Rabu, 11 April 2012

Bermula dari Air, Harapkan Surga, Natalia Santi


Kita yang terbiasa ketika membutuhkan air tinggal membuka keran lalu air akan mengucur deras, tidak akan merasakan betapa air begitu dirindukan oleh masyarakat Sumba.
Bisa juga kita terheran-heran mengapa seorang Menteri Kesehatan begitu antusias untuk meresmikan sarana penyediaan air di sebuah daerah terpencil yang sulit dijangkau. Bahkan dengan yakin Menteri Kesehatan mencanangkan penghapusan beberapa penyakit yang terabaikan, tak lama setelah peresmian sarana air tersebut.
Bagi rakyat Sumba, kesulitan mendapatkan air sudah menjadi “makanan”sehari-hari. Kaum perempuan Sumba terpaksa harus berjalan hingga belasan kilometer hanya untuk mendapatkan air.
Karena sedemikian sulitnya memperoleh kebutuhan pokok ini, maka harga air pun menjadi sangat tinggi di sana. Harganya bisa mencapai ratusan ribu rupiah untuk setiap tangki air.
Pengambilan air di sana biasanya dibebankan pada anak-anak dan perempuan. Kadang-kadang mereka harus berjalan kaki atau menggunakan kerbau dan kuda. Sumber air yang sangat jauh, membuat anak-anak sampai membolos sekolah. Kaum perempuan juga tidak bisa melakukan aktivitas lain, apalagi kegiatan ekonomi yang sangat berguna untuk menambah keuangan keluarga.
Kondisi ini mau tak mau membuat penggunaan air sangat dihemat. Akibatnya, banyak yang hanya menggunakan air untuk keperluan yang sangat vital. Untuk keperluan mandi pun hanya bisa satu kali dalam seminggu. Tak pelak, berbagai penyakit termasuk frambusia alias lepra atau kusta, filaria atau kaki gajah, dan malaria banyak diderita penduduk setempat.
Sejak 2002, pemerintah Indonesia mencanangkan proyek penyediaan air bersih dan sanitasi pedesaan di Nusa Tenggara Timur (NTT) bekerja sama dengan pemerintah Jerman.
Sejak 2003, paradigma baru untuk membangun pasokan air dan sistem sanitasi rakyat itu dikenal sebagai Kebijakan Nasional bagi Pasokan Air Berbasis Masyarakat yang difasilitasi oleh Waspola (Water Supply and Sanitation Policy Advice).
Kebijakan ini diambil lantaran jika dibangun tanpa melibatkan masyarakat setempat, pipa-pipa air yang ada akan dibolongi. Praktik-praktik ilegal itu akan marak.
Berbasis Masyarakat
Proyek berbasis masyarakat tersebut dikenal sebagai ProAir. Tujuannya adalah memberdayakan masyarakat untuk mengelola dan mempertahankan pasokan air secara berkelanjutan. Akses pada air bersih tersebut akan berdampak positif pada pengurangan penyakit yang terkait dengan ketersediaan air.
Bupati Sumba Barat Daya, Kornelius Kodi Mete, dalam sambutannya mengatakan air tidak saja diperlukan, tapi sudah sangat dirindukan masyarakat. Mereka ikhlas merelakan tanah mereka tanpa ganti rugi sepeser pun untuk digunakan bagi semua program pemerintah, pembangunan jalan, serta pembangunan prasarana air.
Ketidaktersediaan air merupakan salah satu penyebab kemiskinan kawasan, yang memiliki potensi wisata yang besar. Bahkan, menurut Mete, peningkatan jumlah penduduk tidak saja karena peningkatan jumlah kelahiran, tapi juga banyaknya pendatang yang ingin menghabiskan masa pensiun di Sumba.
