Kita
yang terbiasa ketika membutuhkan air tinggal membuka keran lalu air akan
mengucur deras, tidak akan merasakan betapa air begitu dirindukan oleh
masyarakat Sumba .
Bisa
juga kita terheran-heran mengapa seorang Menteri Kesehatan begitu antusias
untuk meresmikan sarana penyediaan air di sebuah daerah terpencil yang sulit
dijangkau. Bahkan dengan yakin Menteri Kesehatan mencanangkan penghapusan
beberapa penyakit yang terabaikan, tak lama setelah peresmian sarana air
tersebut.
Bagi
rakyat Sumba , kesulitan mendapatkan air sudah menjadi
“makanan”sehari-hari. Kaum perempuan Sumba terpaksa harus berjalan
hingga belasan kilometer hanya untuk mendapatkan air.
Karena
sedemikian sulitnya memperoleh kebutuhan pokok ini, maka harga air pun menjadi
sangat tinggi di sana . Harganya bisa mencapai
ratusan ribu rupiah untuk setiap tangki air.
Pengambilan
air di sana biasanya dibebankan pada anak-anak dan
perempuan. Kadang-kadang mereka harus berjalan kaki atau menggunakan kerbau dan
kuda. Sumber air yang sangat jauh, membuat anak-anak sampai membolos sekolah.
Kaum perempuan juga tidak bisa melakukan aktivitas lain, apalagi kegiatan
ekonomi yang sangat berguna untuk menambah keuangan keluarga.
Kondisi
ini mau tak mau membuat penggunaan air sangat dihemat. Akibatnya, banyak yang
hanya menggunakan air untuk keperluan yang sangat vital. Untuk keperluan mandi
pun hanya bisa satu kali dalam seminggu. Tak pelak, berbagai penyakit termasuk
frambusia alias lepra atau kusta, filaria atau kaki gajah, dan malaria banyak
diderita penduduk setempat.
Sejak
2002, pemerintah Indonesia mencanangkan proyek
penyediaan air bersih dan sanitasi pedesaan di Nusa Tenggara Timur (NTT)
bekerja sama dengan pemerintah Jerman.
Sejak
2003, paradigma baru untuk membangun pasokan air dan sistem sanitasi rakyat itu
dikenal sebagai Kebijakan Nasional bagi Pasokan Air Berbasis Masyarakat yang
difasilitasi oleh Waspola (Water Supply and Sanitation Policy Advice).
Kebijakan
ini diambil lantaran jika dibangun tanpa melibatkan masyarakat setempat,
pipa-pipa air yang ada akan dibolongi. Praktik-praktik
ilegal itu akan marak.
Berbasis Masyarakat
Proyek berbasis masyarakat tersebut dikenal
sebagai ProAir. Tujuannya adalah memberdayakan masyarakat untuk mengelola dan
mempertahankan pasokan air secara berkelanjutan. Akses pada air bersih tersebut
akan berdampak positif pada pengurangan penyakit yang terkait dengan ketersediaan
air.
Bupati Sumba Barat Daya, Kornelius Kodi Mete,
dalam sambutannya mengatakan air tidak saja diperlukan, tapi sudah sangat
dirindukan masyarakat. Mereka ikhlas merelakan tanah mereka tanpa ganti rugi
sepeser pun untuk digunakan bagi semua program pemerintah, pembangunan jalan,
serta pembangunan prasarana air.
Ketidaktersediaan air merupakan salah satu
penyebab kemiskinan kawasan, yang memiliki potensi wisata yang besar. Bahkan,
menurut Mete, peningkatan jumlah penduduk tidak saja karena peningkatan jumlah
kelahiran, tapi juga banyaknya pendatang yang ingin menghabiskan masa pensiun
di Sumba.
“Potensi
Sumba sungguh luar biasa. Pariwisatanya bukan main, indah pantainya, indah pula
kuburannya. Bagi rakyat Sumba , kematian bukan duka tapi pesta. Itu
adalah aset wisata, setiap hari ada kematian, setiap hari ada pesta. Ini
tinggal kami kelola dan promosikan bagi orang-orang yang ingin melihat pesta
kematian orang Sumba,” paparnya dalam sambutan “Serah Terima Aset Hasil
Kegiatan Penyediaan Air Minum Pedesaan (ProAir) dan Pencanangan Komitmen Menuju
Eliminasi Malaria, Eliminasi Filariasis, serta Eradikasi Frambusia” di Nusa
Tenggara Timur, 16 Maret lalu.
Kabupaten
Sumba Barat Daya merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat lima tahun lalu, tepatnya
Mei 2008. “Kami mekar dari kemiskinan, bukan dari
kekayaan,” kata Bupati Sumba Barat Daya. Penduduknya berjumlah 290.000 jiwa,
jauh lebih besar dari kabupaten tetangga yang hanya 180.000. Pertumbuhannya
sangat meningkat setelah pemekaran.
“Ada yang lahir, ada juga yang pensiun ingin
berada di Sumba,” katanya. Wilayahnya terdiri atas 11 kecamatan dengan 131 desa
kelurahan. Banyak daerah yang sulit dijangkau dan nyaris tidak ada kota.
Maka ketika tahun 2008 Mete terpilih sebagai
bupati, dia mengajak masyarakat untuk membangun desa. “Karena waktu itu tidak
ada kota,” katanya. Harapannya sederhana, kabupatennya bercahaya, berair, dan
tenteram serta tertib.
Desa-desa berair, menjadi kenyataan pada hari
itu, saat Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih yang diwakili oleh Dirjen Bina
Upaya Kesehatan(BUK) Kementerian Kesehatan Supriyantoro meresmikan fasilitas
ProAir.
Banyak tantangan yang sangat berat dihadapi
saat itu. Mete sadar betul bahwa upayanya akan sia-sia tanpa keterlibatan
rakyat. “Banyak tantangan, rakyat harus terlibat dan saat itu sungguh-sungguh
miskin,” katanya.
Dia mendatangi rumah-rumah penduduk dan
bertanya, apa yang kau miliki di rumah? Masyarakat menjawab, “Hanya raskin”. Maka
dia mendorong rakyatnya untuk memutar roda perekonomian dengan membuat pasar.
Saat ini, walaupun baru lima tahun, banyak
hal positif telah berhasil dilakukan. Buktinya, jalan-jalan yang kami lalui
dari Bandara Tambolaka ke Kodi Utara tempat dilakukan acara peresmian fasilitas
ProAir, sudah cukup lebar dan beraspal licin. Pembangunan jalan-jalan dilakukan
tahun 2007-2009. Rakyat ikhlas merelakan tanahnya tanpa ganti rugi sepeser pun.
Tingkat pendidikan masyarakat pun mulai
membaik. Kalau dulu, rata-rata rakyat belum tamat SD atau bahkan tidak sekolah,
tetapi saat ini nyaris semua tamat SD. Hingga kini pembangunan ruang belajar
terus ditingkatkan, namun selalu kurang karena pertumbuhan penduduk sangat
tinggi.
Masalah yang masih menjadi tantangan adalah
pembangunan kesehatan dan ekonomi. Sebagian besar masyarakat masih merupakan
petani tradisional. “Petani dalam ketidakpintaran sehingga kemiskinan menjadi
keseharian,” ujar Mete.
Sumba Barat Daya juga belum memiliki rumah
sakit daerah (RSUD), meski untungnya sudah memiliki sebuah rumah sakit swasta. Kehadiran
Dirjen BUK Supriyantoro dimanfaatkan Mete untuk meminta pembangunan rumah
sakit. Dirjen segera menjawab akan mengupayakan rumah sakit bergerak atau rumah
sakit pratama.
Melalui para pejabat-pejabatnya, rakyat Sumba
Barat Daya mendoakan kesehatan Menkes agar suatu saat bisa mengunjungi mereka. “Kita
akan menjadikan Sumba sebagai tempat menikmati surga dan pulang membawa surga,”
kata bupati asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu dengan nada
optimis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar