan maupun kondisi sosial yang ada. Prinsip green mining seharusnya menjadi dasar dalam aktivitas pertambangan. Kegiatan reklamasi hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam aktivitas penambangan di dalam kawasan hutan. Adanya skema green product merupakan tantangan bagi perusahaan tambang untuk memasukkan biaya reklamasi menjadi bentuk investasi yang berpengaruh terhadap nilai jual produk tambang tersebut di samping tanggung jawab sosial dari perusahaan.
Jika mengacu pada konsep keseimbangan alam, di kala ada energi yang diambil (output), harus ada energi yang dimasukkan. Jika dianalogikan, dalam aktivitas penambangan, bentuk kegiatan penambangan ialah bentuk energi yang dikeluarkan dan reklamasi hutan ialah energi yang harus dimasukkan. Bentuk input dan output itu haruslah seimbang. Di kala aktivitas tambang dilaksanakan tetapi tidak seimbang dengan kegiatan reklamasi hutan itu sendiri, akan terjadi ketidakseimbangan ekosistem yang ada di sana. Dengan kata lain, akan terjadi penurunan daya dukung lahan bekas tambang tersebut. Hal itu terjadi karena mungkin reklamasi yang asal-asalan. Hal itu ibarat penyembuhan luka, tetapi tidak menghilangkan bekas luka.
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 11 April 2012
“Reklamasi hutan bukan sekadar menanam pada areal bekas tambang, melainkan juga memulihkan kembali fungsi areal hutan tersebut, baik lingkungan maupun kondisi sosial yang ada."
ALKISAH pada mitos masyarakat Yunani kuno tersebutlah Achilles yang perkasa dalam menjunjung bumi di pundaknya dengan tidak pernah merasa lelah. Achilles sadar bahwa tugas dan tanggung jawab yang diberikan Yang Maha Kuasa ialah menjaga bumi agar tidak rusak ataupun hilang terbawa oleh kekuatan lain. Maka, setiap hari berlanjut setiap bulan dan setiap periode waktu, Achilles meraba dan memeluk bumi dengan saksama.
Dahulu pada zaman Zeus berkuasa dan Achilles bisa ditanya, bumi yang dijunjungnya terasa sangatlah halus di permukaannya, hijau warnanya, dan sangat indah bila dipandang mata. Pada zaman itu bumi ini dihuni punggawapunggawa yang arif, di kala kehidupan mereka selalu diselaraskan dengan alam dan kebutuhan mereka belum terlalu beragam, misalnya kebutuhan energi diperoleh dari minyak kelapa dan BBM patra yang diambil secara bijaksana dan menjauhkan sifat ‘kemaruk’ (baca: tamak) untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Semua aktivitas di muka bumi diletakkan pada tatanan kepentingan besar dengan orientasi nasional yang dijalankan secara bermartabat dan berkeadilan.
Kini di kala Achilles kembali meraba bumi yang dijunjungnya, dia terkejut karena ternyata bumi itu kasar dan penuh dengan bekas luka. Pada sebagian wilayah bumi, luka tersebut bahkan belum sembuh dan berlubang di mana-mana. Kenapa? Ternyata hiruk-pikuk penambangan terbuka untuk mendapatkan komoditas batu bara, nikel, emas, dan lain-lain sedang berlangsung dilakukan para punggawa negeri yang mengalami dekadensi moral budi pekerti. Kegiatan penambangan tersebut berdampak luar biasa bagi masyarakat, baik bersifat negatif maupun positif. Ada masyarakat yang mendadak kaya, ada desa yang berubah wajah di antara gubuk papan di desa tiba-tiba muncul bangunan bagai istana.
Namun tidak sedikit pula para lelaki yang meninggalkan anak istri karena mendadak kaya raya dari eksploitasi perut bumi, dan tak sedikit pula suami yang diusir sang istri karena lupa diri. Itu penggalan dinamika masyarakat terkini. Lalu bagaimana dengan dinamika lingkungan? Sungguh lebih hebat lagi yang terjadi garagara tambang, bumi menjadi `terluka' dan masyarakat menderita akibat dampak dari luka tersebut. Setelah punggawa puas me nguras hasil tambang, terkadang dia membiarkan lahan merana begitu saja.
Peningkatan Kebutuhan Energi
Tidak dapat dimungkiri, perkembangan zaman yang seiring dengan perkembangan umat manusia menyebabkan peningkatan kebutuhan pangan, papan, dan energi. Khusus kebutuhan energi dari minyak patra (BBM fosil) tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga muncul energi alternatif yang paling potensial, yaitu batu bara. Penambangan batu bara setelah reformasi sangat luar biasa menyebar di mana-mana dengan berbagai cara, ada yang legal dan banyak pula yang ilegal yang dilakukan secara terbuka (open pit). Sistem pertambangan terbuka, terutama yang berada dalam kawasan hutan, telah menyebabkan bumi ini menjadi luka dan perlu disembuhkan melalui reklamasi hutan.
Kegiatan pertambangan terbuka dalam kawasan hutan berdasarkan data Kementerian Kehutanan, saat ini sekitar 680 ribu hektare dengan status pinjam pakai kawasan. Kegiatan eksploitasi sumber daya ini secara jangka pendek banyak positifnya, tetapi juga tidak terlepas dari ekses negatif yang ditimbulkan, terlebih terhadap lingkungan hutan itu sendiri seperti kerusakan vegetasim pencemaran air yang kesemuanya berdampak pada penurunan daya dukung sumber daya hutan.
Konsep Reklamasi Hutan Bekas Tambang
Reklamasi hutan merupakan usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Pertanyaan selanjutnya, mampukah hutan itu berfungsi secara optimal kembali setelah kegiatan reklamasi dilakukan pada areal bekas penambangan di dalam kawasan hutan? Jika keadaan hutan belum kembali pada rona awalnya, dengan fungsi-fungsi yang berjalan sebagaimana mestinya, reklamasi hutan hanyalah bentuk penyembuhan luka yang meninggalkan bekas-bekas luka tersebut.
Konsep reklamasi hutan pada kegiatan penambangan seyogianya berpijak pada suatu integrasi faktor-faktor yang telah hilang/rusak akibat aktivitas pertambangan. Konsep reklamasi hutan bekas penambangan diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.4/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi Hutan. Dengan demikian, kegiatan reklamasi hutan merupakan kegiatan sistematis dalam upaya mengembalikan kenormalan fungsi hutan pada tatanan semestinya. Tidak hanya mengobati luka hingga sembuh, ada perlakuan-perlakuan lanjutan agar luka yang telah sembuh tidak meninggalkan bekas, begitu pula halnya dengan reklamasi hutan.
Reklamasi hutan bukan sekadar menanam pada areal bekas tambang, melainkan juga memulihkan kembali fungsi areal hutan tersebut, baik lingkungan maupun kondisi sosial yang ada. Prinsip green mining seharusnya menjadi dasar dalam aktivitas pertambangan. Kegiatan reklamasi hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam aktivitas penambangan di dalam kawasan hutan. Adanya skema green product merupakan tantangan bagi perusahaan tambang untuk memasukkan biaya reklamasi menjadi bentuk investasi yang berpengaruh terhadap nilai jual produk tambang tersebut di samping tanggung jawab sosial dari perusahaan.
Jika mengacu pada konsep keseimbangan alam, di kala ada energi yang diambil (output), harus ada energi yang dimasukkan. Jika dianalogikan, dalam aktivitas penambangan, bentuk kegiatan penambangan ialah bentuk energi yang dikeluarkan dan reklamasi hutan ialah energi yang harus dimasukkan. Bentuk input dan output itu haruslah seimbang. Di kala aktivitas tambang dilaksanakan tetapi tidak seimbang dengan kegiatan reklamasi hutan itu sendiri, akan terjadi ketidakseimbangan ekosistem yang ada di sana. Dengan kata lain, akan terjadi penurunan daya dukung lahan bekas tambang tersebut. Hal itu terjadi karena mungkin reklamasi yang asal-asalan. Hal itu ibarat penyembuhan luka, tetapi tidak menghilangkan bekas luka.
Bermula dari Air, Harapkan Surga, Natalia Santi
Kita
yang terbiasa ketika membutuhkan air tinggal membuka keran lalu air akan
mengucur deras, tidak akan merasakan betapa air begitu dirindukan oleh
masyarakat Sumba .
Bisa
juga kita terheran-heran mengapa seorang Menteri Kesehatan begitu antusias
untuk meresmikan sarana penyediaan air di sebuah daerah terpencil yang sulit
dijangkau. Bahkan dengan yakin Menteri Kesehatan mencanangkan penghapusan
beberapa penyakit yang terabaikan, tak lama setelah peresmian sarana air
tersebut.
Bagi
rakyat Sumba , kesulitan mendapatkan air sudah menjadi
“makanan”sehari-hari. Kaum perempuan Sumba terpaksa harus berjalan
hingga belasan kilometer hanya untuk mendapatkan air.
Karena
sedemikian sulitnya memperoleh kebutuhan pokok ini, maka harga air pun menjadi
sangat tinggi di sana . Harganya bisa mencapai
ratusan ribu rupiah untuk setiap tangki air.
Pengambilan
air di sana biasanya dibebankan pada anak-anak dan
perempuan. Kadang-kadang mereka harus berjalan kaki atau menggunakan kerbau dan
kuda. Sumber air yang sangat jauh, membuat anak-anak sampai membolos sekolah.
Kaum perempuan juga tidak bisa melakukan aktivitas lain, apalagi kegiatan
ekonomi yang sangat berguna untuk menambah keuangan keluarga.
Kondisi
ini mau tak mau membuat penggunaan air sangat dihemat. Akibatnya, banyak yang
hanya menggunakan air untuk keperluan yang sangat vital. Untuk keperluan mandi
pun hanya bisa satu kali dalam seminggu. Tak pelak, berbagai penyakit termasuk
frambusia alias lepra atau kusta, filaria atau kaki gajah, dan malaria banyak
diderita penduduk setempat.
Sejak
2002, pemerintah Indonesia mencanangkan proyek
penyediaan air bersih dan sanitasi pedesaan di Nusa Tenggara Timur (NTT)
bekerja sama dengan pemerintah Jerman.
Sejak
2003, paradigma baru untuk membangun pasokan air dan sistem sanitasi rakyat itu
dikenal sebagai Kebijakan Nasional bagi Pasokan Air Berbasis Masyarakat yang
difasilitasi oleh Waspola (Water Supply and Sanitation Policy Advice).
Kebijakan
ini diambil lantaran jika dibangun tanpa melibatkan masyarakat setempat,
pipa-pipa air yang ada akan dibolongi. Praktik-praktik
ilegal itu akan marak.
Berbasis Masyarakat
Proyek berbasis masyarakat tersebut dikenal
sebagai ProAir. Tujuannya adalah memberdayakan masyarakat untuk mengelola dan
mempertahankan pasokan air secara berkelanjutan. Akses pada air bersih tersebut
akan berdampak positif pada pengurangan penyakit yang terkait dengan ketersediaan
air.
Bupati Sumba Barat Daya, Kornelius Kodi Mete,
dalam sambutannya mengatakan air tidak saja diperlukan, tapi sudah sangat
dirindukan masyarakat. Mereka ikhlas merelakan tanah mereka tanpa ganti rugi
sepeser pun untuk digunakan bagi semua program pemerintah, pembangunan jalan,
serta pembangunan prasarana air.
Ketidaktersediaan air merupakan salah satu
penyebab kemiskinan kawasan, yang memiliki potensi wisata yang besar. Bahkan,
menurut Mete, peningkatan jumlah penduduk tidak saja karena peningkatan jumlah
kelahiran, tapi juga banyaknya pendatang yang ingin menghabiskan masa pensiun
di Sumba.
“Potensi
Sumba sungguh luar biasa. Pariwisatanya bukan main, indah pantainya, indah pula
kuburannya. Bagi rakyat Sumba , kematian bukan duka tapi pesta. Itu
adalah aset wisata, setiap hari ada kematian, setiap hari ada pesta. Ini
tinggal kami kelola dan promosikan bagi orang-orang yang ingin melihat pesta
kematian orang Sumba,” paparnya dalam sambutan “Serah Terima Aset Hasil
Kegiatan Penyediaan Air Minum Pedesaan (ProAir) dan Pencanangan Komitmen Menuju
Eliminasi Malaria, Eliminasi Filariasis, serta Eradikasi Frambusia” di Nusa
Tenggara Timur, 16 Maret lalu.
Kabupaten
Sumba Barat Daya merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat lima tahun lalu, tepatnya
Mei 2008. “Kami mekar dari kemiskinan, bukan dari
kekayaan,” kata Bupati Sumba Barat Daya. Penduduknya berjumlah 290.000 jiwa,
jauh lebih besar dari kabupaten tetangga yang hanya 180.000. Pertumbuhannya
sangat meningkat setelah pemekaran.
“Ada yang lahir, ada juga yang pensiun ingin
berada di Sumba,” katanya. Wilayahnya terdiri atas 11 kecamatan dengan 131 desa
kelurahan. Banyak daerah yang sulit dijangkau dan nyaris tidak ada kota.
Maka ketika tahun 2008 Mete terpilih sebagai
bupati, dia mengajak masyarakat untuk membangun desa. “Karena waktu itu tidak
ada kota,” katanya. Harapannya sederhana, kabupatennya bercahaya, berair, dan
tenteram serta tertib.
Desa-desa berair, menjadi kenyataan pada hari
itu, saat Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih yang diwakili oleh Dirjen Bina
Upaya Kesehatan(BUK) Kementerian Kesehatan Supriyantoro meresmikan fasilitas
ProAir.
Banyak tantangan yang sangat berat dihadapi
saat itu. Mete sadar betul bahwa upayanya akan sia-sia tanpa keterlibatan
rakyat. “Banyak tantangan, rakyat harus terlibat dan saat itu sungguh-sungguh
miskin,” katanya.
Dia mendatangi rumah-rumah penduduk dan
bertanya, apa yang kau miliki di rumah? Masyarakat menjawab, “Hanya raskin”. Maka
dia mendorong rakyatnya untuk memutar roda perekonomian dengan membuat pasar.
Saat ini, walaupun baru lima tahun, banyak
hal positif telah berhasil dilakukan. Buktinya, jalan-jalan yang kami lalui
dari Bandara Tambolaka ke Kodi Utara tempat dilakukan acara peresmian fasilitas
ProAir, sudah cukup lebar dan beraspal licin. Pembangunan jalan-jalan dilakukan
tahun 2007-2009. Rakyat ikhlas merelakan tanahnya tanpa ganti rugi sepeser pun.
Tingkat pendidikan masyarakat pun mulai
membaik. Kalau dulu, rata-rata rakyat belum tamat SD atau bahkan tidak sekolah,
tetapi saat ini nyaris semua tamat SD. Hingga kini pembangunan ruang belajar
terus ditingkatkan, namun selalu kurang karena pertumbuhan penduduk sangat
tinggi.
Masalah yang masih menjadi tantangan adalah
pembangunan kesehatan dan ekonomi. Sebagian besar masyarakat masih merupakan
petani tradisional. “Petani dalam ketidakpintaran sehingga kemiskinan menjadi
keseharian,” ujar Mete.
Sumba Barat Daya juga belum memiliki rumah
sakit daerah (RSUD), meski untungnya sudah memiliki sebuah rumah sakit swasta. Kehadiran
Dirjen BUK Supriyantoro dimanfaatkan Mete untuk meminta pembangunan rumah
sakit. Dirjen segera menjawab akan mengupayakan rumah sakit bergerak atau rumah
sakit pratama.
Melalui para pejabat-pejabatnya, rakyat Sumba
Barat Daya mendoakan kesehatan Menkes agar suatu saat bisa mengunjungi mereka. “Kita
akan menjadikan Sumba sebagai tempat menikmati surga dan pulang membawa surga,”
kata bupati asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu dengan nada
optimis.
INDONESIA MENANAM POHON
Djoko Winarno
Sekretaris Ditjen
BPDAS dan Perhutananan Sosial, Kementerian Kehutanan
"INDONESIA
bisa!" kini menjadi ikon bertuah. Setidaknya moto itu membawa Indonesia
merebut kembali juara umum SEA Games ke-26 yang baru usai. Motto serupa itu
pula yang menjiwai gerakan Indonesia Menanam, yang terus digalakkan.
Program Penanaman 1 Miliar Pohon yang diluncurkan sejak
tahun lalu, misalnya, realisasinya melampaui target. Pada tahun 2010, sudah
tertanam 1,7 miliar pohon, setara dengan 10,6 juta ton CO2. Itulah sumbangan
berharga Indonesia
bagi dunia sesuai moto ketika program itu diluncurkan, yakni One Billion
Indonesian Trees for the World (OBIT).
Namun, keberhasilan pelaksanaan kegiatan program itu bukan
tanpa tantangan dan hambatan, mulai dari pencarian persiapan lahan, pemilihan
bibit yang tepat sasaran, pemeliharaan hingga pengawasan.
Program Penanaman
1 Miliar Pohon tahun 2011 ini merupakan kelanjutan tahun sebelumnya. Realisasinya
mencapai 827 juta batang (80%) atau setara dengan 4,9 juta ton CO2. Program ini bertujuan menambah tutupan
lahan dan mencegah erosi, banjir, tanah longsor, dan konservasi keanekaragaman
hayati. Juga penyerapan karbon untuk mencegah dampak perubahan iklim, mendukung
ketahanan pangan, energi, dan cadangan air untuk masyarakat.
Kebun Bibit
Rakyat
Pemerintah juga
berupaya memberdayakan masyarakat dengan memberi dukungan aktif agar masyarakat
tidak sekadar menuai hasil hutan. Inilah yang mendasari kebijakan Kementerian
Kehutanan yang sejak 2010 meluncurkan program Kebun Bibit Rakyat (KBR). Program
ini dirancang untuk membuat masyarakat secara masif mampu memproduksi dan
mendistribusikan bibit pohon secara mandiri.
Kebun yang
dikelola kelompok masyarakat melalui pembuatan bibit berbagai jenis tanaman
hutan dan/atau tanaman serbaguna. Pembiayaannya bersumber dari dana pemerintah
dan nonpemerintah. Program ini juga bertujuan memulihkan sumber mata air di
daerah aliran sungai (DAS) yang kritis.
Lebih dari itu,
program ini bertujuan mengurangi risiko sosial berupa kemiskinan akibat
degradasi hutan dan lahan serta memenuhi kebutuhan bibit berkualitas yang
berbasis pemberdayaan masyarakat. Tujuan lain, menjadi wadah pengetahuan dan
keterampilan mengenai pembuatan bibit tanaman dengan benih/bibit berkualitas.
Dari sekitar 63
ribu desa di Indonesia, Kementerian Kehutanan membidik pelaksanaan program KBR
di 50 ribu desa selama 5 tahun ke depan dengan target dapat merehabilitasi
lahan lebih dari 6 juta hektare (ha). Keberadaan KBR diharapkan bisa menunjang
program rehabilitasi lahan dan hutan.
Apalagi, kini
masih ada sekitar 30 juta ha lahan kritis pada DAS prioritas yang harus segera
direhabilitasi sekitar 17 juta ha-nya berada di lahan-lahan milik masyarakat.
Alternatif
Penghasilan
Tahun ini target
Kemenhut akan membuat 10 ribu unit KBR. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan
menargetkan pada 2012 KBR akan diperluas menjadi 15 ribu unit. Hingga 2014
ditargetkan pembangunan 48 ribu unit KBR. Selain itu, akan dibangun 23 unit
persemaian permanen di 22 provinsi, yang secara keseluruhan akan memproduksi 35
juta batang bibit pohon untuk seluruh wilayah di Indonesia.
Secara hitungan
ekonomi sederhana, KBR bisa menjadi alternatif penghasilan untuk masyarakat di
sekitar hutan. Karena dalam pelaksanaannya, selain diberi bantuan bibit yang berkualitas
(untuk tanah milik) sekitar 200—400 batang/ha, masyarakat juga diberi insentif
Rp500 per batang.
Dengan bantuan
400 batang bibit/ha yang ditanam di lahan petani, berdasarkan asumsi per batang
volume kayu tersebut sekitar 0,25 meter kubik/batang, pada lima tahun ke depan
akan diperoleh 100 meter kubik kayu/ha.
Jika harga jual
per kubik sekitar Rp1 juta, akan diperoleh sekitar Rp100 juta dari penjualan
kayu. Setelah dikurangi biaya perawatan sekitar Rp1,8 juta, masih ada
keuntungan Rp98,2 juta, itu jika jumlah tanaman 400 batang/ha.
Jika satu unit
KBR kapasitasnya sebanyak 50 ribu batang, untuk 5 tahun ke depan akan diperoleh
keuntungan sekitar Rp12,275 miliar untuk setiap KBR (15 orang) atau
Rp818.333.333/orang setelah dikurangi biaya pembuatan tanaman selama 5 tahun.
Mungkin jumlah
itu terlihat fantastis, tapi bukan hal mustahil untuk mencapainya. Seminim apa
pun hasil yang diberikan dari program ini, bila dilaksanakan secara
sungguh-sungguh dan tepat sasaran, akan menjadi solusi untuk memberikan
pekerjaan bagi masyarakat. (*)
TEMBAKAU SEBAGAI OBAT
Koran SINDO, Monday,
12 December 2011
Kelihatannya, tulisan
John Josselyn tentang pemanfaatan tembakau sebagai obat, yang dikutip Wanda
Hamilton untuk bukunya, Nicotine War, dari tulisan CA Weslager, Magic Medicine
of the Indian, kita menemukan informasi yang berkebalikan dengan sikap
pihak-pihak yang antitembakau.
Josselyn menyebutkan, tembakau bisa melancarkan pencernaan,
meringankan encok, sakit gigi, mencegah infeksi, bisa membikin badan hangat,
tapi sekaligus bisa menyejukkan mereka yang berkeringat, memulihkan semangat
yang sudah loyo, serta mencegah nafsu makan.
Tembakau bahkan bisa membunuh kutu rambut dan telurnya,dan
tumbukan daunnya yang masih hijau bisa menyembuhkan luka, bisa dibikin sirup
untuk aneka penyakit, dan bisa dijadikan asap untuk sakit tuberkolusis, batuk
paru-paru dan rematik, dan semua penyakit akibat hawa dingin yang lembab.
Selama berabad-abad, suku Indian,yang memiliki peradaban canggih,menggunakan
tembakau untuk obat sebagaimana disebutkan di atas.
Tradisi pengobatan itu terpelihara dalam lintas abad yang
panjang. Namun,kepentingan bisnis farmasi Amerika,dengan dukungan dokter-dokter
ahli yang meyakinkan, menyatakan tembakau berbahaya.Orang harus berhenti
merokok. Obat yang dipakai
menghentikan merokok dibuat pabrik farmasi. Dan pabrik farmasi bisa membikin
rokok sintetis tanpa tembakau.
Di halaman 111
buku Hamilton, Nicotine War tadi, kita temukan kesangsian: argumen untuk
membangun kesehatan publik, yang ditempuh Amerika Serikat, lama-lama
menimbulkan pertanyaan: ini program menyelamatkan nyawa manusia apa memaksakan
obat dan agenda? Setelah para ahli mempelajari kekuatan tembakau sebagai obat,
orang bisa membuat obat lain—yang bukan tembakau—dan menjadikan obatnya sebagai
satu-satunya rujukan obat bagi penyakitpenyakit tertentu.
Sekali lagi,
temuannya bisa diracik dari kandungan tembakau,tapi untuk memusuhi dan membunuh
tembakau. Perhitungan daganglah— dan kepentingan politik dagang— yang menjadi
penyebab gencarnya ‘perang melawan tembakau’. Argumen kesehatan publik
diutamakan.Faktor ekonomi—bahwa orang miskin bisa makin miskin karena merokok—
menjadi argumen tambahan.
Agar lebih
dramatis, disebutlah ‘baby smokers’, dan banyak labeling yang membunuh harkat
tembakau yang pada hakikatnya—seperti dipertahankan berabad-abad di masyarakat
suku Indian—merupakan obat, disebut sumber penyakit. Dengan membaca uruturutan
logis argumen Hamilton di dalam Nicotine War tadi,kita menjadi tahu bahwa
tradisi hebat suku Indian itu bukan mati dalam perjalanan melintasi abad ilmu
pengetahuan, melainkan dibunuh secara semena- mena,dengan kebohongan ilmiah,
untuk kepentingan dagang.
Sekali lagi,
tradisi hebat itu bukan mati, melainkan dibunuh. Apa yang sampai di negeri
kita, usaha membunuh tembakau— artinya membunuh kebenaran ilmiah juga—dibantu
dengan kekuatan rohaniah. Karena argumen kesehatan tak terlalu meyakinkan,dan
argumen ekonomi tak membikin guncangan yang diharapkan, berikutnya digunakan
argumen moral untuk mengharamkan tembakau—di sini bahasa teknisnya mengharamkan
merokok—dan perang total melawan tembakau pun meluas ke seluruh dunia.
Pedagang itu
jenis manusia yang menempatkan kata hemat pada urutan nomor satu bagi prioritas
nilai hidupnya. Tapi pedagang besar, berskala besar, memperlihatkan pada kita
semangat murah hati, mengucurkan dana besar seolah tanpa memikirkan untungrugi.