“Potensi Sumba sungguh luar biasa. Pariwisatanya bukan main, indah pantainya, indah pula kuburannya. Bagi rakyat Sumba, kematian bukan duka tapi pesta. Itu adalah aset wisata, setiap hari ada kematian, setiap hari ada pesta. Ini tinggal kami kelola dan promosikan bagi orang-orang yang ingin melihat pesta kematian orang Sumba,” paparnya dalam sambutan “Serah Terima Aset Hasil Kegiatan Penyediaan Air Minum Pedesaan (ProAir) dan Pencanangan Komitmen Menuju Eliminasi Malaria, Eliminasi Filariasis, serta Eradikasi Frambusia” di Nusa Tenggara Timur, 16 Maret lalu.
Kabupaten Sumba Barat Daya merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat lima tahun lalu, tepatnya Mei 2008. “Kami mekar dari kemiskinan, bukan dari kekayaan,” kata Bupati Sumba Barat Daya. Penduduknya berjumlah 290.000 jiwa, jauh lebih besar dari kabupaten tetangga yang hanya 180.000. Pertumbuhannya sangat meningkat setelah pemekaran.
“Ada yang lahir, ada juga yang pensiun ingin berada di Sumba,” katanya. Wilayahnya terdiri atas 11 kecamatan dengan 131 desa kelurahan. Banyak daerah yang sulit dijangkau dan nyaris tidak ada kota.
Maka ketika tahun 2008 Mete terpilih sebagai bupati, dia mengajak masyarakat untuk membangun desa. “Karena waktu itu tidak ada kota,” katanya. Harapannya sederhana, kabupatennya bercahaya, berair, dan tenteram serta tertib.
Desa-desa berair, menjadi kenyataan pada hari itu, saat Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih yang diwakili oleh Dirjen Bina Upaya Kesehatan(BUK) Kementerian Kesehatan Supriyantoro meresmikan fasilitas ProAir.
Banyak tantangan yang sangat berat dihadapi saat itu. Mete sadar betul bahwa upayanya akan sia-sia tanpa keterlibatan rakyat. “Banyak tantangan, rakyat harus terlibat dan saat itu sungguh-sungguh miskin,” katanya.
Dia mendatangi rumah-rumah penduduk dan bertanya, apa yang kau miliki di rumah? Masyarakat menjawab, “Hanya raskin”. Maka dia mendorong rakyatnya untuk memutar roda perekonomian dengan membuat pasar.
Saat ini, walaupun baru lima tahun, banyak hal positif telah berhasil dilakukan. Buktinya, jalan-jalan yang kami lalui dari Bandara Tambolaka ke Kodi Utara tempat dilakukan acara peresmian fasilitas ProAir, sudah cukup lebar dan beraspal licin. Pembangunan jalan-jalan dilakukan tahun 2007-2009. Rakyat ikhlas merelakan tanahnya tanpa ganti rugi sepeser pun.
Tingkat pendidikan masyarakat pun mulai membaik. Kalau dulu, rata-rata rakyat belum tamat SD atau bahkan tidak sekolah, tetapi saat ini nyaris semua tamat SD. Hingga kini pembangunan ruang belajar terus ditingkatkan, namun selalu kurang karena pertumbuhan penduduk sangat tinggi.
Masalah yang masih menjadi tantangan adalah pembangunan kesehatan dan ekonomi. Sebagian besar masyarakat masih merupakan petani tradisional. “Petani dalam ketidakpintaran sehingga kemiskinan menjadi keseharian,” ujar Mete.
Sumba Barat Daya juga belum memiliki rumah sakit daerah (RSUD), meski untungnya sudah memiliki sebuah rumah sakit swasta. Kehadiran Dirjen BUK Supriyantoro dimanfaatkan Mete untuk meminta pembangunan rumah sakit. Dirjen segera menjawab akan mengupayakan rumah sakit bergerak atau rumah sakit pratama.
Melalui para pejabat-pejabatnya, rakyat Sumba Barat Daya mendoakan kesehatan Menkes agar suatu saat bisa mengunjungi mereka. “Kita akan menjadikan Sumba sebagai tempat menikmati surga dan pulang membawa surga,” kata bupati asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu dengan nada optimis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar