Kamis, 09 Agustus 2012

Papua: “Desperado”

Antie Solaiman, PENULIS DI PUSAT STUDI PAPUA UKI JAKARTA
Sumber : SINAR HARAPAN, 25 November 2011



Tiba-tiba pesan singkat masuk dari kawan di Lembah Wissel (Paniai), mengabarkan Brimob menembak lagi delapan warga di Kampung Degeuwo. Nama-nama mereka disebut jelas.
Warga di sekitar pendulangan emas sekarang meninggalkan lokasi, mengungsi. Degeuwo adalah kampung tambang emas. Ada dua hal yang sangat mendukakan hati, yakni dua kata ini: menembak dan lagi.

Logika mengarahkan kita pada kesimpulan: pertama, itu bukan kecelakaan (menembak!) dan kedua, itu adalah peristiwa yang ke sekian (lagi!). Penulis mengontak pejabat keamanan dan UP4B.

Ternyata mereka belum tahu peristiwa sadis pada Minggu itu. Di wilayah yang tenang itu, orang mengungsi bukan karena gempa, banjir, atau bom, tapi karena ada darah mengalir di kampung!

Kekerasan Tak Kunjung Usai

Dalam huruf China, “konflik” berarti bahaya dan kesempatan. Konflik memiliki dua sisi; negatif (bahaya) dan positif (kesempatan). Konflik adalah realitas yang kita hadapi dalam korelasi ekonomi, politik, dan budaya, dan berpeluang penuh untuk bertabrakan dalam perbedaan kepentingan.

Dari sisi positif, konflik adalah kesempatan: ia merupakan pintu menuju hadirnya kesadaran baru. Ada fase kehidupan baru yang masuk ke pertumbuhan kepribadian yang lebih sehat dan sejahtera.

Dalam perubahan sosial, politik, dan ekonomi, konflik berpotensial hadir. Jika konflik dikelola dengan bijak, sekalipun konflik itu bermuatan negatif, ia bisa diubah menjadi positif, yakni lahirnya sejumlah kesempatan.

Di Indonesia, konflik kebanyakan dimaknai negatif, sehingga dihindari berbagai pihak, baik individu maupun kelompok, bahkan aparat sendiri. Para analis membagi konflik dalam dua kelompok, vertikal dan horizontal.

Vertikal terjadi akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap cara-cara pemerintah menangani kesejahteraan, keamanan, dan lain-lain. Contoh konflik antara aparat keamanan atau pemerintah dengan massa dan mahasiswa yang masuk dalam kategori konflik vertikal adalah gerakan separatis, yakni kehendak memisahkan diri dari negara.

Konflik ini sebenarnya bermula dari tindak kekerasan (wakil) negara terhadap masyarakat di wilayah itu. Kemudian konflik makin mengakar sehingga berwujud menjadi separatisme.
Aceh dan Papua menjadi contoh, termasuk konflik antara negara dan masyarakat yang mengungkapkan protes dan ketidakpuasan terhadap institusi negara tanpa motif separatisme. Misalnya tragedi Wamena, Wasior, dan Paniai kemarin.

Konflik kekerasan juga dapat bersifat horizontal; antarsesama anggota masyarakat karena berbagai faktor; ekonomi, sosial budaya, politik, dan SARA. Konflik ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah yang tak adil. Sering ini disebut sebagai kekerasan komunal; kekerasan sosial antara dua atau lebih kelompok komunitas.

Di Papua kita melihat terlibatnya kekerasan terstruktur yang dilakukan pemerintah atau aparat negara terhadap warga. Konflik kekerasan terus berlanjut tanpa upaya penyelesaian secara damai.

Ini menyebabkan beberapa daerah konflik tetap menjadi daerah rawan konflik, seperti yang sekarang kita saksikan di Pegunungan Tengah (Puncak Jaya, Ilaga, Paniai) dan daerah perbatasan (Keerom, Arso).

Kekerasan aparat terhadap warga Papua selama puluhan tahun yang begitu masif dan tak pernah dipertanggungjawabkan telah menorehkan luka kolektif pada warga Papua.
Semua rentetan pembunuhan yang terjadi sejak Mei 2011 tak ada penjelasan. Bahkan Komnas HAM seperti takut-takut mengatakan apa yang sebenarnya ditemuinya (Konferensi Pers awal November). Nyata jelas bahwa ada pengerasan konflik; tak sekadar berlarut-larut, tapi seperti sudah membudaya.

Dalam pertemuan Agustus, Forum Akademisi untuk Papua mencatat rendahnya komitmen dan konsistensi pemerintah dalam hal otsus, regulasi-regulasi, dan penerapannya. Ini menyebabkan masyarakat makin rendah kepeduliannya. Mereka tiba pada apatisme. Dulu di Ambon ada yang dikenal sebagai the politics of neglect, rupanya ini juga sudah kita temui di Papua.

Persoalan Papua sudah berlapis: politik, ekonomi, matinya hukum, dan lain-lain. Ada banyak masalah yang menggerogoti tubuh Papua, seperti korupsi, penyelewengan wewenang, kepemimpinan yang lemah, dan tidak adanya kesatuan. Bahkan kemiskinan dan keterbelakangan menjadi faktor pemicu.

Tapi sebaliknya, kemiskinan dan marginalisasi bisa menjadi akibat. Selain itu, pembangunan di Papua telah gagal dilakukan pemerintah. Pendidikan, kesehatan, dan ekonomi orang Papua sangat rendah.

Padahal inilah dasar-dasar yang diperlukan untuk membuat manusia hidup tenang dan damai. Kebutuhan-kebutuhan dasar itu bersifat unnegotiable. Siapa pun yang memerintah Papua, ini harus dicatat menjadi nomor satu.

“Desperado”

Sampai saat ini, kekerasan (dan pembunuhan) terus berlangsung; aksi penggerebekan asrama mahasiswa Papua di Jakarta, Denpasar, dan Makassar oleh aparat keamanan (9 November), penembakan terhadap delapan warga di Paniai (13 November), penembakan mobil kontainer Freeport (16 November), dan entah apa lagi.

Banyak pihak mengecam, seperti Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Kontras, serta sejumlah LSM Peduli Papua seperti KNPB, Foker LSM Papua, KAMPAK, dan juga gereja (PGI dan KWI).

Kenyataan di atas membawa orang Papua pada keadaan desperado. Mereka putus asa. Seperti yang diteriakkan mereka dalam berbagai pertemuan, “Kami diam, dikejar dan dibunuh, lalu kami mati. Lebih baik kami melawan sekarang, meski harus mati.” Semua upaya yang mereka lakukan terasa buntu. Musuh sangat besar, yakni aparat keamanan atau “siluman” bersenjata.

Sementara ini keadaan di Papua sangat memprihatinkan. Warga ketakutan, tidak tahu siapa kawan dan siapa lawan. Takut ke luar rumah sendirian, takut “hilang” dan keluarga tidak tahu ke mana mencari. Polisi bukan lagi dirasa sebagai kawan.

Sesungguhnya kebebasan manusia adalah hal yang serba rumit. Karena kita dapat membeda-bedakan berbagai faktor dalam kebebasan, dan individu bergantung pada pengaruh dan kondisi, maka kebebasan sekaligus menjadi nilai yang paling lemah. Ia senantiasa terancam.

Artinya, dalam praktik selalu terjadi bahwa salah satu arti atau bentuk kebebasan diceraikan dari keseluruhannya, atau terlalu ditekankan, bahkan dimutlakkan. Orang dapat menekankan kebebasan satu aspek sedemikian berat sebelah, sehingga keharmonisan yang semestinya ada dirusak.

Dalam hal ini Papua terlalu banyak diberi “pengetatan” politik, sehingga negara menempuh kebijakan untuk tidak atau semakin mengurangi penyerahan kebebasan kepada warga. Sedikit ada “gerakan” direspons dengan pemeriksaan dan sweeping. Ini membuat warga hidup dalam ketakutan.

Memang dirasakan tidak adanya pemimpin yang tampil membela, yang berani pasang badan untuk warga. Tidak ada pemimpin yang bisa dipercaya untuk mengintegrasikan semua aspirasi warga. Sangat tragis, karena ketika ketakutan dan ketegangan itu muncul, Papua disiram dengan uang. ●

Ironi Kehidupan di Timika

ozep Ojong, DOKTER YANG BERTUGAS DI PAPUA SEJAK 1983, KINI MENETAP DI TIMIKA
Sumber : SINAR HARAPAN, 26 November 2011


Ketika seseorang berkata dia tinggal di Timika, yang pertama terlintas di benak penulis adalah Freeport.

Memang Kota Timika identik dengan Freeport, perusahaan Amerika Serikat yang mengelola tambang tembaga dan emas raksasa kaliber dunia, dan Timika memang timbul karena kehadiran perusahaan tersebut. Produk Domestik Bruto Kabupaten Mimika hampir seluruhnya (96 persen) bergantung dari Freeport.

Kehadiran perusahaan tersebut jelas tampak begitu mendarat di Bandara Internasional Mozes Kilangin, Timika. Sejumlah pesawat dan helikopter berlogo Airfast milik perusahaan itu tampak di landasan, siap menerbangkan para karyawan perusahaan ke berbagai penjuru di Nusantara saat cuti.

Kota tujuan itu bisa Manado, Ambon, Ujung Pandang, Denpasar, Surabaya, Solo, dan Jakarta, maupun sejumlah tujuan di pedalaman Papua, maupun Jayapura dan Biak.

Bandara tersebut dibangun dan dimiliki Freeport lengkap dengan prasarana dan sarana bandara internasional. Pesawat B 737 Garuda, Merpati yang menggunakan mesin jet maupun pesawat baling-baling milik Trigana, Susi Air, MAF, dan AMA, semua bergantung pada pengisian avtur milik Freeport.

Kantor Imigrasi, Kesehatan Pelabuhan, dan berbagai konter penerbangan dibangun Freeport. Di sebelah bandara pun hadir hotel berbintang yang dibangun Freeport.

Keluar dari kompleks bandara akan tampak banyak kendaraan bernomor lambung milik perusahaan, baik jenis LV Toyota, bus penumpang warna oranye, maupun trailer raksasa.
Bila menuju ke Kota Kuala Kencana, kota yang penghuninya para karyawan, kita akan melintasi jalan beraspal kualitas tinggi yang dibangun perusahaan. Dalam perjalanan ke Kuala Kencana akan terlihat kantor-kantor pemerintahan, perumahan DPR, kantor DPR, Gereja Katedral, rumah sakit modern bagi masyarakat, dan tangsi tentara dan polisi, yang sumber dananya tidak lepas dari peran perusahaan.

Praktis hampir seluruh hasil pembangunan di Timika ada kaitannya dengan Freeport. Pelabuhan Pomako, tempat bersandarnya kapal-kapal Pelni dan kapal barang dari Jawa, juga dibangun dengan bantuan dari perusahaan.

Memang Freeport telah hadir sejak 1969 di bumi Mimika, sebab itu logis bahwa berbagai aspek pelayanan umum sejak awal didukung perusahaan, seperti pelayanan kesehatan melalui puskesmas, pendidikan melalui sekolah, pelayanan pemerintah di kantor kecamatan beserta program transmigrasinya, maupun pembangunan gerejanya.

Awal Mula Timika

Awal 1980-an,Timika hanyalah kecamatan kecil dengan kelompok-kelompok permukiman. Orang Papua yang bermigrasi dari pegunungan menetap di Desa Kwamki Lama, sedangkan para pendatang menetap di pusat Kecamatan Timika, tempat mereka membangun rumah, toko, hotel, pasar, sekolah, puskesmas, tempat ibadah, dan sebagainya.

Saat itu tidak ada tata kota dalam membangun Timika. Beberapa kilometer dari kota kecamatan ada beberapa Satuan Permukiman (SP), tempat para transmigran yang didatangkan dari Jawa sejak awal 1980-an menetap, seperti SP1, SP2, SP3, dan SP4.
Waktu itu tidak ada yang menyangka kota kecamatan kecil berpenduduk hanya beberapa ratus orang di kemudian hari bisa menjadi daya tarik bagi puluhan ribu pendatang yang mengadu nasib mencari nafkah.

Saat itu para pendatang dalam memperoleh sepetak tanah ukuran 1.000 m2 hanya perlu bernegosiasi dengan tokoh adat untuk pelepasan hak ulayat tanah adat dengan membayar ala kadarnya, lalu sudah dapat mulai mematok batas tanahnya dan mulai membangun rumahnya.
Itulah uniknya Timika, kota yang timbul dalam kurun waktu singkat dari kota kecamatan berpenduduk sekian ratus pada awal 1980 dan mencapai 100.000 dalam kurun waktu 20 tahun. Gelombang migrasi terjadi beberapa kali.

Gelombang awal migrasi terjadi setelah gejolak kerusuhan di Papua tahun 1977 dengan eksodusnya orang suku Amungme dari pegunungan, kemudian dilanjut dengan para transmigran tahun 1980-an.

Migrasi besar kedua terjadi setelah ditetapkan Kabupaten Administratif Mimika 1996 dengan para pendatang dari Sulawesi, Flores, dan Kepulauan Kei bersama suku-suku Papua pegunungan lain, seperti suku Dani, suku Me, dan suku Damal.

Gelombang migrasi terbesar terjadi pada 2000-an bersamaan terjadi konflik di Ambon, lepasnya Timor Timur, dan pascakrisis moneter, yang sebagian besar datang berasal dari Jawa. Mereka tiba dengan pesawat udara maupun kapal laut. Dengan begitu, di Timika dapat ditemukan berbagai suku yang ada di Indonesia yang membaur dengan orang-orang Papua.
Tidak sampai lima tahun kemudian, seiring perkembangan pesatnya, kabupaten administratif ini ditingkatkan statusnya menjadi kabupaten definitf, jadi usia kabupaten Mimika hasil pemekaran dari Kabupaten Fakfak relatif masih muda dengan Timika sebagai kota utamanya.

Dampak Migrasi

Akibat pertumbuhan penduduk yang beratus-ratus persen, infrastruktur Kecamatan Timika kewalahan. Listrik yang sebelumnya hanya untuk beberapa ratus rumah tidak lagi memadai bagi kebutuhan kota kabupaten, demikian juga jaringan telepon, kunjungan puskesmas membeludak, daya tampung sekolah melebihi kapasitas, dan beban kerja di berbagai kantor pemerintah meningkat pesat.

Dampak pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi yang sebagian besar adalah para pencari kerja akhirnya mengakibatkan tingginya angka pengangguran, karena pada umumnya para pencari kerja ini tidak memiliki keterampilan.

Tukang ojek pun pekerjaan paling mudah selain prostitusi. Penyakit HIV yang sebelumnya tidak dikenal pada tahun sebelum 2000, kini menjadi tertinggi di Papua dan Indonesia.
Masuknya prostitusi diikuti ekses negatif lain, seperti bebasnya peredaran minuman keras, perjudian, dan narkoba. Pencurian makin marak terutama barang perusahaan baik yang berupa bahan makanan, alat-alat perkantoran, mesin-mesin perusahaan, maupun emas.

Di Timika dapat dengan mudah membeli barang-barang yang berasal dari perusahaan dengan harga miring. Hutan pun menjadi lahan uang baik karena tingginya permintaan kayu untuk perumahan. Uang dengan mudah diperoleh bagi yang jeli melihat peluang, berani menempuh segala risiko, dan dapat mengatur hukum.

Akibat tingginya peredaran uang, baik dari makin banyaknya keluarga karyawan yang menetap di Timika maupun dari berbagai bisnis yang timbul dengan kehadiran perusahaan, harga barang-barang menjadi mahal.

Akibat tidak terkejarnya kenaikan biaya hidup, semua bercita-cita menjadi karyawan perusahaan walau hanya sebagai petugas kebersihan. Sebagai ilustrasi, gaji petugas cleaning service di Freeport dapat mencapai Rp 10 juta sebulan.

Bisnis Emas

Sejak awal beroperasinya perusahaan ini, hasil tailing yang mengalir ke laut tidak pernah terpikir untuk didulang, namun dengan datangnya orang dari Jawa, profesi pendulang marak berkembang.

Awalnya, hanya orang Papua yang boleh mendulang, namun seiring dengan makin tingginya pengangguran di Timika, kini para pendatang pun mendulang di sepanjang kali yang mengalirkan sisa pembuangan pabrik Tembagapura yang terletak 100 kilometer ke hulu.

Hasilnya lumayan untuk ukuran penganggur, dapat mencapai 10 gram sehari bagi yang mahir. Pendulang kini menjadi primadona mata pencarian penganggur, dan bisa jadi jumlah pendulang kini sama jumlahnya dengan separuh para karyawan Freeport.

Bisnis toko-toko emas di Timika pun bertebaran untuk menampung emas-emas itu. Perputaran emas di Timika dapat mencapai 10 kg sehari di toko-toko emas bila jumlah pendulang sebanyak itu.

Kini perusahaan ini bukan saja menjadi tempat pemberi kerja bagi mereka yang ahli dan terampil, namun juga bagi mereka yang tidak terampil. Merekalah yang menggerakkan roda kehidupkan Kota Timika dan Kabupaten Mimika.

Timika bagaikan gula yang menjadi daya tarik bagi semut-semut dari seluruh Nusantara. Kini, bisa jadi penduduk Timika sudah melebihi sensus resmi kependudukan yang mencapai 200.000 jiwa.

Sisi Ironis

Namun gemerlapan uang yang beredar di Timika hanya bagai kilauan bagi para pegawai negeri, transmigran, tukang ojek, dan orang Papua yang termarginalkan.

Para petani di permukiman transmigrasi akhirnya tergoda meninggalkan mata pencarian mereka karena hasil perolehan pekerjaan lain lebih menjanjikan. Bidang pertanian dan perkebunan menjadi tidak menarik lagi. Terjadilah kenaikan harga sayur-mayur.

Tingginya biaya kehidupan menyebabkan para PNS juga terpaksa mencari pekerjaan tambahan yang berakibat tidak optimalnya roda pemerintahan. Orang Papua menjadi termarginalkan dan terjadilah potensi gejolak konflik sosial yang menjelaskan mengapa di Timika sering terjadi berbagai konflik kepentingan.

Para pendatang baru yang tidak mempunyai tabungan akan hidup dalam kemiskinan, dan para karyawan tempat-tempat usaha kecil dan toko-toko setempat harus hidup ala kadarnya.
Namun dari segi Pendapatan Asli Daerah untuk Mimika dan Papua, baik dari retribusi, royalti, maupun pajak sangat meningkat pesat. Kabupaten Mimika kini menjadi kabupaten terkaya di Papua.

Kini dengan adanya pemogokan karyawan yang berakibat pada terhentinya produksi tambang praktis segala aspek kehidupan Timika mulai redup, dan ini juga berdampak pada perekonomian di Papua. ●

Bukan “Centeng Freeport”

Febridiansyah, PENELITI ICW
Sumber : KOMPAS, 21 November 2011


Kemelut masih terjadi di Papua. Sebuah afiliasi perusahaan tambang internasional yang berkantor pusat di Phoenix, Arizona, AS, sedang menuai masalah yang tidak kecil. Salah satunya tentang dana keamanan Freeport yang diberikan kepada aparat Indonesia.
Setelah pada tahun 2005 Global Witness dan (almarhum) Munir dari Kontras pernah mempersoalkan dana untuk ”ten - tara Freeport” tersebut, sekarang persoalan itu muncul kembali.

Polri mengakui adanya dana keamanan dari Freeport. Pihak perusahaan tak membantah. Bahkan, Mabes Polri mengatakan dana tersebut sah secara hukum, tak akan berhenti menerima meski dikritik banyak pihak. Di sisi lain, Komnas HAM tegas mengatakan, dana itu ilegal. Di Amerika, United Steelworkers mengirimkan surat ke Fraud Section di Departemen Kehakiman AS agar memeriksa apakah dana ini merupakan korupsi seperti diatur dalam US Foreign Corrupt Practices Act. Bagaimana kita membaca fakta-fakta ini?

Obyek Vital

Jika dicermati, kita bisa menemukan sejumlah kejanggalan. Dalam jawaban resmi Polda Papua kepada Kontras dikatakan bahwa ada 635 personel keamanan ditugaskan untuk pengamanan obyek vital (Freeport). Untuk pengamanan tersebut ada kontribusi perusahaan Rp 1.250.000 per orang per bulan. Jika dihitung, selama satu tahun satgas pengamanan tersebut menerima Rp 9,525 miliar.

Bandingkan dengan catatan Laporan Keuangan Freeport yang tak dibantah oleh Polri. Ada alokasi dana keamanan 14 juta dollar AS atau sekitar Rp 126 miliar pada tahun 2010. Dikatakan, Polri siap diaudit dan terbuka untuk penggunaan dana tersebut dan dana itu secara riil langsung diberikan kepada anggota di lapangan.

Benarkah? Jika dicermati, ternyata dana yang diterima secara langsung oleh anggota Polri dan TNI di lapangan hanya 7, 56 persen. Masih ada selisih lebih dari Rp 116 miliar. Ke mana dan siapa penikmat dana 92,44 persen lainnya?

Polri bisa saja menjawab bahwa dana itu juga digunakan untuk kepentingan lain. Akan tetapi, sistem keuangan kita menghendaki sebuah mekanisme penerimaan dan pertanggungjawaban lebih rinci dan terbuka. Di titik inilah penggunaan dana tersebut harus diperiksa instansi yang berwenang, seperti BPK atau BPKP. Setelah mengurai kejanggalan dari aspek aliran dana, pertanyaan paling serius sebenarnya adalah: apakah dana keamanan tersebut sah? Polri mengatakan sah, menggunakan Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional. Mereka akan terus menerima dana dari Freeport selama belum ada keppres baru. Logika yang menurut saya harus dikoreksi. Kenapa?

Benar bahwa keppres yang diturunkan pada Keputusan Menteri ESDM Nomor 1762K Tahun 2007 menyebutkan ada 126 obyek vital nasional di Kementerian ESDM. Namun, aturan ini tak bisa jadi dasar bagi institusi mana pun memungut atau menerima dana di luar ketentuan keuangan negara. Bayangkan jika setiap departemen atau lembaga negara bisa memungut uang di semua obyek vital pada semua departemen, lalu dana itu tak dipertanggungjawabkan dengan mekanisme audit atau mekanisme keuangan negara yang ada. Jika itu terjadi, ini adalah lubang besar yang potensial korup. Ingat, sejumlah kasus korupsi sudah diproses secara hukum terkait dana-dana nonbudgeter yang dikelola oleh lembaga negara.

Pasal 4 Ayat (2) Keppres No 63/2004 justru mewajibkan Polri memberikan bantuan keamanan. Kenapa tertuju pada obyek vital? Pasal 2 keppres ini menyebut karena obyek vital tersebut punya arti penting bagi kebutuhan masyarakat, pemerintahan, dan bahkan kemanusiaan atau kepentingan umum. Untuk itulah Polri ditugaskan melakukan pengamanan. Hal ini pun sesuai dengan UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dana Centeng?

Banyak pihak menyoroti aspek independensi Polri jika menerima dana dari perusahaan. Itu benar, tetapi ada persoalan yang lebih mendasar: apakah boleh institusi negara menerima dan memungut uang dari masyarakat atau swasta di luar mekanisme keuangan negara? Tidak! Pasal 23A UUD 1945 melarang adanya pajak atau pungutan kecuali diatur dengan undang- undang. Kenapa undang-undang? Karena di sana ada keterlibatan rakyat melalui DPR untuk menentukan pungutan yang akan membebani mereka. Namun, argumen ini akan dibantah: bukankah dana dari Freeport itu sumbangan sukarela? Mari bertanya, jika Freeport tak memberikan dana 14 juta dollar AS, apakah akan diturunkan 635 aparat untuk mengamankan Freeport?

Aturan tentang penerimaan dana di luar pajak itu bisa kita lihat dalam UU No 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Di kepolisian sendiri, tarif dan jenis PNBP ini diatur rinci dan terbatas dalam PP No 31/2004. Polri hanya bisa menerima PNBP dari tujuh sumber, yaitu SIM, STNK, tes klinik mengemudi, BPKB, STCK, TNKB, dan izin senjata api.
Tak ada aturan Polri boleh menerima dana dari jasa pengamanan obyek vital, apalagi masyarakat tidak pernah tahu penggunaan dana tersebut secara rinci dan apakah dana itu disetor ke kas negara.

Hal-hal seperti ini sangat sensitif dan rawan korupsi. Tak bisa dibayangkan jika institusi negara tanpa dasar hukum yang kuat memungut atau menerima dana. Dari aspek PNBP sebenarnya juga dimungkinkan adanya penerimaan dalam bentuk hibah dari pemerintah dan swasta dalam atau luar negeri. Hal ini diatur dalam Pasal 2 Huruf (f) UU PNBP. Namun, dana-dana tersebut wajib disetor ke kas negara dan seluruhnya dikelola dengan sistem APBN (Pasal 3 dan 4 UU PNBP). Apakah mekanisme dana keamanan dari Freeport sudah memenuhi aturan tersebut? Tidak!

Selain dari aspek PNBP, kita perlu menganalisis dari aspek gratifikasi yang diatur dalam UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi. Menarik ketika dalam buku saku KPK Memahami Gratifikasi disebutkan: gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas. Memang tak semua gratifikasi bisa dipidana, tetapi pada contoh keenam, KPK menegaskan, jika ada pemberian hibah dari BUMN atau swasta terhadap Polri, kejaksaan, atau instansi pemerintah lainnya, dana tersebut tidak bisa langsung diterima, tetapi harus dilaporkan ke KPK agar ditetapkan sebagai milik negara dan kemudian disalurkan dan digunakan melalui persetujuan Menteri Keuangan.

Persoalan ini tidak boleh mengambang karena potensi korupsinya sangat tinggi. Presiden sebagai pemimpin di eksekutif tidak bisa lepas tanggung jawab terhadap fenomena ini. Pertanggungjawaban secara administrasi keuangan dan hukum juga harus dilakukan. Selain itu, jika memang ada persoalan kekurangan anggaran, hal ini pun harus diselesaikan. Aparat keamanan kita jelas bukan ”centeng Freeport” atau perusahaan mana pun. ●

"Fairport", Bukan Freeport

Effendi Gazali, PENELITI KOMUNIKASI POLITIK
Sumber : KOMPAS, 15 November 2011


Tiba-tiba Presiden SBY menyatakan, ada pihak-pihak yang tak waras. Entah kepada siapa pernyataan itu ditujukan. Saya menonton langsung siarannya di TVRI. Situs Presiden pun mengutip pernyataan Pak Beye di sela-sela arahan untuk rapat terbatas membahas Papua di Kantor Presiden (9/11/2011).

Lengkapnya, Pak Beye menyebut tidak waras kalau ada yang menuduh pertemuannya dengan Sri Mulyani sebagai ”Konspirasi Century”. Juga kedatangannya ke acara HUT Golkar yang dianggap sebagai ”Konspirasi Lapindo”. Ia pun membandingkan ”ketidakwarasan” pihak yang mengkritik atau menuduhnya dengan ”kewarasan” pihak luar negeri yang justru mengapresiasi apa yang sudah dilakukan pemerintah.

Fenomena komunikasi politik waras dan tak waras ini jadi menarik karena beberapa pertimbangan. Pertama, ini ungkapan yang terasa tegas dan keras dari Pak Beye. Jika dianalogikan pada zaman Pak Harto, kira-kira ungkapannya seperti: ”Tak gebuk!”

Kedua, rapat terbatas di Kantor Presiden itu sebetulnya dikhususkan untuk membahas Papua; tetapi yang terdengar nyaring keluar adalah bantahan defensif soal Bank Century dan Lapindo. Ini pun sebuah sinyal bahwa pemerintah tidak fokus pada persoalan Papua.

Ia dengan gampang tergeser oleh sesuatu yang dianggap lebih ”panas”. Akibatnya, kewarasan atau ketidakwarasan cenderung dipertarungkan pada isu-isu lain, bukan pada substansi Papua itu sendiri!

Ketiga, rupanya dalam komunikasi politik, pemimpin di Indonesia sering sekali dipertentangkan antara kewarasan pihak di antara rakyat Indonesia dan pihak di luar negeri. Perbandingan ini dibuat begitu linier seakan kedua pihak memiliki kepentingan yang persis sama terhadap tanah dan air Indonesia.

”The Other”

Dari poin-poin di atas, tampak kesan bahwa Papua diposisikan oleh pemerintah kita sebagai ”the other”. Katakanlah semacam fenomena ”bukan (persis) saya atau kita”. Walhasil, mereka tidak fokus ke sana. Dengan begitu, tentulah tak bisa merasakan persis dukanya (kalau memetik sukanya mungkin ada). Namun, ini tidak hanya eksklusif untuk elite politik. Untung ada rekan-rekan dari Walhi, Jaringan Advokasi Tambang, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), serta pemerhati HAM lain. Namun, untuk—ambil contoh—sebagian aktivis mahasiswa, tema ini masih relatif bagaikan isu ”the other”.

Kewarasan aneka pihak tentang ”the other” ini juga jauh berbeda! Beberapa sumber menghitung, kurun waktu 1967-2010 (43 tahun), penambangan Freeport sudah menghasilkan 7,3 juta ton tembaga plus 724,7 juta ton emas. Hitung-hitungan mereka menyebutkan, setiap tahun, Freeport mendulang hasil penjualan Rp 8.426,744 triliun. Setelah dipotong bermacam-macam biaya, hasil bersih sekitar Rp 8.000 triliun per tahun. Bandingkan dengan volume APBN kita (Rp 1.202 triliun).

Nah, berapa yang diperoleh Indonesia? Salah satu sumber adalah Hatta Taliwang, mantan anggota DPR yang rajin mengumpulkan data untuk kewarasan rakyat versinya. Menurut Taliwang, Indonesia hanya mendapat sekitar 1 persen atau Rp 80 triliun per tahun. Sebagian media bahkan memperkirakan Rp 15 triliun-Rp 20 triliun setiap tahun.

Saya tak mengatakan sumber ini yang benar. Pasti segera akan ada yang menyebut perhitungan nan beredar luas di media sosial tersebut naif. Situs Freeport, misalnya, menyatakan, sejak dimulainya kontrak yang berlaku saat ini dengan pemerintah pada 1992, manfaat langsung bagi Indonesia seluruhnya mencapai lebih dari 8 miliar dollar AS. Kontribusi tak langsung, antara lain, berupa investasi senilai lebih kurang 6 miliar dollar AS pada berbagai proyek. Di luar itu, ada pembelian barang dan jasa dalam negeri serta dana kemitraan. Belum lagi dana untuk kepolisian yang belakangan bikin heboh.

Persoalan utamanya, jika reduction of uncertainties menjadi salah satu prinsip utama komunikasi politik, siapakah yang pernah jadi mediator independen dari perbedaan kewarasan ini? Jika belum ada, kewarasan versi saya (sebagai contoh) membayangkan seharusnya Papua itu sudah tumbuh begitu rupa sehingga saat kita mendarat di sana kita seperti menyaksikan emirat bernama Abu Dhabi! Inilah kewarasan yang amat mungkin didukung oleh kewarasan rakyat biasa lainnya. Masih banyak kewarasan lain yang terlihat bertentangan tajam. Pemerintahan Pak Beye sering menyatakan, hanya terjadi pelanggaran HAM kecil di Papua. Sementara Kontras punya data tentang pelanggaran-pelanggaran serius berbasis pada laporan (kewarasan) warga. Koordinator Kontras Usman Hamid dengan tegas menyatakan, mereka juga mencatat dan bersuara sekalipun yang jadi korban adalah aparat.

”Fairport”

Sekarang ini mengerucut soal kewarasan domestik dan luar negeri. Jelang terpilihnya Obama, November 2008, dalam berbagai diskusi di Indonesia ataupun di AS, saya terus mengilik soal Papua dan Freeport. Untuk Indonesia, setidaknya isu ini bisa jadi indikator untuk membuktikan apakah Obama memang lebih hebat (baik) dari Bush Junior. Tak mungkin Obama tak tahu soal kewarasan yang berbeda-beda ini. Faktanya, saat Obama datang ke Indonesia, tidak nyaring kita dengar kata-kata ”Papua” (di luar kata-kata pulang kampung, sate, bakso, dan lainnya).

Yang lebih substansial justru apa yang disampaikan Richard Greene, penulis buku Words that Shook the World. Ia datang pada saat yang sama dengan Obama dan memberikan kuliah umum ”Komunikasi Politik Seorang Pemimpin” (9/11/10). Greene tuntas menyatakan, ”Poin utama dalam komunikasi politik adalah kejujuran dan ketulusan. Tanpa itu, politisi hanya akan dipandang sebagai manipulator.” Untuk aneka kasus yang berat, ia memberikan tips mengedepankan keterbukaan tentang beratnya hal tersebut dengan tidak melebih-lebihkan dan tidak memiliki agenda manipulatif. Terhadap krisis Papua—menurut hemat saya—jangankan pemimpin Indonesia, Obama pun mungkin belum pernah menjalankan tips ini.

Berangkat dari pemikiran Richard Greene, sebagian pencinta makna mungkin mulai berharap posisi Freeport di Papua seharusnya berganti menjadi ”Fair- port”. Keadilan dan kejujuranlah yang harus jadi referensi menentukan sebesar-besarnya manfaat alam tersebut untuk (sesuai dengan kewarasan) rakyat Papua, bangsa Indonesia, pemimpin Indonesia, para pemilik perusahaan tambang, sampai ke Obama Sang Penerima Nobel Perdamaian!

Akhirnya, mungkin bangsa ini boleh bermimpi tentang sebuah isyarat, misalnya pada peringatan kemerdekaan RI di Istana. Jika kita sayang Papua, selain lagu-lagu wajib dan tambahan lagu-lagu Pak Beye, semestinya sudah lama ada lagu pendamping tentang Papua. Bayangkan kalau warga Papua mendengarkan di akhir acara yang sakral tersebut mengalun syair seperti (lagu ”Aku Papua” Franky Sahilatua), Tanah Papua, tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi. Seluas tanah, sebanyak batu, adalah harta harapan.

Pasal 33, Freeport, dan Papua

Sri-Edi Swasono, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI UI
Sumber : SINDO, 1 Januari 2012


Dasar hukum penanaman modal asing di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967.

Pada 1968, mahasiswa Indonesia di AS yang tergabung dalam Permias dan dike- tuai Tony Agus Ardie menyambut positif UU No 1/1967. Bekerja sama dengan KBRI di Washington DC dan Konsulat Jenderal RI di San Francisco, Permias mengadakan seminar ”Investment in Indonesia” untuk mendorong pengusaha AS berinvestasi di Indonesia. Selaku Ketua Permias Cabang Pittsburgh, saya menolak hadir. Merasa tak sreg. Insting saya: UU ini awal kembalinya kapitalisme asing di Indonesia.

Mengapa UU No 1/1967 diteken Presiden Soekarno, yang sebelumnya meneriakkan go to hell with your aid kepada kapitalis-imperialis Barat, bahkan keluar dari keanggotaan di PBB?

Barangkali Presiden Soekarno ditekan atau mungkin kompromistis karena Pasal 4, 5, dan 6 UU No 1/1967 masih menegaskan bidang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak (Pasal 33 UUD 1945), yang secara eksplisit dinyatakan tertutup bagi modal asing, yaitu pelabuhan; produksi, transmisi, dan distribusi listrik untuk umum, telekomunikasi; pelayaran; penerbangan; air minum; kereta api umum; tenaga atom; dan media massa.

Kemudian terbukti UU No 1/1967 menjadi awal dominasi asing, ”dikasih hati, minta ampela pula”. Sejak 1982 merebak peraturan perundang-undangan deregulasi ekonomi yang samar-samar melanggar Pasal 33 UUD 1945.

Selanjutnya PP No 20/1994 mulai terang-terangan membabat nasionalisme ekonomi yang masih dipangku UU No 1/1967. Porsi pemilikan saham Indonesia dicukupkan 5 persen dalam berpatungan dengan investor asing. Indonesia sejak itu jadi lahan eksploitasi perusahaan asing.

Dan, 40 tahun kemudian, Tony Agus Ardie selaku tokoh Kadin dan Hippi menolak RUU yang menyetarakan investor asing dengan investor nasional. Kesetaraan sok imparsial ini justru diskriminatif terhadap anak-negeri yang masih lemah. RUU itu jadi UU No 25/2007 yang menggelar karpet merah buat investasi asing.

Catatan pribadi saya kepada Tony Agus Ardie dan almarhum Hartojo Wignjowijoto tentang kehadiran Presiden Obama di Kampus UI tahun lalu, ”Bung, meski saya tak bilang mereka mirip inlander, kalian dan saya boleh heran, ketika Presiden Obama mengawali uluk salamnya ’Pulang kampung nih’, kok mereka berlebihan bersorak-sorai kegirangan. Namun, tak semua ramah murah macam itu. Ada sekelompok mahasiswa menyiapkan spanduk bertuliskan ’Please no double standard Mr Obama, your Freeport destroys our environment’. Ini sopan dan intelektual.”

Kelengahan Ideologis

Derasnya investasi asing ke Indonesia memang problematik. Dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945, UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara tak sekadar mewajibkan para investor asing dalam pertambangan mineral merenegosiasi kontrak kerja, tetapi juga wajib melaksanakan perintah UU. UU No 4/2009 menyebutkan enam isu strategis: luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara, kewajiban divestasi, kewajiban pengolahan dan pemurnian, serta kewajiban penggunaan barang dan jasa dalam negeri.

Kontrak kerja generasi I tahun 1967 dengan PT Freeport Indonesia (FI) diperbarui dengan kontrak kerja generasi II pada 1991. Namun, pembaruan tak optimal keuntungannya bagi Indonesia. Kita lengah melulu. UU No 4/2009 mengamanatkan perlunya negosiasi ulang kontrak semua perusahaan tambang asing.

Saham PT FI 90,64 persen dikuasai Freeport McMoran Copper and Gold dan 9,36 persen dikuasai Pemerintah Indonesia. Terkait UU No 4/2009, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada akhir September 2011 mengakui 65 persen dari 118 perusahaan tambang setuju dan 35 persen masih dalam tahap negosiasi, salah satunya PT FI yang terang-terangan ogah-ogahan. Bahkan diberitakan, Direktur PT FI Armado Mahler dan Juru Bicara PT FI Ramdani Sirait menegaskan tak ada yang salah dalam kontrak kerja: sudah cukup adil bagi sesama pihak.

Kelengahan ideologis DPR dan pemerintah sebagai pembuat UU plus rakusnya imperialisme korporasi PT FI, sebagai wujud baru kolonialisme Eropa abad-abad lalu, tak saja telah mengakibatkan tak ber- akhirnya kepedihan hidup dan ”keterting- galan” saudara-saudara kita di Papua, tetapi juga merupakan pembiaran atas compang-campingnya kedaulatan negara.

Mestinya pemerintah malu telah lalai menyejahterakan rakyat sendiri di sekitar lokasi pertambangan PT FI di Pegunungan Ertsberg dan Grasberg yang superkaya logam mulia. Tindakan ekstraordinari penyejahteraan dan pembahagiaan rakyat Papua harus segera dibuktikan hasilnya. Kekerasan terhadap rakyat Papua harus distop. Salah asuhkah aparat kita yang semena-mena melakukan kekerasan terhadap rakyat demi apa dan demi siapa? SBY jadi sangat tak populer karena kelakuan aparat dan pembiaran seperti ini.

Teringat pada pertemuan saya dengan PM Xanana Gusmao pada 2010 di pesang- grahannya, saya menasihatinya mengemban doktrin kemerdekaan nasional agar benar-benar menjadi master (tuan) di negeri sendiri. Jawabnya, ”Tentu, jangan kita sekadar menjadi master of ceremony.”

Ia benar. Jangan kita hanya mengantar tuan-tuan asing duduk di kursi VIP, mengedarkan daftar hidangan, mengobral SDA, dan menyilakan memilih hutan mana, tambang apa, lahan di mana, serta infrastruktur apa. Korupsi telah menyebar ke segala tingkat birokrasi pusat dan daerah. Artinya, rezim merampok negara.

Meningkatkan Pemilikan Saham

Negosiasi ulang kontrak kerja harus berdasarkan Pasal 33 UUD 1945. Kita tak anti-asing. Kita batasi investasi asing agar tak mendominasi ekonomi nasional. Arah negosiasi ulang adalah meningkatkan bertahap pemilikan saham untuk cabang produksi yang penting bagi negara: minimal Indonesia 51 persen. Jadi, idiom ”dikuasai oleh negara” akan mangkus terwujud.

Jangka waktu kontrak kerja dipendekkan, mengakhiri model konsesi, lalu mengubahnya menjadi kontrak bagi hasil. Selama kontrak kerja berjalan, royalti ditingkatkan dua kali lipat. Peran menentukan manajer Indonesia ditingkatkan. Pengelolaan perusahaan dan proses produksi harus transparan.

Mahkamah Konstitusi perlu lebih memahami roh dan misi kemerdekaan Indonesia. Konstitusi tak sekadar rentetan kata-kata. Kecanggihan jangan tereduksi sikap the King can do wrong. Komisi Hukum Nasional harus proaktif nasionalistis. Demikian pula ISEI: tak berpang- ku tangan jadi organisasi yang terkesan abai terhadap imperativisme ekonomi konstitusi. Jangan sampai ISEI memilih berpedoman pada silabus ruang kelas yang penuh dengan hegemoni akademis. ●

Monster Pertambangan

Ferdy Hasiman, PENELITI DI INDONESIA TODAY
Sumber : KOMPAS, 5 Januari 2012


Korporasi berwajah tambang mendapat penolakan masif warga lingkar tambang. Penolakan masif itu terjadi di NTT, Papua, dan Kalimantan. Terakhir adalah penolakan warga Bima, NTB, terhadap tambang emas PT Sumber Mineral Nusantara.

Dengan demikian, gerakan antitambang sebenarnya hampir terjadi di seluruh Indonesia. Pemicu penolakan tersebut adalah konflik pengelolaan sumber daya alam yang diberikan secara serampangan pemerintah daerah.

Lebih dari itu, resistensi terjadi lantaran warga tidak pernah mendapat pemahaman sempurna berupa sosialisasi seputar baik buruknya sektor pertambangan. Protes warga muncul ketika mesin-mesin raksasa menggerus hak ulayat masyarakat adat, alam dirusak, tanah pertanian dan hutan lindung disabotase hanya untuk pertambangan.

Kematian warga sekitar tambang (seperti di Bima) semakin mendaulatkan korporasi bak monster raksasa menakutkan. Korporasi-korporasi itu ingin mengamputasi individu dari tubuh organis, membiarkan warga hidup di luar kandungan ibu, dan melemparkan mereka ke dunia penuh bahaya.

Warga tak layak lagi bangga atas tanah mereka. Budaya dan kearifan lokal tidak pernah diperhitungkan dalam kontrak pertambangan, kecuali soal laba eksploitasi tambang.

Dalam konteks ini, penolakan investasi pertambangan merupakan renungan yang menyentuh eksistensi hidup manusia. Hidup bukan untuk hari ini saja, melainkan merentang ke masa depan. Hidup tidak hanya berlangsung di atas gelimang kemewahan bahan tambang yang hanya dinikmati segelintir manusia, tetapi terkait keberlanjutan generasi.

Sayangnya, gerakan warga lokal selalu lumpuh berhadapan dengan korporasi yang sejauh ini selalu keluar sebagai pemenang karena memiliki akses terhadap kekuasaan.

Ironis, memang! Aparat yang sejatinya menjadi pelindung warga berubah menjadi pemangsa. Warga lokal yang ingin dilindungi hak sipil, politik, dan ekonomi, sosial, dan budaya melalui penerapan otonomi daerah mulai tergusur dari pembangunan.

Padahal, otonomi daerah didesain agar kearifan lokal bisa digarap. Untuk itu pulalah pemda diberi wewenang mengurus administrasi dan keuangan daerah secara mandiri. Namun, otonomi daerah sudah diserahkan kepada pemimpin-pemimpin yang kerdil, miskin visi pemberdayaan, tidak memiliki kebijakan politik, dan tidak punya keterampilan manajerial untuk mengelola keuangan daerah.

Dengan dalih menambah penerimaan daerah dan lapangan kerja, pemda bagaikan mabuk tambang dan menyerahkan aset daerah kepada investor tambang. Apalagi pasca-pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, wewenang pemberian izin pertambangan ada di tangan pemda.

Tak heran banyak pengusaha raksasa membuat ”kesepakatan gelap” dengan pemda.
Menyembunyikan ideologi

Ironisnya, para penguasa di daerah dan investor tambang datang dengan janji-janji kesejahteraan. Ideologi kekuasaan yang bercokol di baliknya disembunyikan.

Di hadapan rakyat, mereka mengatakan, tanpa kehadiran perusahaan-perusahaan tambang, kekayaan alam yang ada dibiarkan tidak berguna. Padahal, pemberian izin konsesi menabrak semua rambu-rambu dan aturan hukum yang berlaku.

Di tengah sistem politik uang sekarang ini, politisi harus memberi karpet merah kepada pemodal. Politisi ingin mempertahankan kekuasaan, sementara korporasi ingin mengakumulasi modal. Pemda yang lapar investasi dengan mudah menyerahkan kedaulatan ekonomi daerahnya ke tangan pemodal.

Di tangan pemodal, kehormatan bangsa tergerus. Pancasila dan UUD 1945 tak lagi dijadikan pijakan untuk mengangkat kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat tidak lagi menjadi urusan pemerintah, tetapi sudah diserahkan ke tangan sistem pasar.

Liberalisasi pasar membawa ekses negatif secara ekonomi, sosial, dan politik. Dari segi upah, misalnya, perusahaan tambang kerap mengeksploitasi pekerjanya dengan gaji subsisten.

Ambil contoh kasus pertambangan di NTT. Upah buruh tambang di daerah itu hanya Rp 25.000 (pekerja wanita ) dan Rp 30.000 (pekerja pria ) per hari.

Mereka hidup tanpa jaminan kesehatan. Dengan kondisi kerja buruh pertambangan yang begitu keras, bukan tak mungkin membuat mereka jatuh sakit dan harus menanggung biaya pengobatan rumah sakit yang melambung tinggi.

Selain itu, kegiatan pertambangan menyebabkan penggundulan hutan, pencemaran sungai dan air tanah, mendangkalnya sungai dan penampungan air. Itu sebabnya mengapa kehadiran korporasi pertambangan ditolak warga. Meskipun demikian, mengapa gairah mengejar keuntungan korporasi pertambangan tak pernah surut?

Jawabannya adalah karena korporasi pertambangan kerap mengirimkan uang suap agar pemda memberi izin konsesi dengan mudah. Buktinya, ada 4.504 dari total 8.475 izin usaha tambang yang diterbitkan pemda dinyatakan ilegal.

Mata rantai korupsi pun sangat panjang, mulai dari mulut tambang, aktivitas eksplorasi dan pelabuhan, sampai pada negara pengekspor. Dari mata rantai tersebut, sudah bisa ditebak berapa institusi publik yang terkena dampak korupsi korporasi pertambangan.

Akibatnya, demokrasi di tingkat lokal memang kelihatan berjalan, tetapi demokrasi yang mengabdi pada kepentingan pebisnis. Demokrasi akhirnya bukan lagi rakyat yang berdaulat, melainkan para pemodal. Demokrasi bukan lagi terkait penegakan hukum, melainkan hukum pasar yang praktis mendikte praktik demokrasi.

Bangun komunitas lokal

Tambang tak bisa mengangkat kesejahteraan rakyat. Kematian warga di Bima perlu dibaca sebagai sikap kemartiran melawan keangkuhan korporasi yang memarjinalkan.
Darah korban sebagai tuntutan untuk memanggil kembali pemerintah, menegakkan hukum, reformasi pertanahan, dan mendesain kembali otonomi daerah. Otonomi daerah harus dikembalikan pada raison d’etre-nya, membangun dan memberdayakan komunitas lokal.

Komposisi terbesar penduduk Indonesia berada di komunitas desa. Untuk itu, pemerintah perlu membangun komunitas desa, mulai dari penyediaan prasarana penunjang, seperti transportasi agar rakyat mudah ke pasar. Setelah itu, pemerintah perlu menggerakkan sektor mikro agar mampu menampung pekerja dalam spektrum amat luas dan mengurangi eksodus masyarakat desa ke kota atau menjadi buruh kasar di negeri tetangga.

Kesempatan kerja akan berfokus pada sektor pertanian, industri pengelolaan manufaktur, dan industri kerajinan rakyat lainnya.

Agar industri kecil tumbuh, pemerintah perlu bekerja sama dengan sektor perbankan agar rakyat memiliki akses ke bank. Mekarnya industri kecil akan membantu pemerintah menutup defisit karena dari industri-industri itu pemerintah dapat memungut pajak menurut skala besar-kecilnya usaha. Pajak pendapatan rakyat dapat membantu pemerintah mengurangi utang luar negeri yang bertumpuk itu. ●

Ironi Papua: Kaya tetapi Menderita

LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
Ironi Papua: Kaya tetapi Menderita
Sumber : KOMPAS, 16 Desember 2011


Selama 40 tahun hidup bersama ternyata tidak menjamin ikatan akan terjalin sedemikian intim. Tak hanya perkara konflik berkepanjangan, stigma separatis yang susah hilang—mirip cap PKI zaman Orde Baru—tetapi juga belenggu saling tak percaya antara Jakarta dan Papua terus memasung masing-masing dalam kecurigaan.

Dalam ruang sosial-politik, kekerasan dan pelanggaran HAM terus terjadi hingga pengujung 2011. Korbannya tak hanya warga sipil, tetapi juga aparat keamanan. Ruang tahanan dan penjara terus terisi oleh mereka yang dikenai pasal makar. ”Sesuatu yang aneh ini terjadi di negara demokratis seperti Indonesia,” kata Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim. Kondisi itu berbalut erat dengan kondisi sosial-ekonomi dan budaya masyarakat Papua yang tak berbanding lurus dengan alamnya yang kaya raya.

Data PT Freeport Indonesia menunjukkan, total cadangan terbukti untuk tahun pelaporan sampai 31 Desember 2010 adalah 2,57 miliar ton batuan mineral dengan kadar rata-rata dari cadangan itu adalah 0,98 persen tembaga, lalu 0,83 gram per ton emas, dan 4,11 gram per ton perak. Dari kinerja perusahaan itu, pada semester pertama 2011, kewajiban berupa pajak yang dibayarkan perusahaan itu mencapai 1,4 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 11,7 triliun.

Jika dihitung sejak kontrak karya 1992, hingga Juni 2011 perusahaan tambang itu telah membayar kewajiban mereka dalam bentuk pajak, royalti dan dividen masing-masing 12,8 miliar dollar AS, 1,3 miliar dollar AS, dan 1,2 miliar dollar AS. Kinerja perusahaan itu memberi kontribusi hingga 60 persen pada PDRB Provinsi Papua dan 96 persen pada PDRB Kabupaten Mimika.

Papua juga memiliki hutan lebih dari 32 juta hektar. Pejabat Gubernur Papua Syamsul Arief Rivai mengatakan, hutan di Papua memiliki nilai ekonomis sekitar 74 miliar dollar AS dari kayu, karbon, dan jasa lingkungan, termasuk air serta makanan. Hutan produksi konversi yang luas seperti di Merauke berdaya tarik kuat. Saat ini Merauke dilirik 48 investor yang ingin menggarap perkebunan melalui program Merauke Integrated Food and Energy Estate. Di laut pun demikian. Produksi ikan tangkap tahun 2010 di Merauke, misalnya, tercatat 2 juta kilogram.

Setiap tahun Papua mendapat dana otonomi khusus (otsus) sebesar Rp 2,6 triliun atau sekitar Rp 3,8 triliun jika dihitung bersama-sama dengan Provinsi Papua Barat. Dana tersebut diprioritaskan untuk pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan infrastruktur Papua. Namun, hingga 10 tahun berjalan (total kurang lebih Rp 28 triliun), misi otsus, yaitu membangun keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan orang asli Papua, tidak terwujud optimal.

Transformasi Mandek

Saat ini angka kematian bayi di Papua adalah 362 per 100.000 kelahiran hidup atau di atas angka nasional, yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup. Malaria juga terus jadi penyakit langganan warga. Di Boven Digoel, misalnya, pada 2010 tercatat 7.583 orang terserang malaria. Jumlah itu melonjak dibandingkan 2009, yaitu 5.988 orang. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Josef Rinta mengakui, meski jumlah puskesmas bertambah, tenaga medis belum mencukupi. Papua masih kekurangan 2.524 bidan, 212 tenaga gizi, 427 perawat, 241 analis kesehatan, 241 ahli kesehatan lingkungan, dan 280 ahli farmasi.

Demikian pula dalam bidang pendidikan. Ketertinggalan itu tampak dari minimnya jumlah guru di pedalaman sehingga harus mengajar rangkap beberapa mata pelajaran ataupun beberapa kelas sekaligus. Selain itu, gedung sekolah yang rusak, alat belajar-mengajar yang minim, dan banyak anak usia sekolah yang tidak bersekolah. Di Merauke, pada tahun 2010 sedikitnya 2.574 anak usia 7-12 tahun tidak mengenyam pendidikan sekolah dasar. Angka melek huruf dan rata-rata sekolah sangat rendah. Di Kabupaten Intan Jaya, misalnya, angka melek huruf 27 persen dengan rata-rata lama sekolah hanya 1,8 tahun.

Sekretaris Daerah Papua Constan Karma mengungkapkan, banyak tenaga guru dan tenaga kesehatan di daerah pemekaran terserap birokrasi. Dampaknya, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di daerah pemekaran rendah. Kabupaten Nduga salah satunya. IPM kabupaten pecahan dari Jayawijaya itu hanya 48,02 atau terbawah di Papua. Dapat dibayangkan bagaimana situasi di sana mengingat IPM Papua menduduki peringkat terbawah di Indonesia.

Hal itu menyumbang pada tingginya jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua, yang mencapai 944.000 orang lebih atau sepertiga total penduduk Papua (2,8 juta jiwa). Jumlah itu meningkat dibandingkan jumlah penduduk miskin tahun 2010, yaitu lebih dari 761.000 orang. Meskipun persentase penduduk miskin berkurang dari 36,80 persen tahun 2010 jadi 31,98 persen tahun 2011, tetap saja angka itu memprihatinkan.

Apalagi, penduduk yang masuk kategori itu umumnya orang asli Papua, terutama mereka yang tinggal di wilayah Pegunungan Tengah Papua dan pedalaman lainnya. Upaya pemerintah untuk mendekatkan pembangunan dengan membentuk kabupaten baru di Papua nyaris tidak berdampak.

Di Papua Barat, jumlah penduduk miskin tahun 2010 tercatat 34,88 persen atau 356.350 jiwa dari 798.601 jiwa. Meski jumlahnya turun dibandingkan 2009, tingkat kemiskinan kian tinggi. Tahun 2008, tingkat keparahan miskin penduduk miskin adalah 9,18 poin dan jadi 10,47 poin pada tahun 2010. Penyebabnya, naiknya nilai pengeluaran yang tak diimbangi peningkatan daya beli masyarakat. Agustus 2010, tercatat 26.341 penduduk usia kerja menganggur, sedangkan Agustus 2011 bertambah jadi 33.031 orang. Tren pengangguran naik dari 7,68 persen jadi 8,94 persen. Penurunan jumlah tenaga kerja terbanyak terjadi di sektor pertanian, sampai 10.639 orang. Padahal lahan pertanian, perkebunan, dan peternakan di bumi Papua ini terbentang luas.

Ketua DPR Papua Barat Yosep Johan Auri mengatakan, dana otsus belum menyentuh masyarakat dan belum tepat sasaran. Banyak dugaan dana digunakan tanpa perencanaan dan pertanggungjawaban. Anggaran ganda, dari dana APBD dan dana otsus, untuk satu proyek kerap ditemukan. Masalahnya, hingga 10 tahun otsus berjalan, pemerintah provinsi belum punya peraturan daerah khusus yang mengatur perencanaan, peruntukan, dan pertanggungjawaban dana otsus.

Dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan untuk penggunaan dana otsus tahun 2010, masih ditemukan sejumlah dana tidak jelas atau tidak tepat digunakan. Beberapa terindikasi diselewengkan. Tidak mengherankan jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai pengelolaan dana otsus tidak efektif.

Saat ini, pemerintah menawarkan kebijakan baru, yakni percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat. Akankah itu menjawab? Atau sebaliknya justru menambah luka baru? ●
(B Josie Hardianto/ Erwin EdhiPrasetya/ Timbuktu Harthana)

Keberpihakan, Bukan Nasionalisasi

Achmad Zen Umar Purba ; Dosen Pascasarjana FH-UI
KOMPAS, 14 Juli 2012


Akhir-akhir ini terasa ada suasana baru dalam kebijakan pengelolaan sumber daya mineral. Misalnya yang berkaitan dengan masalah divestasi saham perusahaan tambang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012.

PP ini mewajibkan perusahaan tambang penanaman modal asing, dalam tempo 10 tahun, harus mengurangi porsi sahamnya sehingga mitra nasionalnya memiliki 51 persen. PP ini merupakan revisi PP tahun 2010 dan satu dari beberapa isu lain yang menunjukkan keberpihakan pemerintah yang sudah lama dinantikan orang itu.

Siapa sasaran PP ini? Perusahaan pemegang izin usaha pertambangan dan izin usaha pertambangan khusus, nama izin pertambangan berdasarkan UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Jadi, aturan PP ini tidak akan dikenakan bagi perusahaan pemegang kontrak karya (KK). Entah kalau nanti KK-nya habis dan perusahaan itu ingin menyambung dengan sistem perizinan.

Secara hukum pun jelas. Suatu PP tak bisa mengalahkan KK sebab kontrak adalah UU bagi para penanda tangannya. Bahwa pemerintah mengajak mitranya untuk melakukan negosiasi ulang, itu soal lain: mengupayakan kesepakatan bersama. Semangat negosiasi ulang sudah digariskan dalam UU Minerba.

Namun, beberapa pihak tetap menyayangkan keberadaan PP itu. Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Bob Kamandanu mengatakan, PP tersebut tidak adil bagi investor asing. Menurut dia, aturan ini bisa memengaruhi investasi pertambangan di Indonesia.

Dr Simon Butt dan Prof Luke Nottage, dua dosen dari University of Sydney, mengingatkan mustahaknya sektor pertambangan bagi Indonesia. Selain menyumbang 17 persen terhadap produk domestik bruto, porsinya pun lumayan terhadap investasi asing langsung, yakni 3,6 miliar dollar AS dari 20 miliar dollar AS pada 2011. Artinya, kalau investor terganggu oleh PP ini, yang rugi Indonesia juga (East Asia Forum, 13 Mei 2012).
Betapapun, seperti ditegaskan Menko Perekonomian Hatta Rajasa, pemerintah menjamin divestasi ”bukan nasionalisasi”.

Deli

Belakangan ini orang kerap menyebut nasionalisasi, terutama setelah melihat Bolivia, Venezuela, dan terakhir Argentina, yang oleh Robert Zoellick sewaktu masih Presiden Bank Dunia dikatakan sebagai kesalahan (mistake). Dari sekian nasionalisasi itu, ada pula yang bermuara ke arbitrase internasional.

Negara-negara Amerika Latin tidak baru dalam hal nasionalisasi. Bahkan, setelah Meksiko menasionalisasi perusahaan minyak AS tahun 1938, lahir satu ungkapan, yang kemudian diadopsi ke dalam hukum internasional. Menanggapi masalah ini, Menlu AS Cordell Hull menyatakan, ” ... no government is entitled to expropriate private property..., without provision for prompt, adequate, and effective compensation (tidak ada negara yang berhak mengambil alih hak milik privat..., tanpa ketentuan memberikan kompensasi yang cepat, seimbang, dan efektif)”. Dewasa ini dunia sudah sepakat, nasionalisasi adalah hak negara berdaulat asal diikuti dengan kompensasi. Namun, belum ada kesepakatan perihal cara pembayaran yang menggunakan rumus PAE itu.

Nasionalisasi terjadi di mana-mana setelah Perang Dunia II. Indonesia kebetulan termasuk yang pionir dalam hal nasionalisasi. Satu di antaranya berkaitan dengan nasionalisasi perkebunan tembakau Deli, perusahaan Belanda di Medan, yang sampai diadili di pengadilan Bremen.

Rupanya eks pemilik perusahaan itu menggugat pada saat transaksi di kota perdagangan tembakau dunia tersebut. Di samping menyatakan bahwa nasionalisasi adalah tindakan satu negara berdaulat yang tak boleh diintervensi siapa pun (doktrin Act of State), pengadilan menegaskan, Indonesia yang baru merdeka—yang notabene di bawah kolonisasi pihak Belanda juga—pasti tak bisa memenuhi persyaratan kompensasi PAE.

Enak Didengar

Tindakan nasionalisasi pihak Indonesia dan putusan pengadilan tembakau Bremen menjadi inspirasi bagi negara-negara yang baru merdeka setelah Perang Dunia II untuk bertindak sama. Mereka sadar kemerdekaan politik harus diikuti dengan pemulihan hak ekonomi atas unit-unit usaha yang dikuasai oleh pihak negara penjajah. Kini, lebih dari setengah abad kemudian, tentu saja warna dunia sudah berubah. Peranan hubungan internasional amat diperlukan. Jika terjadi nasionalisasi, sedikit banyak akan terjadi ketegangan. Akan tetapi, pada akhirnya kepentingan nasional mesti yang dominan.
Itulah sebabnya aspek nasionalisasi dalam UU Penanaman Modal (UUPM) ditulis dalam rumusan yang enak didengar. ”Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal”, demikian bunyi Pasal 7(1) UUPM, ”kecuali dengan undang-undang”. Jadi, secara umum tidak akan ada nasionalisasi. Namun, ada reservasi hak negara berdaulat untuk menasionalisasi asalkan dengan ”undang-undang”, yang merefleksikan keinginan segenap rakyat. Juga syarat mutlak kedua: mesti ada kompensasi. Berapa dan bagaimana? Bergantung pada harga pasar. Kalau tidak ada kesepakatan? Bawa ke arbitrase. Begitu aturan selanjutnya.

Indonesia telah dilecut oleh keinginan publik agar ada supremasi pemerintah dalam pengelolaan sumber daya mineral tanpa merusak tatanan hukum yang sudah kita buat dan hormati. PP tentang divestasi merespons kegalauan publik. Sementara itu, alasan untuk mengajak negosiasi ulang adalah sesuatu yang patut. Apalagi telah terjadi banyak perubahan dari masa kontrak itu pertama kali diteken. ●
Diposkan oleh Budi Santoso di 22:55

Renegosiasi Kontrak Tambang

Marwan Batubara, DIREKTUR INDONESIAN RESOURCES STUDIES
Sumber : KOMPAS, 15 November 2011


Pada peringatan Hari Pancasila 1 Juni 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan pemerintah sedang mengkaji ulang kontrak-kontrak investasi asing yang berkaitan dengan sumber daya alam. Sebenarnya, sesuai Pasal 169 Ayat b dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, renegosiasi otomatis harus dilakukan dan telah dimulai sejak 14 Januari 2010.

Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, proses renegosiasi dilakukan terhadap 118 kontraktor, 42 kontraktor kontrak karya (KK), dan 76 kontraktor perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B).
Meskipun UU No 4/2009 memerintahkan harus selesai dalam satu tahun setelah ditetapkan, ternyata setelah lebih dari dua tahun, hasil renegosiasi masih jauh dari harapan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menargetkan proses tersebut selesai akhir 2011.

Ada enam isu strategis yang menjadi fokus renegosiasi, yaitu luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara (pajak dan royalti), kewajiban divestasi, kewajiban pengolahan dan pemurnian, serta kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri. Hingga Oktober 2011, 9 kontraktor KK sudah menyetujui seluruh klausul renegosiasi, 23 setuju sebagian, dan 5 menolak, terutama karena alasan kesucian kontrak (sanctity of contract), yaitu Freeport, Nabire Bakti Mining, Irja Eastern Minerals, Pasik Masao, dan Pasifik Masao.

Sementara untuk PKP2B, belum satu pun yang setuju renegosiasi, terutama terkait royalti dan kewajiban pemurnian, dengan alasan royalti batubara sudah cukup tinggi (13,5 persen) dan batubara adalah barang siap pakai yang tidak perlu diolah.

Penolakan

Reaksi keras datang pertama kali dari Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Ted Osius yang mengatakan, ”Saya rasa itu (renegosiasi) akan sulit. Begitu Anda menandatangani kontrak dan mau mengevaluasi kontrak, bahkan mau mengubah kontrak, investor langsung menyebutnya ketidakpastian. Itu seperti mengubah aturan main di tengah-tengah permainan. Itu akan memberikan sinyal kurang baik bagi investor.”

Pada September 2011, melalui juru bicara Ramdani Sirait, Freeport kembali menegaskan penolakan terhadap renegosiasi dengan menyatakan hanya akan menghormati dan mematuhi ketentuan KK yang ditandatangani pada 1991.

Penolakan lain datang dari Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesia Mining Association/IMA) yang menyatakan akan berpegang pada ketentuan Pasal 169 Ayat a UU No 4/2009. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa KK dan PKP2B yang ditandatangani sebelum penetapan UU No 4/2009 harus dihormati sampai masa berlakunya berakhir.

IMA meminta agar Pasal 169 Ayat b yang menjadi acuan renegosiasi oleh pemerintah dicabut, dan jika tetap dipaksakan, pemerintah dapat digugat di arbitrase internasional. IMA juga mengingatkan bahwa besarnya royalti emas yang berlaku secara internasional umumnya 2 persen, lebih rendah dari ketentuan PP No 45/2003 yang diberlakukan pemerintah sebesar 3,75 persen.

Sikap Kita

Ancaman penarikan, pembatalan, atau gangguan iklim investasi akibat renegosiasi harus dijawab pemerintah dengan tegas melalui berbagai langkah alternatif seperti penunjukan konsorsium BUMN dan/atau pemilihan negara/perusahaan dari negara lain sebagai mitra investasi.

Ancaman seperti ini telah membelenggu dan menyandera Indonesia sekian lama tanpa berbuat sesuatu kecuali tunduk patuh dan takluk. Sekarang saatnya bagi Indonesia untuk melawan dan menghadapi semua tantangan tersebut dengan penuh percaya diri sebagai negara yang mandiri, berdaulat, dan bermartabat.

Ancaman gugatan arbitrase internasional merupakan senjata lain yang sering digunakan asing untuk tetap mendominasi dan selama ini pun telah cukup ampuh menundukkan pemerintah.
Ketundukan ini umumnya lebih karena sikap pejabat yang lemah, pengecut, berkhianat, atau berkolaborasi dengan asing untuk berburu rente atau dalam rangka mendapat dukungan politik. Dalam kasus arbitrase Karaha Bodas (2006), misalnya, oknum pengkhianat sangat berperan membantu asing sehingga strategi yang sedang disiapkan Indonesia untuk menghadapi sidang arbitrase dalam waktu singkat telah bocor kepada pihak lawan.

Hal ini tidak boleh berulang, dan pemerintah harus mampu menghadapi dan mempersiapkan gugatan secara saksama karena kita telah mempunyai UU yang baru (UU Pertambangan Mineral dan Batubara No 4/2009) dan hukum yang digunakan dalam sidang arbitrase adalah hukum negara tuan rumah.

Dalam hal royalti emas, tak benar bahwa yang berlaku umum di dunia rata-rata 2 persen. Di Kanada, rate yang berlaku di tiga negara bagian (British Columbia, Ontario, dan Quebec) sebesar 15 persen hingga 20 persen.

Untuk Amerika Latin berlaku rate: Argentina 3 persen, Cile 3 persen, dan Venezuela 3 persen. Untuk Afrika berlaku rate: Angola 5 persen, Botswana 5 persen, Ghana 3 persen, dan Mozambik 3-8 persen. Untuk Asia berlaku rate: China 4 persen, Uzbekistan 5 persen, Indonesia 3,75 persen, dan Papua Niugini 2 persen; sedangkan untuk Eropa berlaku: Rusia 6 persen, Polandia 10 persen, dan Azerbaijan 3 persen.

Dengan data ini, rate royalti 3,75 persen yang diberlakukan Indonesia justru dapat dianggap sedikit di bawah rata-rata. Mengapa dikatakan tinggi?

Pada praktiknya, meskipun telah didukung oleh PP No 45/2003 yang berisi antara lain rate royalti emas, perak, dan tembaga masing-masing 3,75 persen, 3,25 persen, dan 4 persen, ternyata pemerintah tidak mampu menerapkan. Saat ini royalti yang dibayar Freeport untuk emas 1 persen, perak 1 persen, dan tembaga 1,5 persen. Aneka Tambang sebagai BUMN pun telah membayar 3,75 persen.

Dengan memperhatikan kondisi obyektif dunia tambang yang memberlakukan rate royalti lebih dari 3 persen—peraturan yang berlaku sejak 2003 dan perusahaan milik negara sendiri pun telah menjalankan—sangat tak wajar jika perusahaan asing seperti Freeport masih membayar royalti 1 persen!

Apakah sikap arogan, membangkang, dan mengangkangi aturan negara yang ditunjukkan Freeport ini akan terus dibiarkan?

Freeport menyatakan, setelah menjalankan operasi di Indonesia selama lebih dari empat dasawarsa, total kontribusi hingga Juni 2011 sebesar 12,8 miliar dollar AS. Jumlah tersebut terdiri atas royalti 1,3 miliar dollar AS, dividen 1,2 miliar dollar AS, PPh Badan 7,9 miliar dollar AS, PPH karyawan dan pajak lain 2,4 miliar dollar AS. Namun, Freeport tak menyebutkan jumlah keuntungan yang telah diraih.

Faktanya, Freeport memperoleh jauh lebih besar dibandingkan dengan 12,8 miliar dollar AS yang diterima negara, yang diperkirakan lebih dari dua kali lipat. Sebagai pemilik sumber daya, negara RI seharusnya menerima lebih besar sebagaimana yang terjadi pada kontrak-kontrak migas. Hal ini jelas tidak adil!

Selain itu, selama menambang di Eastberg pada fase awal, Freeport tidak melaporkan produksi emas, kecuali hanya produksi perak dan tembaga. Manipulasi dan ketidakadilan ini telah menjadikan Freeport berubah dari perusahaan tambang kecil menjadi salah satu perusahaan raksasa dunia.

Kepentingan Nasional

Renegosiasi kontrak mutlak harus segera dituntaskan demi kedaulatan negara, harga diri bangsa, rasa keadilan, transparansi pengelolaan, dan peningkatan penerimaan untuk kesejahteraan. Pemerintah harus memosisikan negara sebagai pengendali sektor strategis ini.

Renegosiasi merupakan amanat rakyat dalam undang-undang baru yang harus dipatuhi oleh siapa pun yang berkontrak di negara ini. Untuk itu pemerintah harus bersikap tegas, berani, dan mempersiapkan strategi negosiasi secara saksama, termasuk memanfaatkan isu lingkungan dan kerja sama internasional alternatif.

Selain renegosiasi kontrak, ke depan rakyat perlu mendapat kepastian bahwa seluruh wilayah tambang yang habis masa kontraknya harus dikembalikan kepada negara. Selanjutnya, untuk menjamin dominasi negara, optimasi pendapatan dan kesinambungan produksi, cadangan, dan operasional tambang harus dikuasai perusahaan negara. Cadangan yang dimiliki harus menjadi underlying asset untuk peningkatan kapital pemerintah dan pemberdayaan BUMN kita. ●

Prahara Freeport

Judul Asli "Prahara di Tambang Kita"
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs, LIPI
KOMPAS, 09 Agustus 2012



Seandainya Mozes Kilangin masih hidup, entah apa yang ada di benaknya soal renegosiasi kontrak karya Freeport, perusahaan tambang AS yang ingin memperpanjang eksploitasi tambang tembaga, emas, dan perak di Grasberg dan Ertsberg, Papua, sampai 2041.

Pada 9 Agustus 1999, empat hari sebelum Mozes meninggal, ia mengatakan kepada Dominggus A Mampioper, wartawan yang mewawancarainya, ”Kini Freeport sudah masuk dan semua orang dapat berkat, tetapi ada juga yang tidak memperoleh apa-apa, tetapi tujuan kita agar masyarakat Amungme memperoleh manfaat besar kalau tambang dibuka”.

Saat itu Freeport baru delapan tahun melakukan kontrak karya (KK) kedua pada 1991 yang memperluas area kerjanya. Pada 2012, Freeport ingin memperpanjang KK yang akan berakhir 2021 menjadi 2041. Areanya juga akan diperluas hingga wilayah Nabire. Freeport bukan hanya menambang bagian atas bumi, melainkan juga sampai ke dalam perut bumi.

Mozes Kilangin, yang namanya diabadikan sebagai nama Bandara Internasional Timika, Papua, sebenarnya seorang guru lokal di Akimuga. Ia bertindak sebagai negosiator dan sekaligus penunjuk jalan bagi ekspedisi pertama Freeport di Bumi Amungsa pada 1960.
Antara Juli dan September 1960, Mozes mendampingi tim ekspedisi Freeport pimpinan Forbes Wilson mendaki Gunung Yelsegel Ongopsegel (Ertsberg). Tim ekspedisi ini menempuh rute Omoga menuju Belakama terus ke Tsinga Jongkogama-Waa (Mile 68 sekarang)-Osekindi-Bayulkase (Mile 74 sekarang). Ekspedisi yang berjalan kaki tersebut membawa bebatuan sebanyak 30 karung sebagai sampel penelitian.

Dari contoh bebatuan itulah akhirnya Forbes Wilson dan tim ekspedisinya mengetahui secara nyata, betapa kaya wilayah pegunungan yang indah itu. Wilson mengabadikan ekspedisi ke Ertsberg itu dalam bukunya Conquest of the Copper Mountain (Penaklukan Gunung Tembaga). Kini, 62 tahun kemudian, gunung indah itu sudah berwajah bopeng-bopeng dan banyak lubang dalam menganga. Alam sekitarnya juga penuh dengan bahan-bahan kimia yang tentunya memberikan dampak negatif bagi penduduk sekitarnya.

Memang ada manfaat dari keberadaan Freeport bagi Pemerintah Indonesia, Pemerintah Provinsi Papua, Pemerintah Kabupaten Mimika, dan sebagian elite sipil, polisi, ketua adat, serta militer di Jakarta dan Papua. Ada juga program-program tanggung jawab sosial perusahaan yang dilakukan Freeport untuk tujuh suku yang terkena dampak pertambangan tersebut, seperti pemberian beasiswa, pemberdayaan perempuan, pemberdayaan ekonomi, sekolah asrama, dan pelatihan Newangkawi. Namun, apa yang didapat penduduk setempat tak sebanding dengan penderitaan panjang yang mereka alami sejak tambang mulai dibangun pada 1967.

Jika protes, mereka dicap anggota atau pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM). Jika ada pembunuhan atau penyerangan, OPM pasti jadi kambing hitam. Jika para buruh mogok, seperti terjadi 15 September-17 Desember 2011, tak jarang para pekerja ini juga dipandang sebagai penghambat pembangunan dan merugikan negara karena berkurangnya pendapatan negara akibat pemogokan itu.

Aksi mogok 8.000 dari 23.000 karyawan Freeport itu telah memengaruhi produksi Freeport pada kuartal I-2012, yaitu penurunan produksi tembaga dari 284 juta pound pada 2011 menjadi hanya 123 juta pound kuartal I-2012. Produksi emas juga turun dari 441.000 ounce pada 2011 menjadi hampir separuhnya, 229.000 ounce kuartal I-2012.

Penerimaan negara juga menurun drastis karena kehilangan sekitar 6,7 juta dollar AS (Rp 57,3 miliar) per hari selama pemogokan berlangsung, sedangkan potensi penurunan penjualan Freeport mencapai 19 juta dollar AS per hari. Kegiatan Freeport di lahan 213.000 hektar itu menyumbang 68 persen produk domestik regional bruto (PDRB) Papua dan 96 persen PDRB Kabupaten Timika. Pada 2010, Freeport menyumbang 1,9 miliar dollar AS pajak dan 2,1 miliar dollar AS berupa gaji dan upah karyawan.

Konsesi Ekonomi Amat Mahal

Jika kita tilik sejarahnya, kekayaan alam di area pertambangan Freeport itu sudah diketahui para geolog Belanda sejak 1930-an. Ekspedisi oleh peneliti AS baru dilakukan 30 tahun kemudian. Ingat, tahun 1960, wilayah Papua masih di bawah kekuasaan langsung Ratu Belanda. Dasar hukum PMA di Indonesia dimulai sejak Pemerintah RI membuat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), pembuka jalan bagi Freeport melakukan eksploitasi tambang di Irian Barat. Satu hal yang menarik, UU itu ditandatangani Presiden Soekarno yang saat itu sudah dalam tahanan rumah rezim Soeharto di Wisma Yaso, rumah kediaman istri Bung Karno asal Jepang, Ratna Sari Dewi, yang kini menjadi Museum Tentara Nasional Indonesia Satria Mandala. Padahal, Bung Karno sebelumnya sering meneriakkan semboyan ”Amerika kita setrika, Inggris kita linggis” saat Konfrontasi dengan Malaysia dan ”Go to hell with your aid” kepada AS saat perusahaan-perusahaan AS menawarkan pembangunan prasarana transportasi asalkan Indonesia hanya mengimpor mobil produk AS.

Banyak analisis soal ini. Aktivis LSM Australia, Robin Osborne, penulis buku Indonesia’s Secret War (Kibaran Sampari) yang diterbitkan oleh Pandora Pr, Desember 1985, pernah mengatakan di dalam seminar ”Peace Study” di Sydney University, Australia (1988), yang penulis hadiri, konsesi bagi Freeport yang beroperasi di Irian Jaya (Papua) itu diberikan sebagai bayaran atas dukungan politik AS terhadap Indonesia dalam persoalan Irian Barat.

Sri-Edi Swasono menerka kemungkinan Presiden Soekarno ditekan atau mungkin kompromistis karena Pasal 4, 5, 6 UU No 1/1967 masih menegaskan bidang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dinyatakan tertutup bagi modal asing. Bidang tersebut, yaitu pelabuhan, produksi, transmisi, distribusi listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, tenaga atom, dan media massa (Kompas, 2/1/2012). Sejarawan militer mengatakan kepada penulis bahwa Bung Karno tidak bisa ditekan, jadi mungkin ia diiming-imingi untuk mendapatkan kembali otoritas politiknya yang sudah diambil Mayjen Soeharto sejak Bung Karno menyerahkan Surat Perintah 11 Maret 1966, asalkan Presiden Soekarno mau menandatangani UU No 1/1967 itu.

Rezim Orde Baru yang mengeluarkan PP No 20/1994 yang menjadi awal dominasi asing dan rezim-rezim pada era Reformasi yang mengegolkan dan melaksanakan UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal yang menggelar karpet merah buat investasi asing karena tak ada lagi pembedaan dengan investasi dalam negeri, bagaikan komprador asing yang kian membabat nasionalisme ekonomi yang masih dipangku UU No 1/1967.

Terlebih pada era Presiden SBY yang seakan selalu menerima apa saja permintaan AS sejak Obama menjadi presiden. Fenomena Obama memang seakan menyihir masyarakat Indonesia, termasuk kalangan kampus. Untungnya, saat sebagian besar mahasiswa UI mengelu-elukan Obama saat berkunjung ke kampus UI Depok akhir 2010, masih ada mahasiswa yang menggelar spanduk bertuliskan: ”Please no double standard Mr Obama, your Freeport destroys our environment”.

Manfaat yang Tidak Seimbang

Manfaat keberadaan Freeport di tanah Papua bagi Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua terasa tak seimbang dengan penerimaan Freeport dan permasalahan yang ditimbulkan PT Freeport Indonesia (FI) pada kehidupan rakyat Papua. Per 31 Desember 2011 Freeport memiliki cadangan 119,7 miliar pound tembaga, 33,9 juta ounce emas, 330,3 juta ounce perak, dan 0,86 miliar pound kobalt. Sebanyak 95 persen cadangan Freeport itu ada di tambang Grasberg, Papua.

Pada 20 Desember 2010, cadangan tambang Grasberg 2.574.744 ton dengan kadar tembaga 0,98 persen, emas 0,83 persen gram per ton (g/t atau part per million – ppm), dan perak 4,11 g/t. PT FI mampu memproses 200.000-250.000 ton bijih per hari. Tambang terbuka Grasberg mengontribusi 75 persen, sedangkan tambang bawah tanah sekitar 25 persen. Dari sisi saham, Freeport McMoran menguasai 90,64 saham PT FI dan hanya 9,36 persen saham yang dimiliki Pemerintah Indonesia! Ini sangat tak adil dan menyakitkan. Bandingkan saham negara Amerika Latin di mana Freeport McMoran juga beroperasi yang mencapai 32 persen.

Dalam laporan keuangan 2010, PT FI menjual 1,2 miliar pound tembaga dengan harga rata-rata 3,69 per pound atau dengan kurs Rp 9.000 setara Rp 39,42 triliun. Freeport juga menjual 1,8 juta ounce emas dengan harga rata-rata 1.271 dollar AS per ounce atau setara Rp 20,59 triliun. Jadi total penjualannya Rp 60,01 triliun. Itu baru dari tembaga dan emas, belum mineral lain, seperti perak dan kobalt. Satu hal yang mencengangkan, majalah Forbes menobatkan James R Moffet, bos besar PT FI, salah satu dari sepuluh pria bergaji tertinggi di dunia: 48 juta dollar AS atau sekitar Rp 432 miliar sepanjang 2006!

Namun, kerusakan lingkungan sebagai dampak dari eksplorasi tambang sangatlah masif! Setiap tahun Indonesia kehilangan 300.000 hektar hutan, belum lagi pencemaran lingkungan akibat pembuangan tailing atau limbah tambang ke lembah Cartenz, lembah Wanagon, dan Sungai Ajkwa. Secara khusus, Sungai Ajkwa mengalami pendangkalan di beberapa titik, dari semula 50 meter, kini tinggal 5 meter. Pada 2001, tailing itu mencapai laut Arafuru dan gradasi pencemaran lautnya mencapai 10 kilometer dari garis pantai.

UU No 4/2009 soal Mineral dan Batubara memerintahkan agar pengelolaan pertambangan minerba harus berasaskan manfaat, keadilan, dan keseimbangan serta berpihak pada kepentingan bangsa. Paling tidak ada enam isu strategis harus dipatuhi: luas wilayah kerja pertambangan, perpanjangan kontrak, penerimaan negara, kewajiban divestasi, kewajiban pengolahan dan pemurnian, kewajiban penggunaan barang dan jasa dalam negeri.

Freeport selama ini selalu berada di atas angin dalam renegosiasi KK. Perusahaan ini selalu mengusulkan renegosiasi KK ketika ia ingin memperluas wilayah kerja dan memperpanjang KK. Saat inilah yang paling tepat bagi pemerintah untuk mendesak Freeport agar menaikkan royalti emas dari 1 persen menjadi 5-6 persen dan memaksa Freeport memproses gumpalan mineral ini di Tanah Air dan bukan langsung dikirim ke negara-negara pengimpor. Divestasi saham juga harus dilakukan agar negara memiliki saham lebih besar dari yang dimiliki saat ini. Tanpa itu, pemerintah hanyalah komprador asing yang selalu meluluskan kepentingan Freeport.

Kita tak ingin tambang tembaga di Grasberg dan Etsberg jadi daerah konflik berkepanjangan seperti terjadi dengan tambang Panguna di Bougainville, Papua Niugini, ketika Francis Ona dan Bougainville Revolutionary Army angkat senjata pada 1989 dan baru berakhir dengan Kesepakatan Damai pada 2005. Namun, kita juga tak ingin hanya jadi penonton alat-alat pengeruk dan penggergaji bebatuan bekerja 24 jam penuh, alat peledak berdentuman memecah bebatuan, truk- truk raksasa berkapasitas 250-400 ton berseliweran di daerah tambang, pasir mineral digelontorkan melalui pipa-pipa dari gunung ke pelabuhan, dan semua itu bukan kita punya. Jangan sampai setelah KK pada 2041 berakhir, yang tersisa adalah lubang-lubang besar menganga dan limbah beracun yang meluas di daratan, sungai dan lautan, sementara Freeport lari membawa keuntungan ratusan triliun rupiah! Kita tak ingin prahara datang silih berganti di tambang tembaga itu.

Rabu, 08 Agustus 2012

Renegoisasi Kontrak Freeport


Kurtubi ; Pengajar Pascasarjana FEUI dan Universitas Paramadina
KOMPAS, 02 Agustus 2012



Ada semacam benang merah antara mencuatnya kasus Churchill Mining Plc—sebuah perusahaan tambang Inggris—yang menggugat Pemerintah RI di Arbitrase Internasional dengan alotnya proses renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan antara Pemerintah RI dan Freeport McMoran.

Freeport adalah perusahaan tambang AS, pemegang kontrak karya (KK) pertambangan di Papua. Churchill menggugat Pemerintah RI  2 miliar dollar AS (sekitar Rp 19 triliun) karena merasa dirugikan sebab izin usaha pertambangan (IUP) yang sudah diperoleh dicabut Bupati Kutai Timur. Pencabutan IUP itu oleh Pemerintah RI dinilai sah karena sudah memenuhi prosedur dan ketentuan yang berlaku. Apakah gugatan yang dilayangkan ke pengadilan arbitrase di International Centre for Settlement of Investment Dispute di Washington, AS, ini akan ditolak atau dikabulkan, tergantung argumentasi, dalil, dan bukti sah yang dimunculkan pemerintah di Pengadilan arbitrase.

Karena Pemerintah RI menjadi ”pihak yang berperkara/tergugat”, semua aset pemerintah, termasuk pesawat Garuda, gedung KBRI di luar negeri, misalnya, berpotensi disandera jika pemerintah kalah di pengadilan arbitrase. Tentu ini sangat riskan dan seharusnya bisa jadi pelajaran yang sangat penting. Di samping kedaulatan negara terancam hilang/dilecehkan, negara berpotensi dirugikan secara finansial jika pengelolaan kekayaan tambang dan migas nasional didasarkan atas pola hubungan langsung antara pemerintah dan investor (business-to-government/B to G). B to G itu bisa dalam bentuk ”pemberian izin” oleh pemerintah kepada investor, seperti model IUP di bidang tambang, atau ”kontrak/perjanjian” antara pemerintah dan investor, seperti model KK di bidang tambang dan model kontrak kerja sama (KKS) di bidang migas.

Di sinilah letak benang merah antara kasus Churchill dan alotnya renegosiasi antara pemerintah dan Freeport. Kedua hal ini konsekuensi dari bentuk pola hubungan langsung antara pemerintah dan perusahaan tambang atau perusahaan migas internasional. Dalam kasus Churchill, dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), pemerintah (bupati) diberi wewenang penuh mengeluarkan IUP kepada investor sehingga setiap investor harus berhubungan atau tawar-menawar langsung dengan bupati. Kewenangan yang diberikan UU Minerba kepada pemerintah daerah tak diimbangi sistem yang akuntabel, transparan, serta kontrol, koordinasi, dan sumber daya manusia memadai.

Dengan demikian, penerbitan IUP sangat riskan jadi ajang ”perburuan rente”. Meskipun UU Minerba baru berlaku sekitar dua tahun, IUP yang sudah dikeluarkan sangat banyak, sekitar 10.500, sebagian besar bermasalah, termasuk tumpang tindih lahan, seperti dalam kasus Churchill. Pemerintah menyortir dengan kebijakan clear and clean. Ternyata yang tak lulus clean and clear masih sangat banyak. Di sini jelas terlihat, model UU Minerba bukanlah cara pengelolaan kekayaan tambang mineral dan batubara yang tepat.

Pemilik: Negara atau Investor?

Investor yang berhasil memperoleh IUP dari pemda/bupati seolah telah memperoleh konsesi yang diidentikkan dengan hak menambang dan hak memiliki bahan tambang yang ada di wilayah IUP. Churchill menggugat Pemerintah RI meski yang mengeluarkan dan mencabut IUP adalah bupati. Churchill kemungkinan menganggap potensi bahan tambang di wilayah IUP yang dicabut miliknya.

Pasalnya, UU Minerba No 4/2009 yang terdiri dari 175 pasal, termasuk Pasal 4 Ayat 1 dan ayat 2 yang hanya menyebut kata ”dikuasai” negara, sama sekali tak menyebutkan bahwa cadangan bahan tambang mineral dan batubara di perut bumi adalah milik negara atau rakyat. Yang terjadi sebaliknya. Dalam Pasal 92 dinyatakan, hak kepemilikan atas bahan tambang diberikan ke pemegang IUP jika ia telah membayar iuran eksplorasi atau iuran produksi (royalti) yang sangat kecil (sekitar 1 persen untuk emas), sangat tak sebanding dengan hak kepemilikan atas bahan tambang yang diperoleh investor.

Tak dicantumkannya hak kepemilikan negara/rakyat atas kekayaan bahan tambang mineral dan batubara menunjukkan tafsir atas Pasal 33 UUD 1945 yang dianut UU Minerba ini kelihatannya mengikuti pendapat yang, antara lain, dilontarkan Erman Rajagukguk, ahli hukum yang bekerja di Sekretariat Negara RI. Sekneg adalah instansi yang harus dilalui setiap RUU yang diajukan pemerintah ke DPR.

Erman kerap memberikan pernyataan bahwa kata ”dikuasai negara” atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya seperti yang tertulis dalam Pasal 33 UUD 1945 Ayat 3 bukan berarti ”dimiliki’” negara. ”Artinya, dikuasai oleh negara tetapi bukan dimiliki oleh negara,” katanya. Menurut hemat saya kalau kekayaan alam di perut bumi Indonesia dinyatakan sebagai bukan milik negara atau rakyat, atau status kepemilikannya disamarkan, di sini terjadi semacam kevakuman hukum atas status kepemilikan kekayaan alam yang sangat besar nilainya ini. Karena itu, kekayaan alam ini harus dinyatakan secara jelas pemiliknya, yakni negara/rakyat. Bukan orang per orang ataupun pemegang IUP atau KK.

Kekayaan alam berupa cadangan terbukti yang sudah disertifikatkan pada hakikatnya secara ekonomi merupakan aset/harta bernilai ekonomi tinggi yang bisa dilokalisasi, diukur, diidentifikasi, dimonetasi, diperdagangkan, dan bersifat bankable. Oleh karena itu, harus ada pemilik sah. Kalau UU Minerba tak secara jelas menyatakan status kepemilikan kekayaan tambang mineral dan batubara di perut bumi Indonesia atau sengaja disamarkan oleh pembuat UU, pasti ada pihak lain (investor/pemegang IUP) yang akan mengklaim sebagai miliknya. Dan ini terjadi, terbukti dari dimasukkannya cadangan bahan tambang di perut bumi sebagai aset dalam laporan keuangan perusahaan tambang seperti kasus BHP.

Mahkamah Konstitusi sebaiknya segera memberikan tafsiran yang jelas akan kata ”dikuasai” negara dalam Pasal 33 UUD 1945 atau sebaiknya UU Minerba segera dicabut, baik melalui uji materi di MK atau oleh presiden lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) dengan alasan sangat urgen untuk menyelamatkan aset milik negara agar tak diklaim pihak lain. Hal ini mengikuti yurisprudensi PM Juanda mencabut Indische Mijnwet 1899 dengan perppu yang kemudian disahkan DPR menjadi UU No 30 Prp/1960 tentang Pertambangan.

Renegosiasi Kontrak

Dalam kasus alotnya renegosiasi pemerintah dengan pemegang KK Freeport, sejatinya ini karena posisi legal pemerintah yang relatif lemah. Pasalnya, dalam rezim ”kontrak karya” yang berkontrak adalah pemerintah (pola B to G). Sama dengan rezim IUP dan rezim KKS di migas, pemerintah berhubungan langsung, tawar-menawar, dan berkontrak dengan investor/perusahaan tambang.

Pemerintah jadi bagian ”para pihak” yang berkontrak. Semua pasal dalam isi KK yang ditandatangani pemerintah dan pihak investor/Freeport untuk tambang di Papua 7 April 1967 baru bisa berubah kalau disetujui oleh kedua belah pihak.

Kalau salah satu pihak tak setuju mengubah bagian/pasal mana pun dari isi KK, perubahan tak pernah bisa terjadi! Pemerintah berkewajiban menghormati kesucian kontrak (sanctity of contract) meski di kemudian hari isi KK ternyata sangat merugikan Indonesia. Pasal yang menyangkut kewajiban Freeport membayar royalti emas hanya 1 persen juga harus dihormati pemerintah mengingat pemerintah sendiri yang menandatangani KK! Besaran royalti emas yang hanya 1 persen jelas sangat tak adil mengingat harga emas saat ini sekitar 1.600 dollar AS per troy once, relatif sangat tinggi dibanding harga emas saat KK ditandatangani tahun 1967 yang sekitar 200 dollar AS per troy once.

Faktanya, meski Pemerintah RI sudah mengeluarkan PP No 45/2003 pada 31 Juli 2003 yang menetapkan besaran royalti emas jadi 3,7 persen, kalau Freeport tak setuju, perubahan royalti tak pernah bisa terlaksana hingga hari ini! Pemerintah tak berdaya, kedaulatan negara RI dilecehkan/hilang dengan tak kunjung ditaatinya PP No 45/2003 yang sudah berlaku hampir 10 tahun! Dalam renegosiasi Freeport merasa berada di posisi kuat. Pemerintah tak bisa memaksa ubah kesepakatan KK, termasuk soal royalti, divestasi 51 persen, smelter, dan sebagainya.

Kasus Churchill dan KK Freeport bukti sangat jelas pengelolaan kekayaan tambang dan kekayaan migas dengan UU Migas No 22/2001 yang menerapkan pola B to G sangat merugikan negara, secara finansial dan kedaulatan negara. Sebenarnya, Indonesia pernah berpeluang keluar dari kungkungan rezim KK Freeport di Papua atau setidaknya memperbaiki besaran royalti dengan tak memperpanjang KK Jilid I yang berakhir 1991. Namun, di bawah pemerintahan Soeharto dengan Menteri Pertambangan dan Energi Ginanjar Kartasasmita, KK diperpanjang hingga 2021, antara lain dengan alasan Freeport butuh kepastian investasi jangka panjang dalam mengembangkan cadangan Grasberg yang ditemukan 1988.

Dalam renegosiasi saat ini, Freeport meminta perpanjangan KK hingga 2041 dengan alasan kurang lebih sama, untuk jamin investasi jangka panjang senilai 16,9 miliar dollar AS untuk pengembangan tambang bawah tanah. Kondisi saat ini tentu tak sama dengan saat perpanjangan KK Jilid I. Model KK sudah tak ada lagi landasan hukumnya karena UU No 11/1967 sudah dicabut. Rakyat sudah menyadari selama ini penerimaan negara dari tambang mineral dan batubara sangat kecil, tak sebanding jumlah produksi, ekspor, dan kenaikan harga bahan tambang.

Solusi jangka panjang kemelut pengelolaan kekayaan mineral dan batubara nasional saat ini adalah menghapus pola B to G, baik rezim KK maupun IUP. Kembalikan kedaulatan dan kekuasaan negara atas kekayaan alam sehingga bisa memberikan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi rakyat dengan memperjelas status kepemilikan negara/rakyat atas kekayaan alam di perut bumi. Investor bisa berkontrak dengan BUMN dalam pola B to B di mana pemerintah berada di atas kontrak. Bahan tambang mineral dan batubara baru jadi milik investor setelah diproduksi dan dibagi dengan pemiliknya/negara. Cadangan terbukti yang sudah bersertifikat, bukan milik pemegang KK atau IUP, tetapi milik negara yang dibukukan dan dimonetasi oleh BUMN untuk kemakmuran rakyat.

Untuk solusi jangka pendek menyangkut divestasi 51 persen saham dan rencana penawaran saham perdana kepada publik (IPO) di pasar modal Indonesia, Kasus PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang hampir pasti merealisasikan divestasi 51 persen kepada pihak Indonesia dan akan diikuti kebijakan IPO, bisa jadi acuan. Toh Freeport dan NNT sama-sama perusahaan AS. Perpanjangan KK Freeport nyaris mustahil karena tak ada acuan hukumnya. Untuk sementara, perpanjangan bisa mengacu ke rezim IUP dengan UU Minerba, tetapi besaran persentase royalti sebaiknya fleksibel. Agar adil, royalti tak dipatok mati pada persentase tertentu, bisa naik bisa turun bergantung pada harga bahan tambang. Kewajiban membangun smelter harus segera direalisasikan dan pemerintah harus memperlancar termasuk penyediaan listrik yang cukup. Terakhir, sebaiknya proses renegosiasi transparan guna menghindari kemungkinan renegosiasi jadi obyek ”perburuan rente” yang baru, maklum dekat Pemilu 2014.