Siapa saja yang memiliki potensi untuk membantunya membunuh tembakau
dibantu. Semua pihak yang menguntungkan diperlakukan sebagai sahabat.
Dan sahabat lebih penting daripada keuntungan. Sikap kapitalis tulen kelihatan lebih
manusiawi daripada sikap pedagang biasa. Rangkul sana rangkul sini, pesta sana
pesta sini,anggur, kemabukan, makanan mewah, dan bau parfum yang lembut,
menandai “persahabatan” dengan semua pihak. Betul mereka tak menghitung
untung-rugi? Semua dihitung. Sudah pasti dengan sangat cermat agar jangan
sampai rugi.
Sikap menyebar
dana ke seluruh dunia bukan sikap orang mabuk, melainkan sikap kapitalis yang
sangat waras. Di seluruh dunia ada lembaga-lembaga yang didanai untuk
membantunya membunuh tembakau. Di seluruh dunia ada tokoh-tokoh— ilmuwan,
aktivis, rohaniwan, atau yang agak kelihatan seperti rohaniwan dan para pejabat
negara maupun para anggota DPR—yang sukarela menjadi sahabat “orang kaya” ini.
Dan kelihatannya
mereka inilah yang mabuk karena bantuan tersebut.Mereka sedemikian mabuk,
sampai lupa bahwa “persahabatan”mereka dengan “orang kaya” itu menghancurkan
kepentingan negerinya, bangsanya, dan rakyat, yang semula. Rakyat, baik petani
tembakau, buruh-buruh tani tembakau, buruh pabrik kretek, pengecer kretek, dan
berjutajuta warga yang bergantung pada mereka,dirugikan oleh sikap bersahabat
dari “orangorang kaya” tadi, dan kita dirugikan oleh orang mabuk, hanya karena
merasa bersahabat dengan orang kaya.
Bagaimanapun,
kelihatannya ini cerminan mentalitas kuli.Watak kuli—maaf—biarpun kelihatan
agak terpelajar, dan pernah menikmati pendidikan tinggi, termasuk di luar
negeri, tetap minder biarpun diam-diam. Jiwanya mudah terpukul oleh pihak yang
lebih kaya.Mereka tunduk pada pemilik uang yang menjamin kehidupan mereka
menjadi lebih baik.
Mentalitas kuli
itu juga tampak pada semangat hidupnya untuk “menelan tanpa mengunyah”, argumen
para pemilik pabrik farmasi bahwa rokok berbahaya, dan produk pabriknya yang
sehat.Mereka menerima tanpa “reserve” argumen para pedagang besar yang
mencelakai kita itu sebagai kebenaran. Selebihnya, sikap rendahan juga tampak
pada mereka.Melawan “orang kaya”—apalagi bule yang memberi uang—tidak mungkin.
Maka, mereka
gigih melawan bangsanya sendiri. Mereka gencar mengancam petani. Mereka
sebarkan perda, dan ancaman kriminal kepada bangsanya sendiri. Kepatuhan sudah
tumpah seutuhnya pada bos Amerika. Maka,tembakau sebagai obat, tak boleh
disebut, tak boleh diingat,tak boleh hidup dalam kesadaran.Yang dipompakan
ialah kebohongan: tembakau sebagai sumber penyakit.Dan “koeli-koeli”itu pun
patuh.●
M SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat
Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih
dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com
SIKAP SENIMAN TERHADAP ALAM DAN MASYARAKAT
Restoe Prawironegoro Ibrahim, Seniman
SUMBER : MEDIA INDONESIA ,
07 April 2012
SIKAP objektif seniman terhadap alam dan masyarakat ialah
adanya bukti tindak kebudayaan yang mengalir dari ciptaannya. Tindakan kebudayaan
itu sebaiknya tak perlu diuraikan sebagai suatu kerangka pengetahuan ilmiah,
sebab sering dipengaruhi pandangan empiris sederhana. Fakta-fakta tidaklah mengorganisasi diri menjadi
konsep-konsep dan teori-teori hanya karena diamati. Sesungguhnya, kecuali dalam
kerangka gagasan-gagasan dan teori-teori, tidak akan ada fakta-fakta ilmiah
kecuali hanya kekacauan.
Terdapat suatu
unsur apriori yang tak dapat dielakkan dalam semua usaha menguraikan secara
ilmiah. Soalsoal apakah kebudayaan harus dipertanyakan sebelum jawaban-jawaban
diberikan, itu pada dasarnya merupakan penilaian juga. Jadi, penilaianpenilaian
dengan sendirinya ada pada tahap ketika kita mengamati fakta-fakta dan
melakukan analisis teoretis dan bukan hanya pada tahap ketika kita menarik kesimpulan-kesimpulan
empiris dari fakta-fakta dan penilaianpenilaian.
Tindak kebudayaan
tiada lain ialah tindak akal sehat yang bertaktik-taktik (sophisticated common
sense) dan itu sangat berguna bagi kita untuk memulai pembahasan dengan mencoba
memberi corak pada pandangan para seniman atau budayawan ketika mereka
membentuk pengertian-pengertian tentang kebudayaan itu sendiri, baik lewat
karya maupun pandangan-pandangannya. Mereka pada umumnya berkehendak untuk
menjadi orisinal dan memiliki penalaran dalam mengartikan dan memberi reaksi
terhadap kenyataan alam dan kemasyarakatan yang mengelilingi.
Terdapat dua
macam konsepsi tentang kenyataan yang mereka anut; dalam bentuknya yang murni
sebagai kepercayaan (belief) dan `penilaian' (valuation). Kepercayaan
dan penilaian itu selanjutnya bercampur dalam pendapat (opinion) mereka. Walau
pun tak ada batas yang jelas dan tegas di antara kedua macam konsepsi tersebut
dalam proses mental manusia, itu berguna bagi pembahasan ini untuk membedakan
keduanya karena pengertian logis di antara keduanya pun berbeda.
Penilaian diberi tanda kutip. Itu untuk mengelakkan istilah
`nilai' yang begitu terkenal dalam semua pembicaraan kebudayaan. Penggunaan
istilah `nilai' secara umum mengundang kekacauan dalam pengertian di antara
penilaian-penilaian dalam arti subjektif--sasaran penilaianpenilaian tersebut
dengan seluruh keadaan objektif. Penggunaan istilah `nilai', khususnya dalam
pembicaraan-pembicaraan kebudayaan, biasan ya mengandung ketentuan nilai yang
tersembunyi, yakni suatu `nilai' co ipse: bernilai dalam beberapa pengertian
yang objektif. Itu berarti suatu pandangan yang memihak kepada bentuk laissez
faire. Istilah `nilai' akhirnya menunjuk suatu yang utuh, seragam, dan mantap,
sedangkan dalam kenyataannya penilaian bersifat berbenturan dan tidak
mantap--khususnya dalam masyarakat modern saat ini.
Kepercayaan seseorang menuntut adanya pengetahuan.
Konsekuensinya, ia harus selalu bisa menilai kebenaran dari kepercayaan itu
dengan mengenakan ukuran apakah itu benar atau salah, dan dalam hal salah,
dengan mengukur beberapa jauh, bagaimanakah arah penyimpan gan dari kebenaran.
Oportunis
Dalam kehidupan, perbuatan, pemikiran, dan pembicaraan
sehari-hari, seseorang akan memusatkan perhatiannya pada penilaian-penilaian
tentang kepribadian moralnya di satu pihak, sambil membiarkan
penilaian-penilaian yang sering berselisih berlalu di pihak lain. Dasar dari
pemusatan yang selektif semacam itu jelas bersifat oportunis.
Kita makhluk yang tidak sempurna dan sangat sering penilaian
yang lebih tinggi disingkirkan ke belakang dalam kehidupan sehari-hari.
Penilaian itu disimpan untuk dinyatakan dalam saat-saat yang lebih bersifat
upacara atau dengan satu dan lain cara dikucilkan dari hidup sehari-hari, di
saat penilaian-penilaian yang `lebih rendah' sering kali menonjol. Ini faktual.
Risiko dari fakta semacam itu mem buat kita tak mam pu
bersikap objektif. Seniman pun tak bakal mungkin melahirkan karya orisinal
karena ientasi moralnya secara orientasi moralnya secara tak sadar tidak
mengarah ke situ, tapi kepada tujuantujuan lain yang lebih bersifat `aneh'.
Dengan demikian, permasalah an menjadi sangat jelas, bahwa orisinalitas dalam
kesenian hanya dapat dicapai bila seniman memiliki kejujuran dalam menanggapi,
menyerap, dan menyampaikan penilaiannya tanpa diganduli minat-minat di luar
cita-cita mengungkapkan penilaian objektifnya itu. Inilah inti tindak
kebudayaan.
Inti tindak kebudayaan ialah sikap mandiri dalam mengarungi
proses elan vital manusia. Bagi
seniman, itu diartikan sebagai tindak yang meloloskan kehendak-kehendak di luar
orientasi untuk berorientasi tadi. Kemencengan sikap untuk meraih
kebutuhan-kebutuhan (pamrih) lain di luar tindak kebu dayaan akan mendorongnya
untuk berbalik menjadi oportunistis. Secara nyata, itu bisa dilihat dari
beberapa seniman yang tak mampu eksis, kendati ia telah `merasa' melakukan
tindak kebudayaan yang besar. Ia hanya berpurapura bersikap kritis terhadap
realisme.
Realisme ialah
suatu istilah yang salah satu artinya menunjuk pada suatu sikap objektif
terhadap realitas alam dan sosial--padahal nyatanya cuma kamuflase doang. Ia
sering berkoar tentang adanya sistem kemasyarakatan yang rusak, tentang
ekosistem alam yang terancam, tapi di belakang berkoar itu tersungging
hasrat-hasrat pribadi yang menggelikan.
Kita tahu
pembohongan semacam itu melahirkan kemencengan lain dalam masyarakat. Terlebih
bila masyarakat merasakannya sebagai hasil dari perjuangan murni dari manusia
yang dipujikan, `nilai' yang begitu terkenal dalam pembicaraan kebudayaan
mendadak menjadi penting untuk diperhatikan. Padahal, `nilai' itu sendiri
sebenarnya nol, kosong, akrobat, gombal. Masyarakat jadi terkecoh, si seniman
dielu-elukan! Besar kepalanya.
Ia pun
berpetualang.... ●
AGENDA LINGKUNGAN HIDUP TAHUNAN
Berikut merupakan daftar hari perayaan (peringatan)
lingkungan hidup yang dirayakan di tingkat internasional (sedunia):
Hari Lahan Basah Sedunia (World Wetlands Day) – 2 Februari
Hari Air Sedunia (UN World Day for Water) – 22 Maret
Hari Meteorologi Sedunia – 23 Maret
Earth Hour – Sabtu terakhir bulan Maret (Pukul 8:30 pm waktu setempat)
Hari Bumi (Earth Day) – 22 April
Hari Penanaman Pohon (Arbor Day) – Jumat terakhir di bulan
April
Hari Burung Migratori Internasional (International Migratory
Bird Day) – 3 Mei
Hari Biodiversitas Dunia (International Day for Biological
Diversity atau World Biodiversity Day) – 22 Mei
Hari Bersepeda Ke Kantor (Bike-to-Work Day) – Jumat Ketiga
di bulan Mei
Hari Anti Tembakau Internasional – 31 Mei
Hari Lingkungan Hidup Sedunia PBB (UN World Environment Day)
– 5 Juni
Hari Melawan Desertifikasi dan Kekeringan Dunia PBB (UN
World Day to Combat Desertification and Drought)- 17 Juni
Hari Populasi Dunia PBB (UN World Population Day) – 11 Juli
Hari Peringatan Sedunia Untuk Mempertahankan Lapisan Ozon
(International Day for the Preservation of the Ozone Layer) – 16 September
Hari Emisi Nol (Zero Emissions Day) – 20 September
Hari Bebas Mobil (Car Free Day) – 22 September
Hari Habitat Dunia PBB (UN World Habitat Day) – Senin
pertama di bulan Oktober
Hari Peringatan Pengurangan Bencana Alam Dunia
(International Day for Natural Disaster Reduction) – Rabu Kedua di bulan
Oktober
Hari Peringatan Sedunia untuk Mencegah Eksploitasi
Lingkungan dalam Perang dan Konflik Bersenjata (International Day for
Preventing the Exploitation of the Environment in War and Armed Conflict) – 6
November
Hari Pohon – 21 November
Hari Gunung Sedunia (International
Mountain Day) – 11 Desember
Daftar Hari Perayaan Lingkungan Hidup Indonesia
(Tingkat Nasional).
Berikut merupakan daftar hari perayaan (peringatan)
lingkungan hidup yang dirayakan di tingkat nasional (di Indonesia):
Hari Sejuta Pohon – 10 Januari
Hari Peringatan Laut dan Samudera Nasional – 15 Januari
MEMASUKI TAHAP EVOLUSI BARU
T Nugroho Angkasa,S.Pd,
Guru Bahasa Inggris di PKBM Angon
Koran SINDO, Sunday,
27 November 2011
Kepulauan Nusantara dikelilingi air. Lalu di bawah perairan
tersebut, jauh di dasar laut,terdapat rings of fire.Patahan kerak bumi yang
senantiasa beringsut dinamis ini menyebabkan gempa tektonik dan aktivitas
vulkanik di seluruh Indonesia .
Air dan api merupakan 2 unsur alam yang saling bertentangan.
Dan kita semua hidup di tengah dominasi kedua elemen tersebut (halaman 49).
Begitulah pengamatan jeli Anand Krishna yang diungkap dalam buku ini.Penulis
140 buku tersebut memaparkan kenapa manusia Indonesia
cenderung emosional. Memang, emosi berlebih, di satu pihak, membuat kita
berpotensi menjadi seniman kelas dunia.
Menurutnya, bila penulis kita menguasai bahasa Inggris
dengan baik, kita dapat berdiri sejajar dengan sastrawan dari India
dan Pakistan
sehingga karya tulis kita bisa dibaca di negeri manca. Di sisi lain, pengaruh
unsur air dan api membuat kita cepat tersinggung. Ketika ingin marah, elemen
api terkalahkan oleh anasir air, tak jadi marah. Namun, luapan amarah tersebut
masih terpendam di dalam diri.
Akibatnya, setiap sekian tahun, kita menjadi beringas dan
melampiaskannya secara kolektif. Istilah “amuk” hanya ditemukan dalam kamus
bahasa Indonesia .
Kadang bangsa ini gontokgontokan karena alasan PKI (1965). Selanjutnya karena
berbeda suku, agama, ras, antargolongan (SARA) (1998) dst. Bila ditelisik
secara mendalam, akarnya ialah benturan elemen air dan api tadi.Para leluhur
kita menyadari kondisi geografis dan suasana batin ini.
Oleh sebab itu, mereka menganjurkan gotong-royong sebagai
laku hidup sehingga secara konstruktif, kita dapat menyalurkan energi hasil
friksi kedua unsur tersebut untuk mencapai tujuan bersama.Senada dengan
definisi Paul Martin Taylor, “Gotong royong is cooperation among many people to
attain a shared goal.” Sejak usia dini anak-anak mesti dididik untuk hidup
berdampingan dalam keberagaman.
Di pinggiran Kota Yogyakarta terdapat Sanggar Anak Alam.
Pendirinya Dra Nadloh AS Sariroh. Beliau masih kerabat dekat Cak Nun. Di
sekolah alam tersebut, sejak masih playgroup anakanak sudah diajari
multikulturalme alias saling apresiasi kemajemukan. Tentu cara penyampaiannya
disesuaikan dengan usia mereka. Misal lewat media dongeng dan story telling
agar lebih menarik sekaligus mengena pesannya.
Buku ini semula berupa catatan doktoral untuk meraih Ph.D.
Anand meraih gelar dalam bidang comparative religions (perbandingan agamaagama)
dari Univeristy of Sedona (USA) pada 2011. Judul asli disertasinya adalah
“Transpersonal Way of Action”. Isinya terinspirasi oleh ajaran Sheikh Baba, Sri
Sathya Sai Baba, Maharishi Mahesh Yogi, J Krishnamurti, Anthony de Melo,
Maulana Wahiduddin Khan, Gus Dur,dll.
Selain itu,pendiri Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan
PBB) ini menjadikan tulisan Rumi, Blavatsky, Ramakrishna,Vivekanada,Yogananda,
Ranggawarsita, dan Mangkunegara IV sebagai referensi (halaman 57). Pada Hari
Kesukarelawanan Sedunia (International Volunteer Day) 5 Desember 2008,Ban
Ki-moon menyatakan bahwa semangat kesukarelawanan atau altruisme-lah yang bisa
menyelamatkan dunia kita.
Sekjen PBB tersebut menandaskan, “Kita membutuhkan orang
yang dapat melayani masyarakat tanpa memikirkan keuntungan bagi dirinya
sendiri.” (Sumber: www.inis.unvienna.org/unis/pr essrels/2008/unissgsm087.html)
Dalam buku ini istilah ilmiah untuk semangat berkarya tanpa pamrih (karma yoga)
di atas ialah transpersonal (halaman 84). Cabang psikologi ini pertama kali dipopulerkan oleh filsuf William James
pada 1905–1906. Namun, setelah itu sempat terlupakan.
Baru pada 1969
mulai diperkenalkan kembali oleh psikolog kondang Abraham Maslow. Terobosan
Maslow memberi warna baru pada ranah psikologi. Para psikolog mulai beralih
dari ego-centered menuju egotrancendent (halaman 86).Tokohnya ialah filsuf
modern Ken Wilber.Menurut Wilber,manusia bukanlah fisik, pikiran, emosi,roh
atau jiwa saja.Ia adalah suatu keutuhan yang terdiri atas seluruh lapisan
kesadaran itu. Di Indonesia,praktisi transpersonal yang terkenal ialah Hendro
Prabowo, S.Psi, M.Si, dan Kwartarini Wahyu Yuniarti, M.Med Sc, Ph.D.
Keduanya mengajar
di Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada (UGM),Yogyakarta. Buku Karma
Yoga bagi Orang Modern, Etos Kerja Transpersonal untuk Zaman Baru ini memberi
nuansa spiritual.Apa pun yang kita lakukan, pikirkan juga untuk kepentingan
orang lain. Entah itu di lokus keluarga, tempat kerja, lingkungan sosial atau
masyarakat luas. Sebab berkarya dengan semangat transpersonal merupakan esensi
ajaran agama dan kepercayaan manusia di seluruh dunia.
Sepakat dengan
pendapat Michael Bernard Beckwith, tokoh new thought dan pendiri Agape
Interenational Spiritual Center,“Yang penting adalah menciptakan suatu sistem
di mana manusia tidak lagi bekerja untuk uang atau kepentingan dirinya saja,
tetapi untuk membantu planet ini bersama seluruh penghuninya memasuki tahap
evolusi selanjutnya.”
MELAWAN KONSPIRASI ATAS BUMI
Oleh: Mimin Dwi Hartono
Bumi, satu-satunya tempat manusia dan makhluk lainnya hidup, semakin rusak karena keserakahan manusia. Akibatnya, frekuensi dan eskalasi bencana di muka bumi yang disebabkan oleh perilaku manusia (man made disaster) dan akibat kebijakan (policy made disaster) semakin meningkat.
Perusakan bumi akibat kebijakan adalah yang paling berbahaya, karena dilakukan secara berjejaring yang sistematis, terlembaga, rapi, dan "sah" secara hukum, yang dilakukan atas nama kebijakan negara/pemerintah, atas nama pendapatan dari aktivitas perusahaan, serta atas nama legitimasi lembaga politik dan legitimasi ilmu pengetahuan dari lembaga pendidikan ataupun konspirasi mereka dalam sebuah jejaring untuk memperdagangkan bumi. Jejaring ini saling berkonspirasi untuk menyusun langkah, strategi, dan pendanaan guna menguasai sumber daya di bumi sehingga tidak ada lagi ruang hidup bagi mayoritas umat manusia lainnya.
Negara, dalam hal ini pemerintah, mempunyai wewenang secara politik dan hukum untuk merumuskan kebijakan pembangunan. Adapun perusahaan mempunyai kekuasaan modal yang bisa digunakan untuk memobilisasi dukungan politik dan hukum demi memperoleh keuntungan yang lebih tinggi lagi. Lembaga politik mempunyai kekuasaan memutuskan kebijakan politik di parlemen dan lembaga pendidikan mempunyai legalitas memberikan opini akademis atau ilmu pengetahuan.
Tren yang sekarang terjadi adalah konspirasi jejaring aktor-aktor tersebut, antara pemegang kekuasaan politik, hukum, uang, dan ilmu pengetahuan. Mereka saling berhubungan secara simbiosis atau saling menguntungkan satu sama lain dengan merugikan pihak lain yang mayoritas, yaitu rakyat. Tegakah kita membayangkan pada suatu saat kelak keturunan kita tidak bisa lagi menikmati rimbunnya hutan, jernihnya air, dan segarnya udara akibat kelakuan mereka?
Menurut perkiraan para ahli kehutanan, hutan Indonesia akan musnah paling lambat pada 2012 jika tidak ada reformasi tata kelola kehutanan. Hutan adalah penopang kehidupan manusia dan penyedia jasa lingkungan yang amat besar, sehingga kerusakan hutan akan memusnahkan kehidupan. Setiap tahun hutan Indonesia berkurang seluas 3 juta hektare beralih menjadi usaha perkebunan dan pertambangan yang sangat merusak. Jika ini terus dibiarkan, kita telah merampas hak untuk hidup, masa depan, dan telah melanggar hak bagi setiap generasi untuk minimal menikmati kualitas lingkungan hidup yang sama dengan yang kita nikmati sekarang.
Masyarakat menghadapi pola perusakan bumi yang sistematis dalam bentuk konspirasi berjejaring, yang melibatkan birokrat, politikus, aparat hukum, aparat keamanan negara, perusahaan negara, perusahaan swasta, serta lembaga pendidikan dan penelitian yang memberikan kesan ilmiah dan obyektif serta menjadi alat legitimasi kebijakan yang diambil oleh jejaring. Dengan konspirasi, mereka tidak segan-segan membabat habis hak masyarakat adat, mengusir masyarakat adat dari hutannya, menjual tanah-tanah ulayat, mencemari sungai dengan limbah tailing penambangan, dan sebagainya. Sebagai contoh adalah Peraturan Pemerinta Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Izin Penambangan di Hutan Lindung, UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air yang melegalisasi bisnis atas air, dan UU Penanaman Modal yang melegalisasi izin hak guna usaha selama puluhan tahun. Jika pola yang menghancurkan ini terus dibiarkan, akan menjadi rantai setan pembangunan yang semakin menjerumuskan pemerintah dalam
kesesatan berpikir dan bertindak bahwa mereka ada bukan untuk melayani masyarakat seperti yang semestinya, melainkan untuk melayani para pemilik modal.
Contoh kasus lainnya adalah kegiatan illegal logging yang secara jelas terjadi dan merugikan keuangan negara ratusan triliun yang masih terus dibiarkan, illegal mining baik yang besar maupun kecil yang marak terjadi di mana-mana, illegal fishing yang merugikan nelayan lokal dan pendapatan negara yang terus berlangsung, dan perdagangan pasir ilegal ke Singapura yang tetap saja marak. Negara ini seolah-olah hanya menjadi milik oknum pejabat pemerintah, para pengusaha, politikus, dan akademisi, serta rakyat terus menjadi penonton dan akibatnya bumi semakin merana.
Sebagai salah satu solusi, masyarakat harus lebih menguatkan diri guna mempertahankan hak untuk hidup di bumi, bersatu dalam komunitas-komunitas lokal, dan saling berjejaring. Telah banyak contoh kearifan lokal dalam menjaga dan melestarikan bumi yang bisa dicontoh. Di Pulau Haruku, Maluku, masyarakat adat setempat mempunyai adat Sasi, yang melarang masyarakat pada periode waktu tertentu untuk tidak menangkap ikan, agar ikan dan biota laut berkesempatan berkembang.
Di Papua, bumi adalah ibu yang harus dihormati sehingga pantang untuk ditambang tanpa kendali. Di lereng Merapi, Yogyakarta, dalam aturan pembagian air mengharuskan 15 persen dari debit air dikembalikan ke tanah sebagai wujud demokrasi hijau. Demikian juga dengan ritual merti bumi yang masih banyak ditemui di daerah-daerah sebagai wujud terima kasih atas anugerah yang diberikan bumi bagi masyarakat. Secara umum masyarakat adat dan lokal mempunyai kearifan dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian bumi. Mereka sadar bahwa bumi ada tidak hanya menjadi hak mereka, tapi titipan dari anak-cucu mereka.
Kearifan lokal adalah modal sosial untuk melawan konspirasi yang bertujuan menumpuk rente ekonomi dengan memperdagangkan bumi, yang juga berarti memperdagangkan hak untuk hidup miliaran manusia yang tinggal di bumi. Dengan konspirasi yang sedemikian canggihnya, hanya rakyat sendirilah yang mampu menyelamatkan hak untuk hidup dan hak bagi generasi mendatang untuk turut menikmati kehidupan di bumi. Tiada jalan lain, rakyat harus berevolusi melawan imperialisme untuk menyelamatkan bumi dan kehidupan yang ada di dalamnya.
korantempo/2007/04/25
Langganan:
Postingan (Atom)