Rabu, 11 April 2012

MELAWAN KONSPIRASI ATAS BUMI

Oleh: Mimin Dwi Hartono

Bumi, satu-satunya tempat manusia dan makhluk lainnya hidup, semakin rusak karena keserakahan manusia. Akibatnya, frekuensi dan eskalasi bencana di muka bumi yang disebabkan oleh perilaku manusia (man made disaster) dan akibat kebijakan (policy made disaster) semakin meningkat.

Perusakan bumi akibat kebijakan adalah yang paling berbahaya, karena dilakukan secara berjejaring yang sistematis, terlembaga, rapi, dan "sah" secara hukum, yang dilakukan atas nama kebijakan negara/pemerintah, atas nama pendapatan dari aktivitas perusahaan, serta atas nama legitimasi lembaga politik dan legitimasi ilmu pengetahuan dari lembaga pendidikan ataupun konspirasi mereka dalam sebuah jejaring untuk memperdagangkan bumi. Jejaring ini saling berkonspirasi untuk menyusun langkah, strategi, dan pendanaan guna menguasai sumber daya di bumi sehingga tidak ada lagi ruang hidup bagi mayoritas umat manusia lainnya.

Negara, dalam hal ini pemerintah, mempunyai wewenang secara politik dan hukum untuk merumuskan kebijakan pembangunan. Adapun perusahaan mempunyai kekuasaan modal yang bisa digunakan untuk memobilisasi dukungan politik dan hukum demi memperoleh keuntungan yang lebih tinggi lagi. Lembaga politik mempunyai kekuasaan memutuskan kebijakan politik di parlemen dan lembaga pendidikan mempunyai legalitas memberikan opini akademis atau ilmu pengetahuan.

Tren yang sekarang terjadi adalah konspirasi jejaring aktor-aktor tersebut, antara pemegang kekuasaan politik, hukum, uang, dan ilmu pengetahuan. Mereka saling berhubungan secara simbiosis atau saling menguntungkan satu sama lain dengan merugikan pihak lain yang mayoritas, yaitu rakyat. Tegakah kita membayangkan pada suatu saat kelak keturunan kita tidak bisa lagi menikmati rimbunnya hutan, jernihnya air, dan segarnya udara akibat kelakuan mereka?

Menurut perkiraan para ahli kehutanan, hutan Indonesia akan musnah paling lambat pada 2012 jika tidak ada reformasi tata kelola kehutanan. Hutan adalah penopang kehidupan manusia dan penyedia jasa lingkungan yang amat besar, sehingga kerusakan hutan akan memusnahkan kehidupan. Setiap tahun hutan Indonesia berkurang seluas 3 juta hektare beralih menjadi usaha perkebunan dan pertambangan yang sangat merusak. Jika ini terus dibiarkan, kita telah merampas hak untuk hidup, masa depan, dan telah melanggar hak bagi setiap generasi untuk minimal menikmati kualitas lingkungan hidup yang sama dengan yang kita nikmati sekarang.

Masyarakat menghadapi pola perusakan bumi yang sistematis dalam bentuk konspirasi berjejaring, yang melibatkan birokrat, politikus, aparat hukum, aparat keamanan negara, perusahaan negara, perusahaan swasta, serta lembaga pendidikan dan penelitian yang memberikan kesan ilmiah dan obyektif serta menjadi alat legitimasi kebijakan yang diambil oleh jejaring. Dengan konspirasi, mereka tidak segan-segan membabat habis hak masyarakat adat, mengusir masyarakat adat dari hutannya, menjual tanah-tanah ulayat, mencemari sungai dengan limbah tailing penambangan, dan sebagainya. Sebagai contoh adalah Peraturan Pemerinta Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Izin Penambangan di Hutan Lindung, UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air yang melegalisasi bisnis atas air, dan UU Penanaman Modal yang melegalisasi izin hak guna usaha selama puluhan tahun. Jika pola yang menghancurkan ini terus dibiarkan, akan menjadi rantai setan pembangunan yang semakin menjerumuskan pemerintah dalam

kesesatan berpikir dan bertindak bahwa mereka ada bukan untuk melayani masyarakat seperti yang semestinya, melainkan untuk melayani para pemilik modal.

Contoh kasus lainnya adalah kegiatan illegal logging yang secara jelas terjadi dan merugikan keuangan negara ratusan triliun yang masih terus dibiarkan, illegal mining baik yang besar maupun kecil yang marak terjadi di mana-mana, illegal fishing yang merugikan nelayan lokal dan pendapatan negara yang terus berlangsung, dan perdagangan pasir ilegal ke Singapura yang tetap saja marak. Negara ini seolah-olah hanya menjadi milik oknum pejabat pemerintah, para pengusaha, politikus, dan akademisi, serta rakyat terus menjadi penonton dan akibatnya bumi semakin merana.

Sebagai salah satu solusi, masyarakat harus lebih menguatkan diri guna mempertahankan hak untuk hidup di bumi, bersatu dalam komunitas-komunitas lokal, dan saling berjejaring. Telah banyak contoh kearifan lokal dalam menjaga dan melestarikan bumi yang bisa dicontoh. Di Pulau Haruku, Maluku, masyarakat adat setempat mempunyai adat Sasi, yang melarang masyarakat pada periode waktu tertentu untuk tidak menangkap ikan, agar ikan dan biota laut berkesempatan berkembang.

Di Papua, bumi adalah ibu yang harus dihormati sehingga pantang untuk ditambang tanpa kendali. Di lereng Merapi, Yogyakarta, dalam aturan pembagian air mengharuskan 15 persen dari debit air dikembalikan ke tanah sebagai wujud demokrasi hijau. Demikian juga dengan ritual merti bumi yang masih banyak ditemui di daerah-daerah sebagai wujud terima kasih atas anugerah yang diberikan bumi bagi masyarakat. Secara umum masyarakat adat dan lokal mempunyai kearifan dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian bumi. Mereka sadar bahwa bumi ada tidak hanya menjadi hak mereka, tapi titipan dari anak-cucu mereka.

Kearifan lokal adalah modal sosial untuk melawan konspirasi yang bertujuan menumpuk rente ekonomi dengan memperdagangkan bumi, yang juga berarti memperdagangkan hak untuk hidup miliaran manusia yang tinggal di bumi. Dengan konspirasi yang sedemikian canggihnya, hanya rakyat sendirilah yang mampu menyelamatkan hak untuk hidup dan hak bagi generasi mendatang untuk turut menikmati kehidupan di bumi. Tiada jalan lain, rakyat harus berevolusi melawan imperialisme untuk menyelamatkan bumi dan kehidupan yang ada di dalamnya.

korantempo/2007/04/25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar