Jumat, 22 Juni 2012

Masyarakat Adat, Kelas, dan Kuasa Eksklusi

Arianto Sangaji ; Kandidat PhD di Department of Geography, York University, Toronto
Sumber : KOMPAS, 21 Juni 2012



“Masyarakat adat punya karakteristik khusus sebagai kelompok penduduk pedesaan-pedalaman. Mereka hidup dalam suatu wilayah secara turun-temurun dan terus-menerus, dengan sistem kebudayaan dan aturan-aturan adat khas yang mengikat hubungan sosial di antara berbagai kelompok sosial di dalamnya.”

Noer Fauzi Rachman memberikan definisi tersebut dalam tulisannya, ”Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah-Airnya’” (Kompas, 11/6/2012). Definisi ini mewakili pandangan dominan yang melihat masyarakat adat semata dari segi identitas, dan sering kali romantik. Pandangan ini mengisolasi masyarakat adat dari aspek kegiatan produksi mereka yang jauh lebih kompleks.

Kategori ”penduduk pedesaan-pedalaman” sama sekali tak memberi informasi hubungan produksi macam apa yang hidup di masyarakat semacam itu. Kecuali segera muncul di kepala kita, kategori lain: mereka adalah petani. Karena masyarakat adat ada yang tinggal di pesisir pantai, maka bayangannya, mereka adalah nelayan, atau kombinasi di antara keduanya. Kita pun terjebak dengan homogenisasi: petani, nelayan, dan masyarakat adat sebagai kategori, tanpa isi.

”Pluralisme” Kelas

Jalan keluarnya, masyarakat adat—yang terdiri dari petani dan nelayan—perlu dijelaskan dengan pendekatan kelas. Dengan memeriksa hubungan-hubungan produksi di antara mereka, kita bisa menemukan stratifikasi.

Misalnya, ada petani kaya, punya tanah luas, mempekerjakan petani-petani tidak bertanah sebagai buruh-upahan dengan hasil produksi untuk pasar. Ada petani dengan tanah seadanya untuk subsistensi keluarga, masuk hutan mengumpulkan hasil hutan untuk memperoleh uang tunai.

Ada juga petani miskin, yang tadinya punya tanah—karena macam-macam mekanisme— lantas secara perlahan tanahnya jatuh ke tengkulak atau petani kaya. Untuk menghidupi keluarga, mereka bekerja di lahan petani kaya dengan upah ditentukan sepihak atau bagi hasil yang tidak berimbang.

Jelas, para petani yang tinggal di ”pedesaan-pedalaman”, yang disebut masyarakat adat, karena proses sejarah tertentu melahirkan hubungan kelas di antara mereka. Hubungan ini bersinggungan dengan relasi sosial lain, misalnya dominasi kekuasaan di antara mereka. Masyarakat dengan struktur kelas semacam ini tak bisa dengan sederhana diromantisasi sebagai masyarakat adat hanya karena ada faktor identitas tertentu yang mempersatukan mereka. Katakanlah kesamaan adat-istiadat, bahasa, dan simbol-simbol budaya yang lain.

Tentu tak ada masalah dengan segi identitas. Tapi, melupakan aspek struktur kelas internal, percakapan mengenai masyarakat adat berpotensi salah arah.

Kita boleh merayakan keanekaragaman dengan selalu menghormati dan menghargai perbedaan identitas, tetapi tidak boleh merayakan ”pluralisme” kelas. Sebab, itu berarti kita membiarkan kelas yang satu memakan bangkai kelas lain. Karena itu, gerakan masyarakat adat dalam skala lebih luas harus dibedakan dari usaha menghidupkan kesultanan, sebab yang terakhir ini identik dengan revitalisasi feodalisme: merayakan kelas.

Kuasa Eksklusi

Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Li (2011) di buku mereka, Powers of Exclusion: Land dilemmas in Southeast Asia, menunjukkan empat faktor kuasa yang mengeksklusi pihak lain dari akses terhadap tanah di Asia Tenggara: (1) regulasi, terutama berhubungan dengan aneka peraturan sah dari negara; (2) pemaksaan dengan kekerasan, baik oleh negara maupun aktor non- negara; (3) pasar, yang membatasi akses ke tanah lewat mekanisme harga dan memberi insentif untuk klaim atas tanah yang lebih individualis; (4) legitimasi, yakni aneka bentuk justifikasi moral, seperti klaim hak turun-temurun, pertimbangan ilmiah, rasionalitas ekonomi, dan klaim pemerintah untuk mengatur.

Keempat aspek kuasa itu tepat menggambarkan kenyataan masyarakat adat disingkirkan dari tanah mereka, terutama melalui negara dan korporasi berbasis pengerukan sumber daya alam. Internasionalisasi pembuatan kebijakan strategis berkenaan dengan liberalisasi tanah melalui institusi-institusi supranasional (Bank Dunia, APEC, G-20, dan lain-lain) kemudian mengerangkeng pemerintah untuk menerjemahkannya menjadi kebijakan teknis adalah contoh konkret begitu dahsyatnya kuasa pasar. Kekerasan bersenjata atau ancaman kekerasan terhadap komunitas masyarakat adat yang menolak tanahnya dirampas tampak sudah biasa.

Sumber legitimasi dari keseluruhan proses itu adalah rasionalitas ekonomi: pertumbuhan ekonomi, peningkatan ekspor, dan sebagainya. Praktik eksklusi semacam ini merupakan manifestasi langsung dari imperialisme di zaman sekarang.

Guna menentang proses eksklusi, moto masyarakat adat: ”Kalau negara tak mengakui kami, kami pun tak akan mengakui negara”, perlu diungkapkan secara lebih spesifik, yakni menolak negara kapitalis yang mempertuhankan pasar di atas segala-galanya.

Berbarengan dengan itu, kembali melihat internal komunitas adat, di mana kuasa eksklusi juga berpotensi bekerja dalam skala paling lokal. Eksklusi berbasis kelas ini juga mesti diakhiri. ●

Sebuah Gerakan Perubahan Global

Ban Ki-moon ; Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa
Sumber : MEDIA INDONESIA, 21 Juni 2012



PEKAN ini, para pemimpin dunia ber kumpul untuk sebuah acara penting yakni Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro. Apakah pertemuan tersebut akan menjadi suatu hal yang sukses? Menurut pendapat saya, iya. Yang pasti, proses negosiasi berlangsung panjang.

Sekarang bahkan lebih banyak terdapat ketidaksepakatan jika dibandingkan dengan kesepakatan mengenai rincian dari apa yang disebut sebagai `dokumen akhir' yang akan dimunculkan. Namun hal itu bukan sebuah tolok ukur. Hal yang jauh lebih penting ialah apa yang telah dicapai konferensi Rio, yaitu guna membangun sebuah gerakan global untuk perubahan.

Rio+20 merupakan sebuah tonggak dari suatu perjalanan panjang. KTT Bumi tahun 1992 yang terkenal memasukkan pembangunan berkelanjutan ke dalam agenda global. Hari ini, kita perlu memiliki pemahaman yang luas mengenai pentingnya menyeimbangkan kebutuhan penduduk dunia yang terus bertumbuh-sehingga semua orang dapat menikmati hasil dari kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi yang kuat--dengan kebutuhan untuk melestarikan sumber daya penting planet kita, yaitu tanah, udara, dan air.

Di Rio, lebih dari 100 kepala negara dan pemerintahan akan bergabung dengan peserta yang diperkirakan mencapai 25 ribu orang untuk memetakan kita ke depan. Sudah terlalu lama kita membakar dan mengonsumsi (sumber daya) guna mencapai kemakmuran. Model itu kini telah mati. Di Rio, kita harus mulai membuat model baru-sebuah model untuk perekonomian abad ke-21 yang menolak mitos bahwa perlu ada zero-sum trade-off antara pertumbuhan dan lingkungan hidup. Kami mengerti, dengan kebijakankebijakan publik yang cerdas, pemerintah-pemerintah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi mereka, memberantas kemiskinan, menciptakan lapangan kerja yang layak, dan mempercepat kemajuan sosial melalui sebuah cara yang menghormati sumber daya alam dunia yang ada.

Dalam pandangan yang lebih luas ini, saya yakin momentum untuk perubahan sudah tidak dapat diputarbalikkan. Bukti-buktinya ada di sekeliling kita, terlihat jelas di negaranegara besar dan kecil, kaya dan miskin.

Barbados, Kamboja, Indonesia, Republik Korea, dan Afrika Selatan, di antaranya, telah mengadopsi strategi-strategi `pertumbuhan hijau' yang secara efisien menggunakan sumber-sumber daya alam yang terbatas, menciptakan lapangan kerja, dan mempromosikan pembangunan karbon rendah. Armenia, Azerbaijan, Mesir, Kenya, Yordania, Malaysia, Meksiko, Nepal, Senegal, dan Ukraina kini menggunakan teknologiteknologi pertumbuhan hijau dalam berbagai industri, dari pertanian hingga pariwisata. China telah berkomitmen memperoleh 16% dari kebu tuhan energi mereka dari sumber-sumber daya yang terbarukan pada 2020 dan berencana menginvestasikan lebih dari US$450 miliar pada pendauran ulang limbah dan teknologi-teknologi bersih di bawah rencana lima tahunan mereka saat ini.

Di Brasil, pengelolaan dan pendauran limbah mempekerjakan lebih dari 500 ribu orang, banyak di antara mereka masyarakat yang termarginalkan. Di bawah Undang-Undang Jaminan Pekerjaan Perdesaan Nasional, India telah mulai membayar orang-orang untuk lebih baik lagi mengelola sumber-sumber daya seperti hutan dan air.

Ke mana pun Anda lihat, pemerintah di tingkat nasional dan lokal sedang mengadopsi prinsip-prinsip dan praktik, yang bila digabungkan semua, dapat membantu menghindari prospek hancurnya lingkungan hidup dan pertumbuhan ketidakseimbangan sosial menuju sebuah era baru pertumbuhan berkelanjutan yang inklusif dan seimbang.

Pemerintah-pemerintah dan negara-negara tidak sendiri dalam menjalankan transformasi tersebut. Di Rio, lebih dari 1.000 pemimpin korporat dari semua benua akan membawa pesan bersama yang menyatakan bisnis seperti biasa tidak berlaku lagi.

Banyak di antara mereka merupakan anggota United Nations Global Compact sukarelawan dari gerakan sekor swasta yang mengerti tanggung jawab korporat pada abad ke-21 merupakan kunci keberlanjutan korporat juga. Nike (pendukung dari apa yang disebut proses manufaktur `closed loop' yang meminimalkan polusi industri) telah memulai sebuah program baru yang disebut Mata no Peito--sebuah ungkapan dalam bahasa Portugis `menerima tantangan' dengan membantu melindungi ekosistem hutan di Brasil. Unilever telah berkomitmen memperoleh semua bahan baku mereka dari sumber-sumber yang berkelanjutan pada 2020. Safari com dari Kenya telah memasukkan kesetaraan gender pada kebijakan kebijakan internal mereka untuk menciptakan lingkungan yang ramah bagi kaum ibu.

Sementara itu, Microsoft menyatakan mereka akan segera beralih ke karbon netral. Broad Group dari China memproduksi unit-unit air conditioner (AC) tanpa listrik yang 200% lebih efisien energi, kini mereka sedang mendiversifikasi ke produk-produk penghemat energi lainnya dan bangunan-bangunan berkelanjutan. Tough stuff dari Mauritius berencana memasok teknologi energi matahari yang terjangkau kepada 33 juta orang di Afrika pada 2016 dan Abu Dhabi Future Energy Company sedang bekerja untuk menyediakan listrik di perdesaan di Afghanistan dan Tonga, negara pulau di Pasifik Selatan.

Energi akan menjadi fokus utama di Rio. Saya menyebutnya sebagai `benang emas' yang menghubungkan titiktitik menuju masa depan yang berkelanjutan--pendorong utama pembangunan, keterlibatan sosial, dan perlindungan lingkungan, termasuk perubahan iklim.

Itulah sebabnya, di 2011, saya menetapkan sebuah inisiatif baru yang disebut Energi Berkelanjutan untuk Semua. Tujuan kami ialah memastikan akses universal terhadap layanan energi modern untuk satu dari lima orang di seluruh dunia yang kurang mendapatkannya, mengurangi pemborosan energi dengan menggandakan efisiensi energi, dan meningkatkan pemanfaatan sumber-sumber daya terbarukan sebesar dua kali lipat dalam campuran energi global.

Di Rio, para pemimpin negara, perusahaan, dan masyarakat akan mengumumkan serangkaian aksi untuk menjalankan tujuan-tujuan ini, dari upaya-upaya mendukung pemanfaatan kompor masak yang lebih efisien dan bersih hingga membantu pemerintah-pemerintah mengembangkan potensi energi geotermal dan energi-energi terbarukan lainnya.

Energi Berkelanjutan untuk Semua merupakan model kemitraan untuk masa depan. Prinsipnya sederhana, tetapi kuat: Perserikatan BangsaBangsa menggunakan kekuasaan yang tidak tersaingi untuk mempertemukan aktor-aktor yang relevan untuk bekerja bersama dan untuk kebaikan bersama.

Pada intinya, inilah Rio+20 yang sebenarnya. Iya, negosiasi-negosiasi yang terjadi sangat penting. Kesepakatan-kesepakatan yang dicantumkan di atas kertas hari ini dapat menjadi perdebatan di masa yang akan datang. Namun, Rio+20 berada jauh di luar itu. Rio+20 merupakan sebuah ekspresi dari suatu gerakan dinamis global untuk perubahan dan sebuah langkah maju menuju masa depan yang kita mau. ●

Menggugat Kompensasi Pencemaran

Effnu Subiyanto ; Kandidat doktor ilmu ekonomi FEB Unair
Sumber : MEDIA INDONESIA, 19 Juni 2012



ECOTON Surabaya akhirnya melayangkan gugatan Rp3,852 miliar kepada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X yang diduga menjadi dalang pencemaran Kali Surabaya baru-baru ini. Pencemaran oleh pabrik gula Gempol Kerepanak usaha PTPN X--meracuni ribuan ikan dan habitat air lainnya. Kebersihan Kali Surabaya begitu penting karena 64%-nya merupakan sumber bahan baku utama PDAM untuk keperluan pasokan air bersih bagi warga kota.

Pelajaran yang menarik dari gugatan Ecoton ini ialah sudah ditampilkannya angka kuantifikasi kerugian akibat pencemaran lingkungan yang dilakukan korporasi. Itu barangkali delik gugatan pertama di Indonesia yang sudah memasukkan kalkulasi ekonomi lingkungan.

Sebetulnya peraturan pemerintah (PP) terbaru soal kewajiban program tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR) Nomor 47/2012, yang merupakan mandat dari UU Perseroan Terbatas Nomor 40/2007 Pasal 74, tidak jelas menyebutkan berapa angka yang ditentukan dari sebuah program CSR.

Angka tersebut sebenarnya sangat ditunggu-tunggu kalangan pelaku usaha untuk mengakhiri polemik berapa nilai atau ukuran CSR kepada masyarakat sekitar yang pantas dan legal. Sayangnya, nilai kewajiban korporasi yang berbisnis dalam bidang pengolahan sumber daya alam (SDA) itu tidak disebutkan dengan jelas dan tegas. Kewajibannya pun masih sebatas dalam jumlah kepatutan dan kewajaran.

Persoalan sosial dan lingkungan dewasa ini sebetulnya sudah sangat serius dan kritis. Berbagai persoalan yang sebelumnya tidak ada kini menjadi ada setelah entitas bisnis dinyatakan boleh beroperasi di sebuah daerah. Dampak itu antara lain gejala pemanasan global karena penebangan hutan, banjir, kemarau berkepanjangan, penduduk sekitar rentan sakit, mata pencaharian yang hilang akibat ladang yang tandus, perairan tercemar, dan juga bahaya polusi udara sampai gangguan kenyamanan, seperti kebisingan suara mesinmesin pabrik. Pencemaran Kali Surabaya merupakan contoh faktual terbaru di Jawa Timur.

Meski demikian, pemerintah tampaknya sulit membuat acuan berapa nilai yang patut sebagai bentuk kompensasi sebuah korporasi kepada sosial dan lingkungan. Persoalan ini memang dilematis karena jika pemerintah menerapkan standar jumlah yang tegas, sisi lain terancam, misalnya pendapatan pajak, pengangguran, dan sistem ekonomi yang sudah terbangun.

Namun, di sisi lain cek kosong itu juga tidak kalah potensial konfliknya, karena korporasi yang mengaku mendapatkan keuntungan minim atau rugi juga berhak tidak melaksanakan kewajiban CSR-nya.

Berapa Besar?

Jika dibandingkan dengan k kasus British Petroleum (BP) terkait dengan pencemaran Teluk Meksiko karena tumpahan minyak dari anjungan Deepwater Horizon April 2010, besaran gugatan yang dilayangkan pemerintah AS ialah US$20 miliar (Rp172 triliun). BP luar biasa rugi; minyak yang hilang mencapai 4,9 juta barel dan total kerugian mencapai US$40,9 miliar (Rp384 triliun).

Di Indonesia, kasus kejahatan lingkungan termasuk pelik dan solusinya sulit. Persoalan korban Lapindo hingga tahun keenam ini juga belum selesai.
Berharap penyelesaian kerusakan alamnya sama artinya dengan menggantang asap. Kocek APBN sampai enam tahun terkuras sedikitnya Rp11,5 triliun dan akan bertambah lagi karena masalahnya belum selesai.

Menurut Cooper (1997), untuk mengukur angka kepatutan kompensasi kepada lingkungan, harus ditentukan besaran dampak kepada sosial dan lingkungan tersebut dalam kurun waktu setelah korporasi tersebut beroperasi. Timbulnya banjir, padahal sebelumnya tidak terjadi, merupakan contoh sederhana. Adapun kerusakan sarana fisik seperti infrastruktur dan terganggunya kesehatan penduduk dapat secara langsung diketahui dan dapat segera dikalkulasi.

Patut diperhitungkan pula ekses lain dampak banjir, misalnya rusaknya areal perta nian, sehingga gagal panen juga harus dihitung. Laporan sosial lainnya yang secara logis memiliki relevansi dengan bencana banjir ialah biaya kepatutan CSR pada satu peristiwa saja.

Dalam hal ini sepertinya kewajiban sosial dan lingkungan korporasi tampak besar, padahal belum. Sebab, nilai gangguan psikologis seperti ketakutan, fobia, depresi masyarakat, serangan jantung, sampai dengan anak-anak yang tidak bisa sekolah, tidak dapat dikuantifikasi. Rusaknya nilainilai budaya atau hilangnya artefak-artefak seja rah yang bernilai tinggi ialah hal lain yang juga tidak bisa dihitung.

Term kepatutan dan kewajaran juga sangat sektoral karena persoalan sosial dan lingkungan bagi korporasi yang beroperasi di Jawa pasti tidak akan sama dengan yang berada di luar Jawa.

Lingkungan Berbeda

Pada kasus pembukaan hutan tropis menjadi lahan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan, misalnya, juga akan terjadi masalah sosial dan lingkungan yang berbeda. Di wilayah itu, jika pemusnahan satwa tertentu dapat dikuantifikasi dalam nilai tertentu, misalnya pembunuhan orang utan yang dihitung secara tangible dan intangible, hal itu dapat dibebankan sebagai ongkos CSR yang patut dikembalikan oleh korporasi tersebut. Demikian pula men jadi beban sosial dan lingkungan apabila korporasi tersebut menghilangkan populasi vegetasi dan habitat tertentu.

Namun, terminologi kepatutan dan kewajaran tidak akan dengan mudah diterima begitu saja oleh kalangan pelaku usaha. Inilah yang akan menjadi sumber konflik baru antara masyarakat dan korporasi. Naga-naganya, jika di daerah tersebut terda pat sekelompok pelaku usaha bersama-sama, mereka akan saling mempertahankan diri sebagai korporasi, bukan pelaku bisnis yang memberikan dampak sosial dan lingkungan secara negatif. Para majikan korporasi tersebut akan ramairamai mengelak dan menghin dar dari tanggung jawab.

Daerah-daerah yang potensial konflik karena wilayah yang interseksi itu antara lain daerah-daerah berikat atau daerah dengan banyak jenis industri yang berdekatan. Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat setempat dalam hal ini harus duduk bersama untuk mengambil jalan tengah. Inilah satu-satunya solusi yang terbaik dan risiko yang dapat ditempuh karena PP 47/2012 itu nyata-nyata memberikan cek kosong yang tidak tegas.

Tidak ada yang tahu persis berapa seharusnya dana CSR di Indonesia apabila dikumpulkan per tahun. Menko Perekonomian Hatta Rajasa pernah memperkirakan nilainya sekitar Rp10 triliun per tahun. Namun, jika melihat realisasi GDP 2011 sebesar US$822,631 miliar, angka Rp10 triliun sangat tidak masuk akal.

Terlihat Jelas

Kerusakan sosial dan lingkungan Papua saja sudah amat terlihat dengan Google-Earth. Wilayah tambang emas Grasberg sebagai basis operasi Freeport tampak habis, gundul, dan tandus. Alat berat Freeport tampak kesetanan menggali dan menambang tanah karena mengejar harga emas yang kini terus merambat naik, US$1.653,10 per troy ounce. Padahal dalam setahun Freeport mampu memproduksi emas sampai dengan 2,8 juta troy ounce atau kira-kira 100 ton (GFMS survey, 2011). Itu belum termasuk bahan tambang ikutan lain, misalnya tembaga dan konon juga bahan uranium.

Kalkulasi nilai CSR juga tampaknya perlu dikenakan kembali kepada korporasi Newmont Nusa Tenggara. Kendati masih di bawah Freeport, kemampuan menambang dan membuat emas sampai dengan 2 juta troy ounce per tahun akan memiliki daya rusak sosial dan lingkungan yang sama seriusnya dengan di Papua.

Di Papua saja kini daya rusak sosialnya mulai menyerang bu daya setempat dengan ditemukannya kasus HIV tertinggi di Indonesia. Adapun Newmont di Nusa Tenggara, daya rusak sosialnya mungkin tidak kalah jika melihat populasi penduduk Nusa Tenggara yang lebih besar ketimbang populasi penduduk Papua.

Nilai CSR juga perlu kembali dihitung para penambang batu bara di Kalimantan, Sumatra, dan pulau lain. Dengan angka produksi batu bara rata-rata per tahun sampai dengan 332 juta ton--dinikmati asing 75%-tidak terbayang angka kerusakan hutan Indonesia.

Bersama-sama dengan industri CPO yang juga merusak sosial dan lingkungan, lengkap sudah penderitaan rakyat Indonesia dalam menanggung ongkos sosial dan lingkungan yang tidak akan dapat digantikan.

Kerusakan hutan Indonesia akibat kolaborasi penambangan batu bara dengan perluasan perkebunan sawit sekarang sudah terakumulasi 65 juta hektare (2011). Padahal total luas hutan tidak bertambah dan tetap sekitar 101,73 juta hektare sejak 2003. Untuk memulihkan hutan saja paling tidak diperlukan Rp285 triliun.

Rekalkulasi CSR juga harus dikenakan pula kepada pelaku bisnis di bidang pengeboran minyak dan gas dan juga pabrik semen. Konon berdasarkan perhitungan sebuah lembaga peduli lingkungan, Indonesia memerlukan total Rp4.500 triliun (Greenpeace, 2008) untuk memulihkan seluruh lingkungannya yang kini rusak parah.

Itu belum termasuk biaya untuk rehabilitasi manusianya dan biaya psikologis yang tidak bisa dikuantitatifkan. Kini pemerintah harus menghitung ulang, jika value dari eksploitasi seluruh sumber daya alam Indonesia mencapai dua kali lipat dari biaya rehabilitasi lingkungan, bisa jadi industri itu masih memungkinkan.

Kalau melihat hal ini, tuntutan Ecoton sebesar Rp3,852 miliar masih sangat terlalu kecil dan tidak sepadan. ●

Ekonomi Hijau dan Implikasinya bagi Indonesia

Darwina Widjajanti ; Direktur Eksekutif Yayasan Pembangunan Berkelanjutan
Sumber : KOMPAS, 21 Juni 2012



Konferensi mengenai pembangunan berkelanjutan kembali berlangsung di Rio de Janeiro, Brasil. Dua puluh tahun lalu, konsep itu untuk pertama kalinya diluncurkan di tempat yang sama.

Keprihatinan muncul karena ternyata belum ada perubahan signifikan terhadap keberlanjutan hidup manusia (human security). Meskipun berbagai inisiatif telah dilakukan sejak gagasan tersebut didengungkan, pada kenyataannya justru Bumi sedang ”sakit parah” dan bisa ”koma” jika tidak ada perubahan luar biasa (quantum leap) untuk menyelamatkannya.

Sebagai satu-satunya planet yang mendukung kehidupan manusia dan tidak tergantikan, kematian Bumi berarti pula kematian kehidupan manusia.

Beban Bertambah

Dalam Global Environment Outlook 2012 yang diluncurkan Program PBB untuk Lingkungan (UNEP) tepat sebelum Konferensi Rio+20 dimulai, disebutkan bahwa pertumbuhan penduduk mencapai 26 persen sejak 1990. Berarti menjadi 7 miliar tahun 2010 dan akan mencapai 9 miliar tahun 2050. Lebih dari setengah populasi tinggal di perkotaan dan krisis air mengancam kehidupan manusia karena stok air global menurun dua kali lipat (1960-2000). Akibatnya, 80 persen penduduk dunia hidup di wilayah rawan air. Penduduk perkotaan di negara berkembang, 30-50 persen hidup di bawah kelayakan dan rawan kebanjiran.

Di sisi lain, dalam dekade terakhir terjadi peningkatan pendapatan pada sebagian penduduk sehingga terjadi kenaikan konsumsi daging, ikan, dan makanan laut masing-masing 26 persen. Terjadilah kenaikan ekstrasi sumber alam dari peternakan, perikanan, ataupun kelautan.

Penggunaan sumber daya alam (bahan bakar fosil, bijih besi, dan industri mineral) naik lebih dari 40 persen menjadi 60.000 ton (1992-2005). Lebih dari 60 persen gas rumah kaca berasal dari industri energi, manufaktur, dan kehutanan.

Suhu dunia dalam 10 tahun terpanas sejak 1880. Kenyataannya hanya kurang dari 1,5 persen area laut yang dilindungi, hutan primer berkurang 300 juta hektar sejak 1990, dan naiknya sampah plastik dari 116 juta ton tahun 1992 menjadi 265 juta ton tahun 2010.

Transformasi Bisnis

Terlihat dengan jelas bahwa kebutuhan akan sumber daya alam makin meningkat seiring dengan naiknya jumlah penduduk, cara operasi perusahaan, dan gaya hidup manusia. Sebaliknya, daya dukung alam menurun kualitas dan kuantitasnya.

Laporan UNEP memperlihatkan Living Planet Index (kesehatan ekosistem Bumi) menurun 12 persen secara global, atau 30 persen di wilayah Asia Pasifik. Keamanan hidup manusia jelas terancam.

Dunia usaha yang melihat situasi ini bisa memilih untuk menjalankan bisnis seperti biasa atau bersikap antisipatif dan melakukan perubahan. Perusahaan juga akan mengalami situasi sulit karena krisis air dan energi, langkanya lahan, dan tuntutan sosial untuk bertanggung jawab atas limbah, dan polusi, serta ketidakpedulian sosial, pada era yang terbuka seperti sekarang. Tanpa mengubah cara beroperasi dan manajemen, perusahaan akan mati. Keuntungan sesaat jadi tidak berarti.

Cara baru yang harus dipertimbangkan adalah bisnis yang bertanggung jawab, yang tidak hanya mementingkan laba. UN Global Compact dengan corporate sustainability leadership telah menyiapkan kerangka aksi sebagai rujukan bagi pimpinan perusahaan untuk melakukan strategi bisnis baru, keberlanjutan.

Sebenarnya telah ada rujukan bagi setiap jenis usaha. Misalnya, equatorial principles untuk perbankan dan principles for responsible investment untuk pertanian Sustainable Assesment of Food & Agricultural System.

Para pemimpin puncak perusahaan memang perlu mempunyai wawasan dan komitmen sebagai warga dunia, untuk menyelamatkan kehidupan dan memastikan bahwa manusia dapat melanjutkan kehidupan dengan satu planet Bumi. Maka, misi tanggung jawab sosial dan lingkungan perlu masuk dalam kebijakan perusahaan, baik dari segi manajemen, operasional, maupun tindak-tanduk karyawan. Ini sejalan dengan pembangunan berkelanjutan yang menuntut kesejahteraan ekonomi yang dibarengi keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Setiap perusahaan punya peluang menyelamatkan perusahaan dan orang lain dalam operasi bisnisnya.

Langkah Awal

Sejauh ini tanggung jawab sosial perusahaan lebih dipahami oleh dunia usaha. Sayang, persepsinya menjadi parsial, cukup dengan berbaik hati lewat kegiatan kedermawanan: mendirikan yayasan perusahaan, mensponsori kegiatan amal, membantu korban bencana alam, ikut menanam pohon bakau, tetapi perusahaan tetap beroperasi seperti biasa. Berton limbah dialirkan ke sungai, berton ikan dikeruk dengan jaring pukat, membabat hutan, dan menghasilkan produk yang tidak memedulikan keamanan. Padahal, bisnis berkelanjutan menuntut perusahaan untuk bersikap benar, menerapkan etika bisnis, menghargai sumber alam, dan terutama melebihi tanggung jawab sosial perusahaan.

Apa yang dapat dilakukan perusahaan menuju ”perusahaan berkelanjutan”? Strategi bisnis berkelanjutan dirumuskan dengan pertimbangan lingkungan dan sosial. Pertimbangan lingkungan berarti menggunakan sumber alam seefisien mungkin (more with less) dengan menekan dampak negatif pada alam (low waste, pollution, carbon), memanfaatkan sumber alam setempat sebisa mungkin. Inovasi adalah kata kunci.

Dari segi keadilan sosial, perusahaan menghormati hak asasi manusia, termasuk hak buruh, melakukan perdagangan yang adil, menghargai kapasitas, pengetahuan, dan budaya lokal yang dapat dimanfaatkan, dan memiliki solidaritas tinggi kepada mereka yang kurang beruntung. Dengan tata kelola yang baik, strategi bisnis dengan pertimbangan di atas dapat diletakkan dalam ”rencana perjalanan keberlanjutan” (sustainability road map).

Mudah-mudahan kita bisa segera melihat cara menghemat air, menggunakan energi secara murah dan mudah, menghilangkan sampah, dan menciptakan industri bersih tanpa karbon. Dengan segala kemajuan teknologi sekarang, semoga dunia usaha bisa menjadi penyelamat, bukan perusak dunia. ●

Perusak atau Penyelamat?

Konferensi mengenai pembangunan berkelanjutan kembali berlangsung di Rio de Janeiro, Brasil. Dua puluh tahun lalu, konsep itu untuk pertama kalinya diluncurkan di tempat yang sama.

Keprihatinan muncul karena ternyata belum ada perubahan signifikan terhadap keberlanjutan hidup manusia (human security). Meskipun berbagai inisiatif telah dilakukan sejak gagasan tersebut didengungkan, pada kenyataannya justru Bumi sedang ”sakit parah” dan bisa ”koma” jika tidak ada perubahan luar biasa (quantum leap) untuk menyelamatkannya.

Sebagai satu-satunya planet yang mendukung kehidupan manusia dan tidak tergantikan, kematian Bumi berarti pula kematian kehidupan manusia.

Beban Bertambah

Dalam Global Environment Outlook 2012 yang diluncurkan Program PBB untuk Lingkungan (UNEP) tepat sebelum Konferensi Rio+20 dimulai, disebutkan bahwa pertumbuhan penduduk mencapai 26 persen sejak 1990. Berarti menjadi 7 miliar tahun 2010 dan akan mencapai 9 miliar tahun 2050. Lebih dari setengah populasi tinggal di perkotaan dan krisis air mengancam kehidupan manusia karena stok air global menurun dua kali lipat (1960-2000). Akibatnya, 80 persen penduduk dunia hidup di wilayah rawan air. Penduduk perkotaan di negara berkembang, 30-50 persen hidup di bawah kelayakan dan rawan kebanjiran.

Di sisi lain, dalam dekade terakhir terjadi peningkatan pendapatan pada sebagian penduduk sehingga terjadi kenaikan konsumsi daging, ikan, dan makanan laut masing-masing 26 persen. Terjadilah kenaikan ekstrasi sumber alam dari peternakan, perikanan, ataupun kelautan.

Penggunaan sumber daya alam (bahan bakar fosil, bijih besi, dan industri mineral) naik lebih dari 40 persen menjadi 60.000 ton (1992-2005). Lebih dari 60 persen gas rumah kaca berasal dari industri energi, manufaktur, dan kehutanan.

Suhu dunia dalam 10 tahun terpanas sejak 1880. Kenyataannya hanya kurang dari 1,5 persen area laut yang dilindungi, hutan primer berkurang 300 juta hektar sejak 1990, dan naiknya sampah plastik dari 116 juta ton tahun 1992 menjadi 265 juta ton tahun 2010.

Transformasi Bisnis

Terlihat dengan jelas bahwa kebutuhan akan sumber daya alam makin meningkat seiring dengan naiknya jumlah penduduk, cara operasi perusahaan, dan gaya hidup manusia. Sebaliknya, daya dukung alam menurun kualitas dan kuantitasnya.

Laporan UNEP memperlihatkan Living Planet Index (kesehatan ekosistem Bumi) menurun 12 persen secara global, atau 30 persen di wilayah Asia Pasifik. Keamanan hidup manusia jelas terancam.

Dunia usaha yang melihat situasi ini bisa memilih untuk menjalankan bisnis seperti biasa atau bersikap antisipatif dan melakukan perubahan. Perusahaan juga akan mengalami situasi sulit karena krisis air dan energi, langkanya lahan, dan tuntutan sosial untuk bertanggung jawab atas limbah, dan polusi, serta ketidakpedulian sosial, pada era yang terbuka seperti sekarang. Tanpa mengubah cara beroperasi dan manajemen, perusahaan akan mati. Keuntungan sesaat jadi tidak berarti.

Cara baru yang harus dipertimbangkan adalah bisnis yang bertanggung jawab, yang tidak hanya mementingkan laba. UN Global Compact dengan corporate sustainability leadership telah menyiapkan kerangka aksi sebagai rujukan bagi pimpinan perusahaan untuk melakukan strategi bisnis baru, keberlanjutan.

Sebenarnya telah ada rujukan bagi setiap jenis usaha. Misalnya, equatorial principles untuk perbankan dan principles for responsible investment untuk pertanian Sustainable Assesment of Food & Agricultural System.

Para pemimpin puncak perusahaan memang perlu mempunyai wawasan dan komitmen sebagai warga dunia, untuk menyelamatkan kehidupan dan memastikan bahwa manusia dapat melanjutkan kehidupan dengan satu planet Bumi. Maka, misi tanggung jawab sosial dan lingkungan perlu masuk dalam kebijakan perusahaan, baik dari segi manajemen, operasional, maupun tindak-tanduk karyawan. Ini sejalan dengan pembangunan berkelanjutan yang menuntut kesejahteraan ekonomi yang dibarengi keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Setiap perusahaan punya peluang menyelamatkan perusahaan dan orang lain dalam operasi bisnisnya.

Langkah Awal

Sejauh ini tanggung jawab sosial perusahaan lebih dipahami oleh dunia usaha. Sayang, persepsinya menjadi parsial, cukup dengan berbaik hati lewat kegiatan kedermawanan: mendirikan yayasan perusahaan, mensponsori kegiatan amal, membantu korban bencana alam, ikut menanam pohon bakau, tetapi perusahaan tetap beroperasi seperti biasa. Berton limbah dialirkan ke sungai, berton ikan dikeruk dengan jaring pukat, membabat hutan, dan menghasilkan produk yang tidak memedulikan keamanan. Padahal, bisnis berkelanjutan menuntut perusahaan untuk bersikap benar, menerapkan etika bisnis, menghargai sumber alam, dan terutama melebihi tanggung jawab sosial perusahaan.

Apa yang dapat dilakukan perusahaan menuju ”perusahaan berkelanjutan”? Strategi bisnis berkelanjutan dirumuskan dengan pertimbangan lingkungan dan sosial. Pertimbangan lingkungan berarti menggunakan sumber alam seefisien mungkin (more with less) dengan menekan dampak negatif pada alam (low waste, pollution, carbon), memanfaatkan sumber alam setempat sebisa mungkin. Inovasi adalah kata kunci.

Dari segi keadilan sosial, perusahaan menghormati hak asasi manusia, termasuk hak buruh, melakukan perdagangan yang adil, menghargai kapasitas, pengetahuan, dan budaya lokal yang dapat dimanfaatkan, dan memiliki solidaritas tinggi kepada mereka yang kurang beruntung. Dengan tata kelola yang baik, strategi bisnis dengan pertimbangan di atas dapat diletakkan dalam ”rencana perjalanan keberlanjutan” (sustainability road map).

Mudah-mudahan kita bisa segera melihat cara menghemat air, menggunakan energi secara murah dan mudah, menghilangkan sampah, dan menciptakan industri bersih tanpa karbon. Dengan segala kemajuan teknologi sekarang, semoga dunia usaha bisa menjadi penyelamat, bukan perusak dunia. ●

Gelapnya Ekonomi Hijau

Khalisah Khalid ; Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
Sumber : KOMPAS, 21 Juni 2012



Ekonomi hijau, menjelang pertemuan Rio+20 digadang- gadang sebagai jawaban atas fakta-fakta kerusakan lingkungan. Betulkah demikian?

Sejak deklarasi pembangunan berkelanjutan tahun 1992, 20 persen dari warga bumi atau 1,4 miliar orang hidup dengan penghasilan kurang dari 1,25 dollar AS sehari dan satu miliar warga kelaparan setiap harinya. Emisi gas rumah kaca terus meningkat, hingga 36 persen di atas angka tahun 1992, di mana 80 persen dihasilkan oleh 19 negara.
Konsentrasi karbon dioksida di atmosfer meningkat 9 persen, bersamaan dengan kenaikan suhu global 0,4 derajat celsius. Kawasan berhutan pun berkurang 300 juta hektar atau sebesar negara Argentina, termasuk hilangnya 3 persen kawasan mangrove dunia.

Peta Jalan Gagal

Angka-angka ini sesungguhnya menunjukkan bahwa peta jalan pembangunan berkelanjutan dengan segala turunannya— termasuk konvensi perubahan iklim dan konvensi keanekaan hayati—gagal menjangkau akar masalah kerusakan lingkungan.

Semua hal yang disebut di atas adalah dampak dari kesalahan sistem kapitalisme dalam mengelola kekayaan alam, yaitu menjual dengan cepat dan murah kekayaan alam.

Muncullah solusi-solusi baru, termasuk di antaranya gagasan ekonomi hijau yang idealnya mengintegrasikan pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Dalam konteks Indonesia, upaya peningkatan pendapatan negara yang tetap bertumpu pada industri ekstraktif dengan watak yang rakus (baca: business as usual) akan makin merusak lingkungan karena tidak ada pertimbangan keterbatasan daya dukung alam dan sosial.

Pada banyak kasus, ekonomi hijau yang seharusnya bisa mendukung pembangunan berkelanjutan menjadi sekadar ”kemasan hijau” karena akumulasi kapitalis dan eksploitasi sumber daya terus berlangsung.

Isu lingkungan hidup dalam modernisasi ekologis (ecological modernity), dan pembangunan berwawasan lingkungan (green developmentalism ) telah dibajak untuk kepentingan politik dan pasar. Rakyat yang tidak memiliki kekuatan ekonomi maupun politik dimanipulasi dengan asumsi kemakmuran.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia telah menyebutkan bahwa ekonomi hijau digunakan untuk menaikkan komodifikasi, privatisasi, dan finansialisasi alam, sekaligus pemusatan kendali atas alam oleh elite-elite bisnis dan elite politik dunia ke level yang lebih tinggi. Model ekonomi hijau yang sedang dibicarakan saat ini semakin memfasilitasi penguasaan dan monopoli atas sumber daya penting kehidupan, seperti air, keragaman hayati, atmosfer, hutan, penguasaan lahan secara besar-besaran, bibit, dan sarana produksi lainnya.

Sistem ekonomi politik kapitalisme telah dengan sangat baik membajak agenda pembangunan berkelanjutan, dan tampaknya Konferensi Rio+20 menjadi jalan untuk restrukturisasi diri, di tengah berbagai kecaman atas kegagalan pelaksanaannya.

Bukan untuk Rakyat

Pembangunan yang mengandalkan kekayaan alam tidak signifikan berkontribusi bagi kesejahteraan rakyat dan membuat bangsa ini bangkrut. Tingginya laju eksploitasi sumber daya alam, apalagi disertai konflik sosial, tidak sebanding dengan keuntungan finansial negara.

Penerimaan sumber daya alam (SDA) terdiri dari penerimaan minyak bumi dan gas bumi (migas) dan nonmigas seperti pertambangan umum, kehutanan, perikanan, dan pertambangan panas bumi. Penerimaan SDA tahun 2009 sebesar Rp 139 triliun, hanya memberikan kontribusi 16 persen dari total penerimaan negara Rp 871 triliun.

Rasanya hanya bermimpi jika kita berharap Pemerintah Indonesia bisa seperti Bolivia yang memperjuangkan konsep mother earth sebagai suatu konsep kehidupan yang holistik, di mana manusia dan makhluk lainnya hidup sebagai satu kesatuan yang saling terkait.

Bolivia menilai biang kerok kekacauan pembangunan adalah adanya pemisahan lingkungan hidup dan manusia. Hak atas ibu bumi yang dianut Bolivia ini juga dideklarasikan dalam konferensi rakyat untuk perubahan iklim, dan disetujui dan diadopsi oleh banyak kelompok hijau.

Namun, sebagai warga negara yang tinggal di bumi yang semakin merapuh, penting untuk menegaskan posisi masyarakat sipil agar kita bisa bersama-sama keluar dari jebakan mainstream pembangunan yang berbungkus ”hijau” tapi sesungguhnya tak lebih dari sekadar menyeret kita pada krisis dan problem yang terus berulang.

Mestinya, kita dapat mengelaborasi lebih banyak konsep ibu bumi menurut masyarakat Indonesia sebagai sebuah konsep tanding terhadap ide-ide pembangunan yang merusak lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat. Mama Aleta Baun dari Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, telah mengajarkan bagaimana mengelola kekayaan alam secara lestari. ●

Menunggu Keajaiban di Rio-Khudori

Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat,
Penulis Buku ‘Ironi Negeri Beras’
Sumber : SINDO, 20 Juni 2012



Pada 20–22 Juni tak kurang 130 kepala negara dan ribuan pemangku kepentingan akan berkumpul di Rio de Janeiro, Brasil, untuk meneguhkan kembali niat merawat bumi.
Dengan mengusung tema ”The Future We Want”, mereka memperingati 20 tahun pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (Rio+20), sekaligus mendiskusikan kembali masa depan yang diinginkan manusia di planet bumi dan bagaimana pengaturan institusi agar keinginan itu tercapai. Akankah konferensi lingkungan ini jadi ajang penyelamatan bumi dari kerusakan? Akankah sejarah baru diukir di Rio?

Ataukah konferensi hanya (kembali) menjadi ajang unjuk gigi kepongahan negara-negara kaya dengan memperjualbelikan nasib manusia lewat valuasi jasa lingkungan, seperti transaksi dagang karbon? KTT Bumi di Rio de Janeiro pada 1992 melahirkan Agenda- 21 berisi tentang sejumlah prinsip, arah,kebijakan,dan kelembagaan untuk membangun dunia yang lebih baik dan berkelanjutan.

Sepuluh tahun kemudian, KTT Pembangunan Berkelanjutan ketiga di Johannesburg menghasilkan Plan of Implementation of Agenda-21. Sayang, sejumlah kesepakatan yang diteken sejumlah negara yang tergabung dalam PBB untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan global itu tak lebih retorika politik belaka. Kini, 20 tahun setelah pertemuan di Rio de Janeiro, kerusakan lingkungan makin parah.

Lingkungan yang makin memburuk ditandai meluasnya penggundulan hutan ratarata 5,6 juta hektare per tahun dan penggurunan seluas 4,8 juta hektare tahun (FAO,2010). Lenyapnya keanekaragaman hayati,baik di darat maupun di laut, berlipat 10 kali di atas ambang yang disepakati. Dua protokol perlindungan alam PBB yang vital, Konvensi Keragaman Hayati dan Konvensi Kerangka Perubahan Iklim, dalam dua dekade terakhir jadi subordinat agenda kebuasan aliran kapital global.

Usaha mengubah pola konsumsi yang boros dan tidak berkelanjutan, jauh panggang dari api.Ironisnya,kini negaranegara berkembang dan miskin mengikuti pola konsumsi yang dipraktikkan oleh negara maju itu. Jejak ekologis kemakmuran negara-negara Utara adalah potret paling jelas dari model pembangunan global yang merusak, serta mempertahankan pasokan bahan mentah dan buruh murah dari negara berkembang.

Hasil model pembangunan tersebut berwujud rusaknya wilayah sosioekologis negara-negara Selatan untuk melayani gaya hidup boros dan konsumsi tidak terkendali dari negara-negara Utara. Valuasi jasa lingkungan seperti perdagangan karbon lewat mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanisme/ CDM) atau reduction emission from deforestation and forest degradation (REDD) sebagai tempat bertemu kepentingan negara kaya dan negara miskin, sama sekali tidak menjawab persoalan. CDM atau REDD justru memberi tiket negara maju terus menyemburkan karbon, mencemari atmosfer dan lingkungan sepanjang bisa membeli hak emisi dan hutan pihak lain.Jika semula tanah, kini justru atmosfer dan hutan diprivatisasi.

Dampak Buruk TNCs

Perdagangan karbon yang mendominasi perundingan dalam beberapa Konferensi Para Pihak (COP) sebelumnya adalah hasil lobi korporasi transnasional (TNCs), yang di belakangnya adalah industriindustri ekstraksi, termasuk Bank Dunia. Kalkulasi untung-rugi dalam bisnis telah mensubordinasi isu lingkungan. Isu lingkungan tidak pernah jadi arus utama dalam peradaban manusia. Kuatnya lobi pelaku bisnis (TNCs) dan pejabat pemerintah negara maju di semua proses perundingan untuk mengamankan kepentingan bisnis jangka pendek mereka, serta-merta mementahkan kesepakatan penyelamatan dunia.

Kesalahan terbesar berbagai kesepakatan tentang penyelamatan lingkungan atas pembangunan ekonomi dan sosial adalah kealpaan memasukkan pengaturan dunia usaha, institusi keuangan, dan TNCs. Padahal, institusi-institusi itu paling bertanggung jawab atas timbulnya polusi, pemanasan global dan pengurasan sumber daya di seluruh dunia, serta memiliki andil yang besar pada munculnya polapola konsumsi sesaat dan budaya konsumtif.

TNCs adalah pelaku utama kerusakan lingkungan. Pertama,aktivitas TNCs menyumbang lebih dari separuh gas rumah kaca yang disemburkan sektor-sektor industri. Kedua, TNCs secara riil memiliki kontrol khusus atas produksi dan penggunaan CFCs (chloro fluoro karbon) dan senyawa-senyawa kimia terkait yang merusak ozon. Ketiga, di sektor pertambangan, TNCs masih mendominasi industri-industri kunci dan terus mengintensifkan aktivitas mereka.

Di tambang aluminium 6 TNCs mengontrol 63% seluruh kapasitas pertambangan, di bidang pertanian TNCs mengontrol 80% tanah di seluruh dunia yang diolah untuk tanaman ekspor. Keempat, TNCs adalah penyebar utama sistem produksi tidak ramah lingkungan, produk-produk dan bahan-bahan yang berbahaya bagi dunia ketiga. Kelima, TNCs mendominasi perdagangan (dalam banyak kasus pengurasan) sumber daya alam dan komoditas, yang berandil pada degradasi hutan, air dan sumber daya kelautan, limbah beracun dan produk berbahaya (Khor,2003).

Setelah KTT Bumi Rio de Janeiro, Brasil, pada 1992, paradigma pembangunan berkelanjutan meredup, bahkan kalah oleh paradigma globalisasi. Pengaturan TNCs dan bisnis kian memburuk. Upaya menyelesaikan kode etik bagi TNCs (Code of Conduct on TNCs) secara formal terhenti pada 1993, sedangkan badan yang bertanggung jawab tentang hal itu, yakni The UN Centre on TNCs, dibubarkan.

Arus balik justru kian kuat, yakni kecenderungan menghilangkan peraturan demi peraturan yang dibuat pemerintah guna mengatur perusahaan. Pada saat yang sama, kekuatan, lobi, dan kedekatannya dengan organisasi multilateral, TNCs diberi hak dan kekuasaan yang kian besar. Kewenangan negara untuk mengontrol praktik dan perilaku perusahaan dikurangi, bahkan dihilangkan.

Menyelamatkan Bumi

Untuk menyelamatkan bumi, para pihak yang berkumpul di Rio de Janeiro setidaknya harus bisa menjawab lima pertanyaan berikut. Pertama, bagaimana mengubah secara struktural modal produksi dan konsumsi atau gaya hidup negara-negara maju? Kedua, bagaimana menata ulang korporasi agar mereka menghentikan aktivitas- aktivitas yang membahayakan lingkungan, kesehatan dan pembangunan?

Ketiga, bagaimana mengembangkan model-model pembangunan yang berkeadilan sosial maupun yang berwawasan lingkungan di negara-negara berkembang? Keempat, bagaimana melakukan penyesuaian struktural institusi-institusi ekonomi dunia, sehingga dapat mengarah pada pembentukan nilai perdagangan yang adil, dan mengubah pola aliran sumber daya keuangan antara negaranegara maju-berkembang?

Kelima, bagaimana mengupayakan distribusi pembagian beban yang adil atas beban penyesuaian yang diperlukan sesuai tuntutan lingkungan, baik antarnegara maupun dalam negara? Tanpa menjawab lima pertanyaan itu, penyelamatan bumi yang digagas di Rio tak ubahnya menunggu keajaiban. ●

Senin, 18 Juni 2012

Solusi Iklim

Tejo Pramono, STAF GERAKAN PETANI INTERNASIONAL, LA VIA CAMPESINA
Sumber : REPUBLIKA, 6 Desember 2011


Perundingan perubahan iklim COP 17 masih terus berlangsung sampai 9 Desember ini di Durban, Afrika Selatan. Pertemuan di Durban kali ini cukup menentukan daripada pertemuan sebelumnya karena memutuskan dilanjutkan atau tidaknya Protokol Kyoto pasca-2012.

Jepang, Kanada, dan Amerika Serikat (AS) terang-terangan menolak kelanjutan Protokol Kyoto yang mewajibkan pengurangan emisi bagi negara industri (annex 1 countries). Mereka menginginkan pada pengurangan sukarela atau tanpa target tertentu. Sementara itu, Indonesia bersama negara 77 plus Cina mendukung kelanjutan Protokol Kyoto.

Kita berharap Protokol Kyoto dilanjutkan lagi karena tanpa kewajiban pengurangan emisi di negara industri, mustahil dampak perubahan iklim dikurangi secara drastis. Selain soal kelanjutan Protokol Kyoto, perundingan UNFCCC dihujani banyak kritik karena memunculkan solusi palsu perubahan iklim.

Pengurangan emisi karbon melalui model offsetting alias tukar guling karbon adalah solusi palsu. Pasalnya, negara pengemisi tetap boleh mengemisi asalkan membayar kepada negara berkembang yang mereforestasi hutan.

Bukan Jalan Keluar
Proposal mengenai pengurangan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan serta penjagaan stok karbon atau dikenal dengan REDD+ adalah salah satu bentuk dari praktik tukar guling karbon tersebut. Solusi yang sejati tentunya adalah negara industri melakukan pengurangan emisi secara domestik di negara masing-masing. Sementara, negara berkembang juga menjaga hutannya dari deforestasi.

Soal REDD+ yang kini juga banyak didorong oleh delegasi Indonesia sebenarnya menyimpan persoalan lain yang pelik. Setelah REDD+ dijalankan, akan terjadi pindah atau pengalihan tanggung jawab pengurangan emisi. Setelah negara pengemisi setuju REDD+, kewajiban pengurangan emisi karbon beralih ke negara berkembang yang kini banyak mengajukan diri sebagai penerima proyek REDD+. Jika demikian, bukankah REDD+ adalah jalan 'cuci tangan' dari 'dosa' emisi karbon selama ini dari negara industri.

Hal lain adalah menyangkut kedaulatan pengelolaan hutan di negara berkembang. Setelah REDD+ disepakati, seluruh kegiatan pengelolaan hutan harus disetujui oleh negara yang membiayai REDD+. Artinya, Pemerintah Indonesia dan masyarakat penghuni hutan tidak bebas lagi menentukan pemanfaatan atas hutan yang mereka diami. Bisa dibayangkan apabila negara pendana REDD+ tidak menyetujui, petani dan masyarakat adat di hutan tersebut bisa saja tersingkir karena hutan diperuntukkan bagi karbon, bukan kehidupan rakyat.

Bukan tidak mungkin ke depan konflik antara rakyat penghuni hutan, petani, dan aparat akan meningkat. Pasalnya, pelaksanaan dari REDD+ dipaksakan alias tanpa proses persetujuan dari masyarakat. Walaupun ada mekanisme untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat penghuni hutan melalui //free prior informed consent (FPIP), hingga saat ini, tiada pelaksanaan yang baik. Kalaupun dilaksanakan, prosesnya sangat bias karena masyarakat diiming-imingi dengan janji dana kredit karbon.

Masalah tidak berhenti di situ. Mekanisme pasar karbon untuk pendanaan REDD+ memiliki potensi menjadi ajang spekulasi bisnis karbon oleh spekulan ataupun dikorupsi oleh pejabat pemerintah. Hal itu karena banyak pialang perantara yang menawarkan proyek-proyek REDD+ ke perusahaan-perusahaan yang memiliki kewajiban pengurangan emisi. Dampaknya, akan terjadi pasar karbon di mana transaksi ini menjadi ajang spekulasi.

Dalam situasi semacam ini disayangkan delegasi Indonesia sangat ambisius untuk mendorong pengurangan emisi melalui mekanisme REDD+. Mereka seolah tanpa berpikir panjang bahwa terdapat banyak sekali prasyarat-prasyarat atau modalitas yang kemudian membatasi kedaulatan masyarakat yang tinggal di hutan untuk mengelola teritorinya.

Dewan nasional perubahan iklim Indonesia juga bahkan tidak membuat pembatasan hal-hal apa saja yang bisa menjurus pada spekulasi karbon. Logika berpikir yang melihat perubahan iklim sebagai peluang bisnis adalah awal dari berlarut-larutnya penyelesaian negosiasi perubahan iklim. Akibatnya, konferensi perubahan iklim bergeser dari tujuan untuk meminta pertanggungjawaban para pengemisi karbon, menjadi ladang bisnis karbon.

Penulis ingin mengingatkan delegasi perubahan iklim Indonesia bahwa menjalankan mekanisme pasar dan tukar guling karbon akan membuat Indonesia rugi berlipat-lipat. Sudah dua tahun berturut-turut ini bencana dampak perubahan iklim telah mengakibatkan serangan hama dan membuat Indonesia kekurangan pasokan pangan.

Tidak terbayangkan bencana apa lagi yang akan muncul bila suhu iklim global terus meningkat. Bencana iklim yang meningkat adalah ongkosnya langsung yang harus dibayar hari ini. Adapun potensi pendapatan dari bisnis karbon tidak lebih dari mengharap dapat lotre dari spekulasi karbon.

Solusi Sejati
Bagi Indonesia, ada beberapa solusi sejati yang harus diperjuangkan dalam mengatasi perubahan iklim di tingkat perundingan iklim dan di dalam negeri. Pertama, delegasi perubahan iklim harus berjuang keras agar Protokol Kyoto dilanjutkan dan diimplementasikan dengan prioritas di negara industri tanpa melalui mekanisme offsetting.

Kedua, dana perubahan iklim global melalui Green Climate Fund mempercepat pencairan dana mitigasi dan adaptasi dengan mekanisme yang melibatkan negara-negara berkembang yang menjadi korban dari bencana iklim. Delegasi perubahan iklim Indonesia harus menolak keterlibatan Bank Dunia dalam pengelolaan dana perubahan iklim atas dasar pencemar tidak layak mengelola dana mitigasi iklim.

Adapun di dalam negeri, karena bencana akibat dampak perubahan iklim paling banyak terjadi di sektor pertanian, yang harus dilakukan adalah segera melakukan transformasi model pertanian. Sistem pertanian konvensional ala revolusi hijau, selain ikut meningkatkan emisi gas rumah kaca, juga sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Adapun pertanian agroekologi, yaitu pertanian alami (natural farming) sangat tahan terhadap bencana iklim dengan perolehan hasil yang lebih produktif. Karena itu, untuk menyelamatkan kebutuhan pangan nasional, pemerintah harus segera mengubah pertanian konvensional ke agroekologi.

Kini, telah banyak bukti ilmiah yang menyebut agroekologi bahkan menjadi solusi perubahan iklim. Pertama, agroekologi mampu mengembalikan bahan organik (utamanya karbon) dalam tanah sebanyak 20-35 persen.

Agroekologi akan meningkatkan populasi bakteri nitrogen-fixating yang efektif untuk mengurangi emisi. Bahkan, penelitian Jules Pretty menunjukkan bahwa pertanian agroekologi menggunakan 6-10 kali lipat lebih rendah energi fosil daripada pertanian industrial.

Kedua, mengubah model produksi ternak dan daging yang terkonsentrasi dan industrial menjadi peternakan dengan sistem pakan alami yang terintegrasi dengan produksi pangan, akan mengurangi 5-9 persen emisi GRK. Ketiga, perubahan orientasi konsumen ke konsumsi pangan lokal (food with less carbon foot print) dan segar (minim penyimpanan), akan mengurangi emisi GRK 10-12 persen.

Bila konsumen bisa beralih mengonsumsi pangan lokal, transportasi pangan melalui kargo pesawat bisa diturunkan 140 persen. Kondisi ini juga akan berdampak pada pengurangan emisi dari sektor pelayaran dan penerbangan sebesar dua kali lipat atau sama dengan emisi tahun 1990 (Intertanko 2007). Alangkah besarnya pengurangan emisi GRK Indonesia bila mampu mengurangi impor 4 juta ton gandum per tahun dari benua Amerika.

Keempat, penghentian deforestasi dan rekonversi perkebunan monokultur, termasuk perkebunan agrofuel kembali ke agroekologi berbasis rakyat mampu mengurangi emisi GRK sebanyak15-18 persen. Semoga Indonesia tidak terjebak dalam sistem kasino karbon dan muncul dengan agroekologi sebagai solusi nyata perubahan iklim. ●

Platform Durban dan Hutan Kita

Bernadinus Steni, KETUA PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (PGI)
Sumber : KOMPAS, 24 Desember 2011


Sejak disepakatinya Konvensi Perubahan Iklim pada 1992, perdebatan utama yang tidak kunjung tuntas adalah pemilahan antara negara maju dan negara berkembang. Ini berdampak pada pembagian beban pengurangan emisi bagi negara maju sekaligus membantu negara berkembang menghadapi perubahan iklim.

Konferensi Para Pihak (COP) yang ke-17, yang baru saja berakhir di Durban, juga diwarnai perdebatan serupa: sangat alot dan hampir terkatung-katung tanpa keputusan. China, India, Kanada, dan Amerika Serikat berusaha keras agar tidak ada pembicaraan untuk membentuk protokol baru yang mengikat sebagaimana diusulkan oleh Uni Eropa dan negara-negara kecil kepulauan.

Meski sama dalam target, keempat negara itu memiliki latar kepentingan yang sama sekali berbeda. India dan China merasa belum saatnya mendapat beban pengurangan emisi seperti negara-negara maju. India bahkan masih ingin melihat kemungkinan hasil temuan baru IPCC pada 2014, apakah memang ada pelepasan emisi yang membahayakan manusia atau tidak.

Argumen itu tentu tidak beralasan karena perubahan iklim sudah terjadi. Menunggu hingga 2014 untuk bersikap adalah pikiran konyol karena makin memperburuk dampak pemanasan Bumi dan perubahan iklim.

Sebaliknya, AS dan Kanada tidak mau ada komitmen pengurangan emisi global. Mereka menghendaki semua pembicaraan dikembalikan ke komitmen pengurangan emisi domestik setiap negara, dan menempatkan perundingan PBB sebagai upaya mencari jalan keluar yang murah dan mudah dalam pengurangan emisi domestik. Menurut mereka, semua negara bertanggung jawab mengurangi emisi, tanpa kecuali.

Argumen ini sama anehnya dengan India. Sudah menjadi prinsip konvensi bahwa negara pihak bertanggung jawab terhadap perubahan iklim, tetapi dengan beban yang berbeda (Pasal 3 Ayat 1 Konvensi Perubahan Iklim). Akan sangat tidak adil jika negara-negara kepulauan, yang sudah terempas gelombang pasang dan terancam menjadi negara hilang, bebannya sama dengan AS ataupun Kanada.

AS masih menempati urutan kedua pelepasan emisi setelah China dengan jumlah 5.425 juta ton per tahun. Posisi ini terus bertahan tiga tahun terakhir. Jumlah tersebut bahkan jauh melampaui gabungan emisi dari 129 negara berkembang yang menempati urutan 89-217.

Platform Durban

Putaran perundingan para pihak ke-17 di Durban akhirnya menghasilkan kesepakatan Platform Durban. Isinya kompromistis, masih menggantung, dan sarat keengganan. Meski diterima para pihak secara politis, hal ini belum menjamin pencegahan terhadap perubahan iklim.

Untuk Indonesia, setidaknya ada dua hal penting. Pertama, disepakatinya usulan membuat kesepakatan baru yang mengikat pada 2015 dan selambat-lambatnya dilaksanakan pada 2020. Kesepakatan baru ini termasuk Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Perumusan detail kesepakatan ke depan jelas akan menyita energi politik sejumlah negara. Dia menjadi ajang pertaruhan kepentingan nasional.

Kedua, prinsip beban tanggung jawab dalam kesepakatan baru akan mengacu pada tingkat pelepasan emisi dan meninggalkan pola lama yang memisahkan negara maju-negara berkembang. Artinya, negara berkembang pun wajib mengurangi emisi dengan beban yang sama dengan negara maju. Hal ini tentu akan terus menjadi perdebatan dalam perundingan ke depan.

Hutan Indonesia

Keputusan Durban juga berkonsekuensi pada agenda nasional. Pertama, hingga 2015 perangkat hukum nasional hingga program kerja pemerintah harus disiapkan agar sejalan dengan keputusan Durban. Persiapan itu perlu karena beban pengurangan emisi juga ada di pundak kita negara berkembang.

Kedua, jika dari skala pelepasan emisi Indonesia diperhitungkan sebagai negara yang harus mengurangi emisi, seperti China dan India, kewajiban tersebut bisa menjadi pintu masuk upaya pemulihan hutan Indonesia. Kecenderungan ke arah sana sangat mungkin karena pelepasan emisi Indonesia sangat tinggi dalam dua dekade terakhir, terutama dari laju kerusakan hutan dan pembukaan lahan gambut (Houghton, 2003).

Ketiga, perubahan pada paradigma dan cara kerja pembangunan saat ini mutlak diperlukan karena eksploitasi hutan dan gambut pertama-tama berawal dari pikiran dan gaya hidup barat. Pergeseran sikap dan mental tradisional ke modern telah mengubah keseluruhan pola kerja terhadap alam. Prinsip hidup saat ini telah terjajah kapitalisme sehingga orang teraniaya konsumtivisme hingga mata batin.

Ketiga hal di atas hampir pasti turut memengaruhi posisi Indonesia sejak awal perundingan hutan dan perubahan iklim di Bali, tahun 2007. Indonesia, antara lain, mendorong agar negara maju dan pasar menyediakan dana memadai untuk memulihkan kerusakan hutan.

Posisi itu banyak dikritik sebagai posisi ”Ali Baba”, tak mau rugi dan tak mau lelah. Alhasil, dalam tiga tahun terakhir hampir semua pelaku internasional yang mendorong REDD+ dalam perundingan global memboyong proyek ke Indonesia.

Lebih dari 40 proyek contoh berkembang biak di lapangan saat ini. Posisi itu sangat kontras dengan beberapa negara seperti Bolivia dan Brasil yang solid dengan kepentingan nasional, termasuk membatasi dan bahkan mendorong hapusnya pasar dari skema pendanaan.

Sudah selayaknya urusan hutan dalam negeri tidak lagi bergantung pada posisi ”Ali Baba”, tetapi menjadi kewajiban nasional. Konsekuensinya, ke depan anggaran negara harus ada untuk mengurangi emisi domestik.

Jika pemerintah berkukuh menerima semua sumber pendanaan, terutama pasar, upaya pengurangan emisi domestik akan berebut dengan offset—kompensasi atas emisi gas rumah kaca—negara lain. Padahal, keputusan Durban, bahkan sejak Bali, sangat pro-offset. Maka, negara maju melirik hutan Indonesia sebagai potensi offset.

Melalui upaya di Indonesia, para pemburu sertifikat offset meringankan pekerjaan mereka untuk memenuhi kewajiban internasional pengurangan emisi melalui teknologi hijau atas industri mereka yang boros bahan bakar fosil. Belum lagi jika menengok investasi pasar swasta di hutan yang sama.

Kapling klaim akan muncul dan potensial menjadi konflik baru. Banyak yang khawatir pada ujung perundingan ini, bukan hanya soal ketidakadilan dalam skema offset dan pasar, melainkan juga potensi terjadinya perebutan ruang antara pemain karbon dan komunitas adat.

Tentu tidak ada yang ingin rakyat Indonesia jadi pengemis di kampung sendiri. Kita menunggu langkah pemerintah untuk mengurangi kekhawatiran itu. Kita juga menunggu pemerintah mampu memainkan posisi dan kepentingan nasional dalam panggung perundingan ini. ●

Pembangunan Berkesinambungan dan Perubahan Iklim

Jeffrey D. Sachs, GURU BESAR EKONOMI DAN DIREKTUR EARTH INSTITUTE DI COLUMBIA UNIVERSITY, PENASIHAT KHUSUS SEKRETARIS JENDERAL PBB MENGENAI MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS
Sumber : KORAN TEMPO, 3 Februari 2012


Pembangunan berkesinambungan berarti mencapai pertumbuhan ekonomi yang dinikmati bersama dan yang melindungi sumber daya bumi yang vital. Namun ekonomi global saat ini tidak berkesinambungan. Lebih dari 1 miliar orang tertinggal di belakang dan lingkungan alam menderita kerusakan yang parah akibat ulah manusia. Pembangunan yang berkesinambungan memerlukan mobilisasi teknologi-teknologi baru yang dibimbing nilai-nilai sosial yang dibagi bersama.

Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa Ban Ki-moon dengan tepat telah menempatkan pembangunan berkesinambungan pada urutan teratas agenda global. Kita telah memasuki masa yang berbahaya, dengan jumlah penduduk bumi yang besar dan terus bertambah, beserta pertumbuhan ekonomi yang cepat, yang dikhawatirkan bakal membawa dampak serius terhadap iklim dunia, keanekaragaman hayati, dan ketersediaan air tawar. Para ilmuwan menamakan periode baru ini Anthropocene--ketika manusia telah menjadi penyebab utama perubahan fisik dan biologis di muka bumi.

Panel Kebersinambungan Global (GSP) Sekretaris Jenderal PBB telah mengeluarkan sebuah laporan yang memberikan garis besar kerangka pembangunan berkesinambungan. GSP mencatat ada tiga pilar pembangunan berkesinambungan: mengakhiri kemiskinan ekstrem; memastikan kemakmuran dibagi bersama untuk semua, termasuk wanita, generasi muda, dan kaum minoritas; serta melindungi lingkungan. Pilar-pilar ini bisa disebut pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan. Atau, sederhananya, triple bottom line pembangunan berkesinambungan.

GSP telah menyerukan kepada para pemimpin dunia agar mengadopsi serangkaian baru Sustainable Development Goals, atau SDGs, yang akan membantu memberi bentuk aksi dan kebijakan global setelah 2015 sebagai target tercapainya Millennium Development Goals (MDGs).
Sementara MDGs berfokus pada pengentasan masyarakat miskin ekstrem, SDGs akan berfokus pada ketiga pilar pembangunan berkesinambungan: mengakhiri kemiskinan ekstrem, dinikmatinya bersama hasil-hasil pembangunan ekonomi, dan dilindunginya bumi

Sudah tentu mencapai tujuan yang hendak diraih SDGs tidak semudah meluncurkannya. Masalahnya bisa dilihat dengan mengamati satu tantangan utamanya: perubahan iklim. Dewasa ini, ada 7 miliar orang yang mendiami bumi, dan setiap satu orang rata-rata ikut bertanggungjawab atas lepasnya setiap tahun lebih dari 4 ton karbon dioksida ke dalam atmosfir. Emisi CO2 terjadi ketika kita menggunakan batubara, minyak, dan gas untuk menghasilkan listrik, mengendarai mobil, atau menyalakan alat penghangat di rumah kita. Semua manusia mengeluarkan emisi sekitar 30 miliar ton CO2 per tahun ke dalam atmosfer, jumlah yang cukup untuk mengubah iklim dengan tajam dalam waktu beberapa dekade.

Menjelang 2050, mungkin bakal ada lebih dari 9 miliar orang di muka bumi. Jika orang-orang ini lebih kaya daripada orang-orang sekarang ini (dan karena itu menggunakan lebih banyak bahan bakar per orang), total emisi di seluruh dunia bakal meningkat dua kali atau bahkan tiga kali lipat. Inilah dilema yang harus kita hadapi: kita perlu membatasi emisi CO2, tapi kita berada di jalur global yang mendorong emisi semakin besar.

Kita harus peduli terhadap skenario ini, karena jika kita tetap berada di jalur emisi global yang terus meningkat, hampir pasti bakal terjadi kekacauan dan penderitaan bagi miliaran orang, sementara mereka dilanda kekeringan, gelombang panas, badai, dan banyak lagi bencana lainnya. Kita sudah mengalami awal dari penderitaan itu pada tahun-tahun terakhir ini dengan terjadinya kelaparan yang kejam, banjir, dan bencana-bencana lainnya yang terkait dengan perubahan iklim.

Jadi, bagaimana penduduk di muka bumi ini—terutama mereka yang hidup dalam kemiskinan—bisa memperoleh manfaat dari akses transportasi modern yang lebih besar, tapi dengan cara yang menyelamatkan bumi, bukan dengan menghancurkannya? Kenyataannya adalah kita tidak bisa melakukannya—kecuali kita meningkatkan dengan dramatis teknologi yang kita gunakan.

Kita perlu menggunakan energi dengan lebih bijaksana, sedangkan kita beralih dari bahan bakar fosil ke sumber-sumber energi rendah karbon. Peningkatan-peningkatan yang menentukan pasti bisa dicapai, dan secara ekonomi realistis.

Lihat saja, misalnya, tidak efisiennya energi mobil. Kita sekarang ini bergerak dari satu ke tempat lainnya dengan kendaraan yang beratnya sekitar 1.000-2.000 kilogram untuk mengangkut cuma beberapa orang, yang masing-masing beratnya mungkin sekitar 75 kilogram. Dan kita berbuat begitu dengan menggunakan motor yang memanfaatkan hanya sebagian kecil dari energi yang dirilis dengan membakar bensin. Sebagian besar energi itu hilang sebagai panas yang terbuang percuma.

Maka kita sangat bisa mengurangi emisi CO2 dengan beralih ke kendaraan kecil, ringan, dan yang menggunakan tenaga baterai yang menggerakkan motor listrik yang sangat efisien dan yang dimuati listrik dari sumber energi rendah karbon seperti tenaga surya. Bahkan lebih baik lagi, dengan beralih ke kendaraan listrik, kita bakal bisa menggunakan teknologi informasi yang canggih untuk membuat kendaraan itu pintar—bahkan cukup pintar untuk mengembalikan dirinya sendiri dengan menggunakan sistem olah data dan positioning yang maju.

Manfaat teknologi informasi dan komunikasi bisa ditemukan di setiap wilayah kegiatan manusia: pertanian yang lebih baik dengan menggunakan GPS dan pupuk mikro; presisi manufaktur, yang tahu bagaimana menghemat penggunaan energi; dan kemampuan Internet, yang informatif dan yang menghapus jarak itu. Mobile broadband sekarang sudah menjangkau dan menghubungkan bahkan desa-desa terpencil di Afrika dan India, dan dengan demikian memangkas perlunya perjalanan untuk menghubungi desa-desa itu.

Perbankan sekarang dilakukan lewat telepon, dan begitu juga dunia medis yang semakin luas jangkauan diagnostiknya. Buku elektronik dipancarkan langsung ke dalam telepon seluler tanpa perlu adanya toko buku, perjalanan, dan kertas untuk terbentuknya buku secara fisik. Pendidikan juga semakin tersedia online, dan tidak lama lagi memungkinkan siswa di mana-mana memperoleh pelajaran kelas satu dengan ongkos yang “marginal”—hamper boleh dikatakan nol.

Tapi berangkat dari sini menuju ke pembangunan berkesinambungan bukan cuma soal teknologi. Ini juga soal insentif pasar, regulasi pemerintah, dan dukungan publik untuk penelitian dan pengembangan. Tapi bahkan yang lebih mendasar dari kebijakan dan regulasi adalah tantangan nilai. Kita harus memahami nasib yang kita bagi bersama, dan merangkul pembangunan berkesinambungan sebagai komitmen pada kepantasan (decency) hidup bagi umat manusia hari ini dan di masa depan. ●
Diposkan oleh Budisan's Blog di 07:17 0 komentar




Negosiasi Durban

Fachruddin Mangunjaya, KANDIDAT DOKTOR PROGRAM STUDI LINGKUNGAN IPB
Sumber : KORAN TEMPO, 2 Desember 2011



Tidak ada konvensi internasional paling krusial sifatnya yang setiap tahun membawa banyak negara beserta para negosiator dan aktivis lingkungan, kecuali konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang perubahan iklim (UNFCCC). Pertemuan Conference of the Parties (COP) ke-17 di Durban, Afrika Selatan, yang diadakan pada 28 November hingga 9 Desember 2011, diikuti oleh 20 ribu peserta dan peninjau yang datang dari minimal 194 penanda tangan konvensi serta negara lainnya.

UNFCCC sesungguhnya telah hampir menjadi sebuah konvensi universal yang diikuti oleh mayoritas negara di muka bumi. Mereka yang tergabung dalam konvensi tersebut adalah pemerintah negara yang berkomitmen untuk: pertama, mengumpulkan dan berbagi informasi tentang emisi gas rumah kaca, kebijakan nasional, dan praktek terbaik yang mereka lakukan; kedua, berkomitmen membuat strategi nasional untuk mengatasi emisi gas rumah kaca dan dalam rangka mitigasi perubahan iklim serta—tentu saja termasuk—pemberian dukungan keuangan dan teknologi untuk negara-negara berkembang. Ketiga, bekerja sama dalam mempersiapkan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan upaya mengurangi emisi gas rumah kaca yang akan terus
meningkat.

Adapun COP merupakan pertemuan tertinggi antarnegara anggota untuk menilai kemajuan dalam berurusan dengan perubahan iklim.Tahun ini ada dua agenda penting dalam negosiasi tersebut yang diperdebatkan. Pertama, perjuangan mereduksi emisi yang selama ini berbasis pada kesepakatan antarbangsa (global accord) Protokol Kyoto akan berakhir pada 2012, sehingga langkah berikutnya akan membahas apakah protokol ini akan diganti atau diperpanjang menjadi Protokol Kyoto II. Kedua, bagi negara berkembang —termasuk Indonesia—adalah agenda penting mengikutkan agar skema REDD+ mendapat pengakuan legal dari dunia, sehingga kredit karbon akan didapatkan guna menjamin mekanisme finansial untuk tetap mempertahankan hutannya. Beberapa praktisi—termasuk banyak NGO—berupaya dan mendesak supaya hal ini bisa diwujudkan dengan kesepakatan yang mengikat (legally binding).

Sebab, bagaimanapun mempertahankan hutan yang ada sama dengan berupaya secara preventif mencegah kerusakan yang lebih parah.

Kerja Sama Global

Upaya negosiasi untuk mencapai penurunan emisi karbon di tiap negara sudah tentu sulit dilakukan tanpa adanya kerja sama antarnegara yang berkomitmen menurunkan
jumlah emisinya dan bantuan pasti untuk menahan laju kerusakan hutan. Diperkirakan sumber emisi global yang berasal dari kebakaran hutan serta pembukaan lahan dan hutan adalah 20- 25 persen emisi global. REDD+ memerlukan kesepakatan internasional yang mengikat (legally binding international agreement), dengan penurunan target emisi yang akan mendorong skema kredit karbon dalam upaya menurunkan pembukaan lahan dan hutan di negara berkembang.

Beberapa skema sukarela telah dilakukan untuk mencoba REDD+ di lapangan,
termasuk upaya pemerintah Indonesia berniat menurunkan 26 persen emisinya.
Karena itu, Indonesia telah mendapatkan komitmen bilateral dari Norwegia dan berbagai partisipasi tidak mengikat lainnya dari berbagai pemerintah untuk mencoba
REDD+ di lapangan.

Banyak kemajuan dan juga uji coba kesiapan REDD+ sudah dilakukan, debat publik sering terjadi—di mailing list lingkungan —terutama dalam upaya penerapan insentif bagi masyarakat yang ada di pinggiran hutan, di antaranya bahwa REDD+ sesungguhnya tidak dikehendaki mengulang kapitalisasi hutan menjadi keuntungan para elite pengusaha hutan yang “berganti baju investasi” menjadi penjaga hutan dengan mengambil rente karbon yang dimilikinya tanpa dapat mengubah keadaan masyarakat pinggiran hutan. Disadari pula bahwa selama ini pengusahaan hutan produksi dan pembukaan lahan untuk pertambangan ternyata tidak mampu mengentaskan masyarakat miskin di sekitar hutan yang bahkan hanya mendapat bencana ketika hutan ditinggalkan, seperti sisa lahan yang tercemar tambang dan tidak lagi subur, banjir, tanah longsor, kekeringan, serta kekurangan air bersih.

Bagi keuntungan global, sesungguhnya cost and benefit sebuah hutan alam yang
produktif: dari segi penyerap karbon, layanan ekosistem, penahan kesuburan lahan,
penyedia plasma nutfah, penghasilan langsung masyarakat dari hasil hutan bukan kayu, sesungguhnya dapat dihitung dalam jangka panjang.Kebijakan jangka pendek tentu tidak akan dapat menolong hutan kita. Sebab, sudah pasti kebutuhan akan kayu, bahan tambang, dan hasil yang instan akan lebih menarik serta terlihat menguntungkan. Di sinilah diperlukan pemilihan pemimpin yang mempunyai wawasan ke depan, yang tidak hanya memikirkan kantong pribadi, partai, atau kelompoknya, tapi memikirkan masa depan anak-cucunya dan masa depan bumi.

Demikian pula sesungguhnya adaptasi dapat dilakukan dengan upaya mempertahankan alam—hutan dan penataan ruang yang tepat—sebagai barier alami atas perubahan iklim. Misalnya, tanpa disadari pemerintah Indonesia telah menghabiskan jutaan dolar untuk membangun jalan ke Bandar Udara Soekarno-Hatta untuk mengatasi kenaikan genangan air laut (rob)—ketika terjadi banjir besar—tapi
lupa bahwa kawasan tersebut dulu merupakan hutan mangrove yang telah diubah menjadi lahan gudang, pabrik, dan perumahan.

Bagaimanapun upaya mempertahankan lingkungan harus dapat mengubah perilaku kebijakan dengan berbagai upaya dan pendekatan. Perubahan iklim memerlukan kesadaran kolektif dari tingkat individu (warga negara) hingga kebijakan negara. Karena itu, tumpuan perubahan perilaku (gaya hidup) hendaknya tidak hanya dilakukan dalam negosiasi global, juga dalam skala nasional, lokal, tingkat organisasi kolektif masyarakat (misalnya organisasi kemasyarakatan), bahkan tingkat perusahaan. Misalnya, perusahaan—yang telah berkomitmen untuk go green—perlu mendorong karyawan mempunyai kebanggaan moral, bahkan memberi insentif, jika mereka bisa menggunakan sepeda ke kantor dalam upaya mereduksi emisi karbon individual mereka. ●

Pabrik Semen Vs Bencana

Richo Andi Wibowo, DOSEN ILMU HUKUM DAN KEBIJAKAN PUBLIK FAKULTAS HUKUM UGM
Sumber : SUARA MERDEKA, 26 Desember 2011



TIDAK bisa membangun pabrik semen di Pati, PT Semen Gresik berniat mengalihkan pembangunan pabriknya ke Rembang. Pemkab bergegas menyambut positif gagasan tersebut (SM, 04/12/11). Penting mengulas rencana pendirian (kembali) pabrik semen mengingat hingga saat ini Mahkamah Agung belum memberikan putusan apa pun atas gugatan uji materi Perda Provinsi Jateng Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Padahal perda tersebut merupakan payung hukum atas cetak biru boleh tidaknya suatu daerah digunakan sebagai kawasan pertambangan. Sekadar menyegarkan memori pembaca, perda tersebut digugat awal 2011 karena dalam pembentukannya dianggap tidak mendasarkan pada kajian lingkungan hidup, hasil konsultasi publik, serta mengabaikan sejumlah peraturan seperti UU tentang Penataan Ruang dan UU mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Rencana pembangunan pabrik semen akan selalu menghadirkan posisi yang dilematis pada pemerintah daerah. Di satu sisi, pemda mengharapkan bahwa dengan adanya investasi langsung maka akan terjadi efek berganda (multiplier effect) yang dapat cepat menggerakkan perekonomian daerah.

Di sisi lain, pendirian pabrik semen merupakan awal dari aktivitas pertambangan; aktivitas yang dianggap mengancam kelestarian lingkungan dan dapat mengakibatkan bencana. Akibatnya, banyak masyarakat menolak. Pertanyaannya adalah bagaimana pemda sebaiknya bersikap atas rencana pembangunan pabrik itu?

Pertemuan pemimpin dunia pada forum Disaster Risk Reduction- Hyogo Framework for Action menghasilkan keputusan penting yang mengingatkan masyarakat internasional bahwa bencana dapat memorakporandakan hasil dari pembangunan, namun di sisi lain pembangunan juga dapat memproduksi terjadinya bencana (Jonatan Lassa, 2006).
Jadi dapat disarikan suatu pedoman untuk pemerintah bahwa kebijakan pembangunan yang benar adalah pembangunan yang dapat menekan risiko bencana. Sesungguhnya, pemerintah tidak perlu khawatir untuk mengambil sikap ini karena kebijakan tersebut justru akan memberikan kemanfaatan yang optimal.

Biasanya, guna mengundang investasi masuk ke wilayahnya, pemerintah menurunkan kualitas peraturan, terutama yang terkait dengan penurunan pajak dan penurunan syarat menjaga kelestarian lingungan. Namun, aturan menjaga kualitas lingkunganlah yang kerap dipilih. Hal ini karena ajak dianggap diperlukan guna pemasukan kas pemerintah.

Format Masa Depan

Padahal, penelitian yang dilakukan oleh Oates dan Schwab membuktikan bahwa daerah-daerah yang menurunkan aturan lingkungan guna menarik investasi justru akan mengalami kerugian yang lebih besar daripada keuntungan investasi yang didapatkan. Hal ini karena kerusakan pada lingkungan hidup akan menimbulkan biaya yang besar yang bersifat tidak terduga sebelumnya.

Kerusakan lingkungan yang terjadi pun, tidak dapat segera pulih. Akibatnya hal itu dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat dalam jangka panjang. Padahal aspek kesehatan akan mempengaruhi produktivitas kerja masyarakat, yang akhirnya dapat mempengaruhi perekonomian wilayah tersebut (Journal of Public Economics, 1988).
Berdasarkan hal itu maka pemda terkait perlu menelaah secara mendalam atas kebijakan pembangunan yang akan dipilih, termasuk untuk pro atau kontra atas rencana pendirian pabrik semen. Pilihan kebijakan yang diambil haruslah mendasarkan pada kajian lingkungan hidup yang bersifat objektif serta perlu memperhatikan aspirasi dari masyarakat.

Perlu diingat bahwa secara filosofis masyarakat tunduk pada aturan hukum karena substansi yang terdapat dalam aturan tersebut berasal dari perasaan hukum sebagian besar anggota masyarakat. (Rasjidi dan Rasjidi, 2007). Dengan demikian, jika pemerintah melalaikan poin-poin itu maka kebijakannya tidak akan mendapat legitimasi dari masyarakat.

Akibatnya, pemerintah hanya akan menghadapi permasalahan yang sama: kebijakan yang diambil akan kembali digugat oleh masyarakat. ●

Partai Hijau, Partai LSM

van A Hadar ; Direktur Eksekutif IDe;
Penerima Beasiswa dari Heinrich Boell Stiftung, Lembaga Politik Partai Hijau Jerman
Sumber : KOMPAS, 18 Juni 2012



Bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mendirikan Partai Hijau. Agenda utamanya adalah advokasi lingkungan dan keadilan ekologi. Meski dipastikan belum bisa mengikuti Pemilu 2014, meningkatnya laju kerusakan lingkungan di Indonesia akibat buruknya kebijakan mendorong para aktivis lingkungan ini untuk ”masuk dan mengubah sistem politik dari dalam” dengan berjuang dalam politik praktis.

Selama ini banyak aktivis LSM cenderung alergi terhadap politik praktis. Boleh jadi akibat trauma depolitisasi 32 tahun di bawah rezim Soeharto. Namun, beberapa tahun terakhir beberapa lembaga penelitian menganjurkan para aktivis LSM berpolitik agar demokrasi lebih bermakna. Caranya, masuk ke partai atau membuat partai baru (Demos, 2005). Setidaknya ada dua LSM besar, yaitu Bina Desa dan Walhi, yang berencana dan kemudian mendirikan partai politik.

Salah satunya adalah Partai Perserikatan Rakyat (PPR) yang meski dibantah berasal dari Bina Desa, beberapa pendirinya pernah berkiprah di LSM besar ini. Sayang, PPR tidak berhasil memenuhi persyaratan untuk mengikuti Pemilu 2009.

Baik PPR maupun Partai Hijau memiliki asas yang cukup jelas, yaitu sosial-demokrasi, keadilan (ekologi), dan kerakyatan. Tentu saja harus diperjelas perbedaannya dengan asas ekonomi kerakyatan yang juga dianut hampir semua partai politik di Indonesia, termasuk di antaranya Golkar. Pilar utama perekonomian yang menjadi program partai ini adalah usaha kecil, menengah, dan koperasi.

Dengan menyandang visi antitesis ekonomi konglomerasi ini, Golkar seharusnya dikategorikan sebagai partai kiri. Namun, sebagai pendukung pemerintahan SBY-Boediono yang saat ini mengambil kebijakan kanan, Golkar kenyataannya adalah partai kanan, berseberangan dengan visinya sendiri.

Hal ini, selain akibat proses deideologisasi Orde Baru, boleh jadi juga diperkuat dengan berakhirnya konflik Barat-Timur awal 1990-an ketika dua teori utama pembangunan, yaitu modernisasi dan dependensia seakan dicampakkan ke tong sampah sejarah ideologi. Khawatir teori ini mengandung bahaya, semua yang berbau ideologi ditinggalkan sehingga tanpa sadar kita tidak punya pegangan.

Pelobi LSM

Di Indonesia, jumlah LSM 4.000 hingga 7.000-an, belum termasuk yang dadakan karena ada proyek. Sekitar 1.800 LSM mancanegara, termasuk forum LSM yang bergiat dalam penghapusan utang Indonesia tadi, telah memperoleh akreditasi PBB. Mereka berhak ikut sidang umum, juga memberikan statement singkat dan tuntutan kepada anggota.

Apa pun yang dilakukan penguasa dipantau LSM. Bagi LSM berlaku motto yang konon sudah ada sejak abad ke-12: ”Kami adalah raksasa sehingga bisa melihat lebih jauh dan luas ketimbang sang raksasa itu sendiri”.

Kelahiran LSM terbesar terjadi seusai KTT Lingkungan Hidup di Rio de Janeiro, 1992. Setelah itu, PBB melonggarkan keikutsertaan LSM dalam berbagai KTT serta sidang-sidang komite di kantor pusatnya. Berbagai pengaduan, permohonan, protes, pernyataan, dan manifesto mewarnai aktivis LSM sebagai pelobi kepentingan masyarakat akar rumput dan kelanggengan hidup bumi manusia.

Namun, LSM tidak bisa berharap banyak mengikuti walau mengikuti berbagai KTT dan forum internasional. ”Kebijakan yang sebenarnya bukan diputuskan di sana,” ungkap Paul Hohnen, mantan diplomat Australia, yang mengoordinasi 12 pelobi top dari Greenpeace International. Perubahan kebijakan dilakukan berbagai subdivisi PBB dan ”Prep-Coms”, komite persiapan.

Pengetahuan inilah yang diketahui dan kini justru dimanfaatkan berbagai LSM internasional, seperti Greenpeace, Amnesty International, Oxfam, Prison Watch, juga organisasi pencari suaka, kelompok perlucutan senjata, serta LSM pendukung hak asasi anak dan perempuan. Berbagai perubahan substansial dalam kebijakan lingkungan, jender, dan sosial memang berhasil dicapai para pelobi dari LSM.

Para bekas diplomat, seperti Paul Hohnen, bukan lagi barang langka dalam jalinan PBB-LSM. Ada aktivis LSM yang terlibat dalam perumusan berbagai dokumen PBB.

Pemihakan

Hambatan, nyaris hanya ditemui aktivis LSM di Bank Dunia. Setiap tahun, Bank Dunia membagi-bagi puluhan miliar dollar AS bantuan pembangunan kepada penguasa korup, proyek besar yang merusak lingkungan, dan memperlebar kesenjangan sosial. Itulah sinyalemen banyak LSM Utara yang menganggap Bank Dunia sebagai musuh nomor satu. Sebaliknya, banyak LSM Selatan menilai Bank Dunia sebagai sumber dana dan mitra pembangunan.

LSM yang moderat coba melakukan perubahan dari dalam lembaga Bretton Wood tersebut dan meneruskan informasi tentang proyek yang dianggap membahayakan negara miskin atau masyarakat luas. Satu hal yang disepakati mayoritas LSM di mana pun adalah strategi people centered development yang mengacu pada visi terciptanya masyarakat adil, bebas penindasan, hak asasinya dihargai, dan dapat menjalani kehidupan secara layak.

Pemihakan ini harus dilakukan pada dua aras. Pertama, penguatan di tingkat akar rumput agar rakyat mampu mempertahankan hak-haknya atas sumber daya yang dimiliki. Kedua, bagaimana mengajar lewat kegiatan advokasi yang meliputi kampanye, lobi, pertukaran informasi, pembentukan aliansi, agar para birokrat dan anggota legislatif peka terhadap berbagai dampak negatif proyek pembangunan.

Peran LSM sangat penting di era globalisasi karena rakyat kecil dan lemah pasti akan terlempar dari persaingan pasar global. Sinergi kegiatan LSM di tingkat nasional dan internasional diharapkan bisa memengaruhi pemerintah dan berbagai lembaga internasional untuk ikut mengusahakan perlindungan bagi masyarakat yang miskin dan rentan.

Sikap ini harus menjadi landasan ideologi LSM dalam mendirikan parpol demi menjadikan demokrasi lebih bermakna. ●

Interes Ekonomi Rio+20

Effnu Subiyanto ; Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
Sumber : REPUBLIKA, 18 Juni 2012



Setelah menunggu dua dekade sejak 1992, mulai Selasa (13/6/12) ribuan perwakilan dari 190 negara termasuk 130 lebih pemimin negara akan berkumpul kembali di Riocentro Convention Centre di Rio de Janeiro, Brasil. KTT yang digelar oleh United Nations Conference on Sustainable Development (UNCSD) ini diadakan sampai 22 Juni 2012 persis bertepatan 20 tahun United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) karena itu disebut dengan Rio+20. Momentum itu sekaligus memperingati satu dekade World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg 2002.

Spirit dua KTT itu pada prinsipnya tidak berbeda, yakni berjuang untuk keberlangsungan alam dan ekologi agar tidak semakin rusak karena ulah rakus manusia. Cadangan SDA akhir-akhir ini sudah mulai dirasakan menipis dan mengkhawatirkan, jika tidak ada lembaga yang konsen dan peduli maka daya dukung alam kepada manusia akan jauh lebih cepat dan pendek. Untuk inilah UNCSD berupaya mengingatkan kembali bahwa ekologi tak boleh diabaikan.

Namun, betulkah masyarakat dunia berkomitmen dengan apa yang diucapkan? Fakta dan data menunjukkan ber beda seperti misalnya konsumsi minyak dunia malah melonjak berlipat dua dua dekade ini. Jika pada 1990 produksi minyak OPEC per hari pada kisaran 14 juta barel per hari maka kini sudah mencapai 31,6 juta barel per hari atau naik 125,71 persen.

Semangat KTT Rio 1992 dua dekade ini masih dalam tahap retorika, sangat sulit mengerem laju produksi kerusakan alam untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ada yang harus disangsikan ke efektifannya jika melihat begitu dilematisnya posisi KTT Rio+20 juga KTT-KTT lainnya. Sponsor utama penyelenggaraan semacam ini adalah negara-negara yang notabene maju dan kaya padahal mereka mengandalkan mesin-mesin industri dari hasil SDA dan bahan energi negara-negara sedang berkembang. Jika diseriusi dengan sungguh-sungguh rekomendasinya, Ame ika, mi alnya, harus menerima konsekuensi agar menutup 10 ribu fasilitas industrinya yang kini menjadi 10 besar emiter karbon terbesar dunia (EPA, 2009).

Industri yang harus ditutup pertama adalah pembangkit listrik karena menghasilkan 2.262 juta ton emisi gas setara karbon per tahun. Berikutnya yang harus ditutup adalah industri petroleum (205 juta ton), besi baja (85 juta ton), pulp paper (58 juta ton), dan petrokimia (54 juta ton).

Penutupan industri ini akan membawa dampak bergulir seperti meningkatnya pengangguran yang kini menghantui Amerika. Dampak berikutnya adalah berkurangnya secara drastis pajak korporasi kepada negara, padahal greenback sungguh diperlukan untuk menyokong APBN AS yang kini berdarah-darah. Terlebih ekses dari krisis zona euro masih terasa dan belum kunjung dapat dipulihkan.

Cuma Retorika

Hal yang selalu tidak dipahami oleh kelompok negara-negara maju adalah keengganan untuk memberikan kompensasi atas kerusakan ekologi negara ketiga, padahal SDA itu digunakan untuk kepentingan negara maju (Cooper, 1997). Pada konvensi UNFCCC Bali Desember 2007, Indonesia sebenarnya mengajukan klaim kompensasi kepada negara maju polluter terbesar greenhouse gas emissions (GHG) Rp 33,75 triliun per tahun melalui proyek REDD. Sebetulnya klaim angka itu ti dak sebanding biaya recovery yang di per kirakan mencapai Rp 71,28 triliun (ICW, 2009). Betapapun “tuntutan” ri ngan itu tidak dapat dipenuhi negara-ne gara yang berkontribusi dalam merusak SDA Indonesia.

Justru ironisnya negara-negara berkembang malah mendapatkannya dengan mudah. Negara maju sering menda patkannya sementara di Indonesia sama sekali tidak. Korporasi besar seperti DuPont—industri kimia Prancis— mem peroleh dua miliar dolar AS karena klaim pengurangan pemakaian CFC 1999 (Boiral, 2006). Shell dan Bri tish Petroleum (BP) mendapat 500 juta dolar AS subsidi energi karena sudah memasang proyek solar cell untuk kelistrikan pada 1997. BP mengklaim berha sil dengan program pengurangan emisi hingga 10 persen dibanding pada 1990. Jerman mendapat paling banyak insentif karena target yang dipasang 21 persen, paling tinggi di antara tiga negara lainnya. Kanada berada pada urutan selanjutnya karena memasang target moderat 15 persen.

Keberatan untuk memenuhi klaim Indonesia dari panel tinggi REDD ka rena terutama tidak bisa disebutkan kuantifikasi dari pengurangan emisi karbon yang telah dilakukan Indonesia. Bagi negara maju memberikan angka kuantitatif tentu relatif mudah karena kemajuan teknologi dan tersedianya instrumen pengukuran. Namun, bagi negara ketiga adalah beban, disamping diperlukan investasi besar juga masih harus menyewa tenaga asing untuk operatornya. Besarnya insentif barangkali malah jauh lebih kecil dibanding biaya investasi, insentif belum tentu di peroleh sudah keluar biaya lebih dulu.

Konon, banyak sekali insentif—da lam skema karbon—yang ditawarkan pascakonferensi Bonn pada 2001, namun dengan persyaratan hasil pengukuran yang reliabel. Ukuran-ukuran ini ditetapkan sendiri oleh panel tinggi dari kelompok negara-negara maju. Inilah letak diskriminasi dari setiap KTT yang berkaitan dengan ekologi.

Berkaca dari pengalaman KTT-KTT lainnya, apakah Rio+20 mempunyai cukup power untuk menekan negara maju? Alih-alih menekan mereka bahkan yang terjadi justru menjadi forum untuk mendiskreditkan negara ketiga. Lagi-lagi ada nuansa retorika yang perlu dikonfirmasikan kembali karena kecemasan tidak mendapat keuntungan dari sisi ekonomi

Membahayakan Diri Sendiri Daoed Joesoef ; Alumnus Universitas Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne


Sumber : KOMPAS, 18 Juni 2012



KTT Bumi yang disebut Rio+20 di Rio de Janeiro, 13-22 Juni 2012, merupakan respons makhluk manusia terhadap ancaman akan eksistensinya di Bumi. Makhluk ini semakin menyadari bahwa dia adalah spesies yang betul-betul menjadi terancam.
Perjalanan prasejarah mengungkapkan bahwa pemunahan setiap bentuk kehidupan atau spesies disebabkan kebanyakan oleh satu atau kombinasi dari tiga hal. Spesialisasi intensif yang menjurus ke pemusnahan evolusioner, kekuatan-kekuatan geologis atau klimatologis yang berdampak katastrofis, atau spesies-spesies lain yang berpembawaan ganas.

Melalui pertarungan evolusioner selama jutaan tahun ke arah humanitas, bentuk kehidupan yang kemudian menjadi makhluk manusia berhasil luput dari jebakan spesialisasi. Spesies yang berubah-ubah dan adaptif ini mampu menguasai opsi-opsi suratan takdir kemanusiaannya. Dia juga bisa mengatasi unsur-unsur alam. Namun, ancaman yang ketiga, berdasarkan gejala-gejala perusakan sumber kehidupan dan pembinasaan kedamaian hidup bersama, tetap merupakan kekuatan katastrofis yang mengancam. Dan ancaman tersebut berasal dari makhluk manusia itu sendiri.

Bahaya partikular ini sebenarnya telah diingatkan oleh Alexis de Tocqueville satu setengah abad yang lalu. Filosof politik Perancis ini dengan sengaja mengunjungi Amerika Serikat untuk menyaksikan dari dekat dinamika demokrasi baru di ”Dunia Baru”. Setelah mengagumi langit dan sungai yang serba jernih, hutan dan daratan yang menghampar luas, 13 juta penduduk cekatan yang ada di situ, dia menulis, ”ademocratic power is never likely to periah for lack of strength or of its resources, but it may very well fall because of the misdirection of its strength and the abuse of its resources”.

Ternyata salah urus dan penyalahgunaan sumber kehidupan oleh penguasa negara dan elite bangsa telah terjadi sejak itu tidak hanya di Amerika Serikat, tetapi juga di mana-mana, termasuk dan terutama di lingkungan negara-bangsa yang baru merdeka. Begitu rupa hingga makhluk manusia dewasa ini tidak hanya sedang menderita krisis ekologis yang memang cukup mendasar, tetapi juga mengalami krisis multidimensional yang sangat serius, sebagaimana tecermin pada aneka jenis gejolak, seperti yang kini melanda developed countries di Eropa dan Amerika, developing countries di Timur Tengah, Afrika, dan Asia, termasuk Indonesia.

Hal ini perlu dikemukakan di forum ini karena gejala-gejala krisis multidimensional tersebut tidak disinggung secara eksplisit oleh dua dokumen pokok yang dijadikan dasar pembahasan di KTT Bumi Rio+20. Karena diabaikan, penyebab utamanya menjadi tidak dipikirkan dalam merenungi ”the future we want”.

Terkait Pengetahuan

Dalam berusaha menyempurnakan kehidupan humannya, makhluk manusia terus-menerus berikhtiar menciptakan pengetahuan ilmiah baru di samping menyempurnakan yang sudah ada. Kita memang tidak bisa membayangkan ”the modern world” tanpa kehadiran ilmu pengetahuan. Dapat dipahami kalau sikap manusia terhadap alam ambivalen, sebab alam merupakan sahabat sekaligus musuhnya. Maka, bersamaan dengan itu, dia ternyata mengacaukan antara teknologi dan ilmu pengetahuan. Dia kiranya tidak menyadari bahwa alat yang dipakainya untuk membelah bukit, mengebor bumi, membabat hutan, membendung arus air merupakan tidak hanya kepanjangan ototnya, tetapi juga pikirannya. Dia seharusnya mengetahui bahwa ilmu pengetahuan boleh saja bebas, berhubung ia adalah pencarian kebenaran, sedangkan teknologi hanya untuk menerapkan kebenaran itu. Jadi, penerapan ini perlu dikontrol dan diimbangi kearifan tentang kesejahteraan umum dan keamanan bersama, tidak mematikan spirit dari gemeinschaft.

Jadi inilah yang terjadi, inilah sebab utama dari krisis multidimensional yang diabaikan. Dalam berusaha menyempurnakan kemampuan humannya, di segala bidang kehidupan, dia selalu gigih memupuk isi intelektual, isi keilmuan, isi taknia, isi religius, isi artistik dari pembentukan kemanusiaannya. Begitu rupa hingga dia mampu membangun jembatan dan gedung pencakar langit, menggerakkan dan menerbangkan benda sampai ke angkasa luar, menjangkau benda-benda yang besar tidak terbatas, mengakses partikel-partikel yang kecil tak terbatas, demi penguasaan potensi yang dikandung oleh kedua hal tersebut.

Sayangnya, manusia lupa memupuk isi manusiawi dari pertumbuhan kemanusiaannya. ”Man forgot, and still forgots, to cultivate the human content of his becoming human”. Peperangan, pembuatan senjata pembunuh massal, perusakan alam, mempertahankan kekuasaan demi kekuasaan, penindasan, adalah manifestasi dari kealpaan fundamental tersebut.

Tuhan yang Maha-kuasa, Maha-mengetahui, dan Maha-adil, menciptakan bumi yang mampu memenuhi kebutuhan wajar setiap manusia, tetapi tentu tidak untuk memuaskan nafsu keserakahan setiap manusia. Teknologi sebagai means penerapan ilmu pengetahuan, mengukuhkan keserakahan tersebut.

Upaya Penerapan Bijak

Kondisi kehidupan manusia sejak akhir abad ke-20 dan selanjutnya sebagian besar ditentukan oleh evolusi ilmu pengetahuan eksperimental dan teknologi yang perkembangannya memengaruhi baik politik maupun ekonomi. Apakah karena itu kita bisa mengatakan adanya ”scientific culture”? Tunggu dulu!

Istilah tersebut tidak pantas dan abusif selama implikasi—antara lain moral dan politik dari kemajuan ilmiah dan teknologis—tidak sekaligus dipikirkan. Kemajuan tersebut untuk melayani siapa dan untuk apa? Mengenai penerapannya, pertanyaan serius perlu dialihkan dari ”how we can do it”? ke ”should we do it”?

Lembaga pendidikan tinggi, pemerintah dan swasta, terpanggil menjadi tempat merenungkan ”budaya” di zaman teknologi supermodern apabila usaha formal melalui undang-undang berniat membuatnya sekadar tempat melatih ”tukang” ke arah gesellschaft.

Budaya adalah ”nilai” dan kalau kita berbicara tentang nilai, kita berbicara tentang ”manusia”, sebab dia dan hanya dia, adalah makhluk pembuat nilai dan pemberi makna pada nilai. ”It is not our human nature that is universal, but our capacity to create cultural realities, and then to act in terms of them”. ●

Minggu, 17 Juni 2012

Positioning Indonesia dalam Rio+

Positioning Indonesia dalam KTT Rio+20
Rokhmin Dahuri ; Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB;
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia
Sumber : SINDO, 16 Juni 2012



Kesadaran dan gerakan mondial untuk mengatasi kerusakan lingkungan global sebenarnya telah dimulai sejak Konferensi PBB pertama tentang pembangunan dan lingkungan pada 1972 di Stockholm, Swedia.

Upaya itu semakin bergaung lewat publikasi buku Our Common Future oleh World Commission on Environment and Development pada 1986. Kemudian dilanjutkan dengan Konferensi PBB kedua tentang tema yang sama di Rio de Janeiro pada 1992 dan ketiga di Johannesburg, Afrika Selatan pada 2002. Minggu depan, tepatnya pada 20–22 Juni, PBB kembali akan menggelar Konferensi Lingkungan Sedunia (Rio+20) di Rio de Janeiro, ibu kota Brasil.

KTT Bumi di Rio de Janeiro pada 1992 melahirkan Agenda- 21 berisi tentang sejumlah prinsip, arah, dan kebijakan untuk membangun dunia yang lebih baik, sejahtera, dan berkelanjutan. Sepuluh tahun kemudian, KTT Pembangunan Berkelanjutan ketiga di Johannesburg menghasilkan Plan of Implementation of Agenda-21. Sayang, sejumlah kesepakatan dari para kepala negara yang tergabung dalam PBB untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan global itu retorika politik belaka.

Beragam jenis kerusakan lingkungan, mulai dari pencemaran, overfishing, deforestasi, pengikisan keanekaragaman hayati, banjir, hingga ke global warming (pemanasan global), bukannya reda, malah semakin meluas dan parah. Dalam dua dasawarsa terakhir, krisis pangan, energi, air, dan ekonomi juga semakin sering terjadi. Saat ini kerusakan lingkungan tampak hampir di seluruh pelosok dunia.

Dalam Living Planet Report (2006),WWF mengungkapkan bahwa ekosistem bumi saat ini sedang mengalami degradasi pada tingkat yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah umat manusia. Perusakan hutan hujan tropis di Kongo, Amazon, dan Indonesia misalnya tengah melaju dengan kecepatan tinggi menuju kehancuran total. Laju konversi hutan di Indonesia tergolong yang paling dahsyat di dunia, sekitar 1,5 juta ha setiap tahunnya (WWF, 2011).

Sekitar 85% sumber daya ikan di kebanyakan wilayah laut dunia telah mengalami tangkap jenuh (fully exploited), tangkap lebih (overfishing), dan kepunahan (FAO, 2010). Konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat dari 357 ppm pada 1992 menjadi 389 ppm pada 2011. Bersamaan dengan itu, suhu rata-rata bumi naik 0,20C per dekade (IPCC, 2011).

Akibat pemanasan bumi, sekitar 200 juta orang bakal menjadi pengungsi karena bencana banjir dan kekeringan. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh pemanasan global disinyalir melebihi kerugian akibat Perang Dunia I dan II plus krisis ekonomi dunia pada 1930 (UNEP,2010).

Akar Permasalahan Lingkungan

Pada dasarnya akar masalah dari semua jenis kerusakan lingkungan adalah permintaan total manusia terhadap sumber daya alam (SDA) dan jasa-jasa lingkungan telah melampaui daya dukung lingkungan suatu wilayah (desa, kabupaten/kota, provinsi, negara, atau bumi) untuk menyediakannya dalam kurun waktu tertentu.

Menurut hasil pengkajian tim peneliti dari Universitas Harvard (2002) bahwa total permintaan umat manusia terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan pertama kali melewati daya dukung lingkungan bumi terjadi pada 1980. Selanjutnya pada 1999 total permintaan manusia itu 20% lebih besar dari pada daya dukung lingkungan bumi.

Dengan perkataan lain, umat manusia sejak 1980 sebenarnya mengeksploitasi SDA dan jasa-jasa lingkungan secara berlebihan, dengan memanfaatkan modal dasar buminya (the earth’s natural assets). Bukan SDA dan jasajasa lingkungan yang dihasilkan oleh bumi setiap tahunnya. Kondisi inilah yang sejatinya merupakan akar masalah dari munculnya global bubble economy sejak dua dekade terakhir.

Wujud nyata dari global bubble economy (ekonomi dunia yang keropos bagaikan buih) adalah krisis ekonomi yang sejak 2008 melanda AS dan Eropa. Pada dasarnya bubble economy terjadi di suatu negara, manakala jumlah uang yang dicetak di negara itu jauh melebihi kemampuan negara tersebut menghasilkan barang dan jasa dari sektor riilnya (Stiglitz, 2009).

Ekonomi Hijau dan Biru

Maka itu, dalam rangka mewujudkan masa depan dunia yang lebih baik, sejahtera,dan sustainable (berkelanjutan) sebagaimana diharapkan dari Konferensi Lingkungan Sedunia keempat (Rio+20), secara teknis kita harus melakukan dua prakarsa terobosan (breakthrough) secara simultan pada tingkat negara dan global.

Pertama, kita mesti memelihara dan meningkatkan daya dukung bumi agar mampu menyediakan bahan pangan, energi, air, SDA lain, ruang, serta kualitas lingkungan hidup yang sehat, nyaman, dan berkecukupan secara lestari. Untuk itu, tata ruang wilayah yang dapat memproteksi kawasan lindung (minimal 30% total luas wilayah) dan menempatkan segenap sektor (kegiatan) pembangunan pada lokasi yang secara biofisik sesuai, harus diimplementasikan dan ditegakkan di setiap negara.

Laju pemanfaatan SDA terbarukan (seperti hutan, perikanan, dan lahan pertanian) harus tidak melebihi kemampuan pulih dari SDA tersebut. Sementara eksploitasi SDA tidak terbarukan mesti dilakukan secara ramah lingkungan. Sebagian keuntungan ekonominya harus digunakan untuk menghasilkan bahan-bahan substitusi dan mengembangkan berbagai kegiatan ekonomi dan bisnis yang ramah lingkungan serta berkelanjutan.

Kita harus merehabilitasi semua ekosistem alam yang mengalami kerusakan. Pencemaran lingkungan juga harus dikendalikan. Kurangi penggunaan bahan bakar fosil (BBM dan batu bara),dan mulai sekarang beralih ke energi terbarukan seperti biofuel,panas bumi, energi air, energi surya, angin, pasang surut, gelombang laut, OTEC (ocean thermal energy conversion), dan hidrogen.

Kedua, kita harus menurunkan total permintaan manusia terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan, dengan cara mengendalikan jumlah penduduk dan menurunkan laju konsumsi (penggunaan) SDA serta pembuangan limbah per kapita. Menurut perhitungan Brown (2003) dan Bank Dunia (2011), dengan rata-rata GNP per kapita USD9.000 dan konsumsi energi per kapita 2.500 kg (kg of oil equivalent) (seperti kondisi Malaysia sekarang), jumlah maksimum penduduk dunia yang mampu ditopang oleh daya dukung planet bumi hanya sekitar 8 miliar orang.

Saat ini penduduk dunia telah mencapai 7 miliar jiwa, sedangkan konsumsi energi per kapita bangsa Indonesia baru sebesar 850 kg. Mengingat kesenjangan antara warga dunia yang kaya vs miskin kian melebar, dan sekitar 2 miliar penduduk dunia masih miskin, upaya penurunan laju penggunaan SDA dan pembuangan limbah per kapita harus dilakukan dengan cara menurunkan standar kehidupan (standard of living) orang-orang kaya.

Pada saat yang sama, kita punya kewajiban moral untuk memperbaiki kualitas hidup penduduk miskin melalui penyediaan lapangan kerja yang terhormat agar mereka mampu memenuhi kebutuhan dasarnya dan hidup sejahtera. Program pemerataan kesejahteraan tersebut hanya dapat diwujudkan bila perilaku individu dan masyarakat dunia yang selama ini didominasi oleh sifat konsumtif, materialistis, dan hedonistis ditransformasi menjadi pola hidup yang lebih sederhana.

Untuk transformasi perilaku manusia tersebut, tidaklah cukup hanya dilakukan melalui pendekatan teknologi,kelembagaan, hukum, dan ekonomi, tetapi juga harus dibarengi dengan pendekatan spiritual (keagamaan). Yang dimaksud dengan pendekatan keagamaan adalah seseorang harus yakin bahwa hidup sederhana, menolong mereka yang membutuhkan, berbagi kelebihan kepada sesama, dan tidak melakukan kerusakan di muka bumi ini merupakan amal saleh dan bagian dari ibadah kepada Allah SWT. Bagi mereka yang mengamalkannya, akan mendapat kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Sebaliknya, bagi mereka yang melanggar, akan hidup sengsara di dunia dan akhirat.

Optimalisasi Peran Indonesia

Di KTT Rio+20 Indonesia memiliki peluang sangat besar untuk menjadi trend setter, yang dapat meyakinkan dan mengajak seluruh kepala negara dan bangsa di dunia untuk menerapkan konsep ekonomi hijau dan biru (green and blue economy) seperti diuraikan di atas demi mewujudkan dunia yang lebih baik, sejahtera, dan berkelanjutan.

Indonesia dalam posisi untuk mendorong masyarakat dunia memperbaik sistem perdagangan bebas yang berkeadilan (free and fair trade), dan mendesak negara-negara maju untuk mentransfer teknologi, sumber daya keuangan, dan sumber daya sosial kepada negara-negara miskin. Hal itu supaya negara-negara miskin juga mampu mengimplementasikan green and blue economy guna meningkatkan kesejahteraan rakyatnya secara berkelanjutan.

Secara ekologis Indonesia merupakan negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia, dengan kekayaan keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia dan keanekaragaman hayati darat terbesar kedua di dunia.Artinya,keberlanjutan produksi bahan pangan, farmasi, dan SDA terbarukan lainnya sangat bergantung pada Indonesia.

Demikian juga halnya dengan fungsi laut dan hutan Indonesia yang sangat besar dalam menyerap karbon (carbon sink) yang sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya global warming. Ekosistem laut Indonesia sebagai pusat segi tiga terumbu karang dunia (the world’s coral triangle), dan pengendali dinamika iklim global, khususnya El-Nino dan La-Nina.

Secara sosial-ekonomi, Indonesia juga negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia yang memiliki potensi pasar domestik yang sangat besar pula. Indonesia merupakan anggota G-20 (kelompok negara-negara maju dan emerging economies) dengan GNP sebesar USD1 triliun, terbesar ke-16 di dunia.

 Kata kuncinya, agar Indonesia bisa mengajak seluruh kepala negara yang hadir dalam Rio+20 untuk melaksanakan green and blue economy, seperti ketika Presiden Soekarno berhasil membentuk gerakan nonblok dan Konferensi Asia- Afrika, kita sendiri harus memberikan teladan untuk mengimplementasikan green and blue economy di Tanah Air tercinta. ●