Kamis, 24 Mei 2012

Para Petani Tembakau OLeh M Sobary


Pemihakan Moral
M Sobary ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SUMBER :  SINDO, 21 Mei 2012



Kajian sejarah sosial tentang gerakan protes kaum tani ditandai keresahan, gejolak,dan kemarahan yang mencapai klimaks dalam bentuk kekerasan. Bentrok fisik, dengan menggunakan senjata, ilmu silat, dan tenaga dalam, dimantapkan dengan mantra-mantra dan jimat dari kiai terkemuka.

Di pihak lawan, ada bedil,granat,mitraliur dan segenap corak senjata otomatis yang bisa memuntahkan benda-benda modern yang mematikan. Kaum tani di    pedesaan Jawa, sebagaimana dapat ditelusuri melalui karya-karya penting sejarawan Kartono Kartodirdjo, Protest Movements in Rural Java dan Banten Revolt of 1888, di abad ke-19 dan menjelang abad ke-20, hidup dalam keresahan karena tekanan politik dan ekonomi pemerintah kolonial Belanda makin tak tertahankan.

 Pemberontakan mereka, sebagai kelanjutan gerakan protes tadi,berlangsung amat singkat, yang ditandai kekalahan mutlak dan jiwa yang terpukul telak, terutama karena kaum tani tersebut kurang mampu berorganisasi dan kurang pengalaman. Dengan begitu, perjuangan untuk mengembalikan kejayaan dan zaman keemasan pada masa lampau, dengan berpegang pada gagasan Ratu Adil, yaitu kerajaan surga yang bakal terwujud di bumi,berakhir porak-poranda.

 Mimpi tentang masa lampau yang bakal kembali hanya tinggal— kata Ebiet—mimpi di atas mimpi. Belanda lalu mengontrol kehidupan kaum tani di perdesaan Jawa lebih ketat, lebih kejam, lebih tak berperikemanusiaan. Dan kaum tani, yang terpukul jiwa dan kekuatan barisannya yang kurang well organized mundur tak teratur, bersembunyi dan tak mau bicara apa-apa lagi kecuali kenangan getir, bahwa gagasan mistis tentang Ratu Adil tak bisa diperjuangkan kecuali dengan ilmu, yang tak bisa mereka temukan di dalam kitabkitab yang mereka baca.

 Ilmu milik yang berkuasa itu ilmu modern, hasil sebuah “ijtihad” modern, yang tak bisa mereka ikuti. Ini paradoks kebudayaan yang percaya dan menjunjung tinggi ngelmu kadigdayan, kanuragan, serta ilmu batin, tapi tak dirumuskan secara terbuka dalam formula dan dalil-dalil objektif, ilmiah, sebagaimana hukum keilmuan yang dipegang kaum penjajah.

 Maka sejarah gerakan protes kaum tani, dilihat dari pihak kaum tadi, mungkin bisa disebut sejarah gerakan orang-orang yang kalah dan tak akan pernah mencapai kemenangan dalam bentuk apa pun hingga sesudah abad-abad lewat, saat kita membaca tragedi gerakan mereka yang membikin kita ikut merasa pilu.

Gerakan Sosial Baru

 Gerakan sosial baru, yang muncul menjelang abad ke-21, berutang pada sejarah gerakan protes tersebut, tetapi tak mengambil apa pun sebagai modal gerakan selanjutnya. Gerakan sosial baru berangkat dari luka-luka jiwa maupun kebudayaan karena intervensi berlebihan negara dan pasar— dunia bisnis—ke dalam kehidupan pribadi dan keluarga di dalam civil society kita. Gerakan ini juga membawa rasa kecewa, cemas, takut, dan frustrasi berkepanjangan karena kekejaman negara dan  Civil society tertindas dan tak berdaya, dengan terpaksa menelan tanpa mengunyah doktrin politik dan dunia bisnis yang didukung oleh para ilmuwan sosial konvensional, yang memberi pembenaran teoretis kepada para penguasa dan dunia bisnis yang menangguki untung besar karena dukungan keilmuan tadi. Ilmu yang tidak kritis, tidak manusiawi, membuat pihak lain menderita, tertekan, dan terus berada di lapis terbawah dalam masyarakat hingga ke titik hilangnya kemanusiaan mereka.

 Ini dilawan dengan gigih oleh gerakan sosial baru tadi, tapi gerakan mereka tak mengakomodasi gagasan mistis tentang Ratu Adil dan kerajaan surga yang menggiurkan. Mereka pun tak bermimpi kembalinya kejayaan para penguasa lokal abad lampau. Gerakan ini modern, bersifat global, tetapi dengan jeli dan sensitif meng-address isu-isu lokal: gender, human rights, environment, poverty, women trafficking, kebijakan pemerintah yang tak adil, penistaan terhadap minoritas, dan semua jenis tindakan yang secara kebudayaan tidak sensitif, tidak adil, dan tidak akomodatif.

 Gerakan ini memandang ke “depan” dengan pijakan kuat pada problem kekinian yang harus dirampungkan secara adil dan manusiawi agar kita bisa melangkah ke depan tanpa dibebani problem-problem lama yang kita anggap sebagai pending matters yang merupakan beban yang seharusnya tak perlu ada. Jika diingat ciri pokok gerakan yang selalu bersifat global tapi tak lupa memfokuskan diri pada isu-isu lokal, seperti disebut di atas, maka apakah idiom yang tepat untuk gerakan itu selain apa yang di masa lampau telah dideklarasikan dengan rasa bangga: think globally, act locally?

 Orang bijak berkata, sejarah sering terulang dan kini kita menyaksikan sendiri terulangnya idiom gerakan seperti tadi. Dengan sendirinya tak mengherankan bila para pemikir gerakan sosial baru menolak teori Marx tentang kelas dan perjuangankelas. Bagi Marx, semua gerakan dalam sejarah hingga kini tak bermakna lain kecuali sejarah perjuangan kelas. Orang gerakan sosial baru meyakinkan kita, gerakan sosial baru ini bersifat lintas kelas, lintas etnik, lintas bangsa. Jadi perjuangan kelas macam apa yang muncul di situ.

 Dan, sekali lagi, seglobal apa pun ciri orientasi ideologis mereka, fokus gerakannya diletakkan pada isu-isu lokal tadi. Rajendra Singh,mahaguru di bidang pekerjaan sosial,yang merumuskan teori-teori gerakan ini, membuka kesadaran ilmiah kita untuk menyikapi persoalan kekinian dengan gerakan-gerakan nyata, bukan dengan diskusi. Tapi dia melupakan satu hal: zaman ini, apa yang global dan apa yang lokal, bukanlah dua entitas yang secara absolut terpisah.

 Pasar dan corak kebijakan negara sudah global sifatnya. Dengan begitu pengaruhnya juga global. Jadi apa yang terjadi di Trenggalek dan Bintuni tak pernah lepas dari konsensus yang dirumuskan PBB di New York maupun kebijakan Amerika Serikat yang global,yang dirumuskan di Gedung Putih.Global dan lokal itu dua hal yang hakikatnya sama karena diakibatkan oleh hal yang sama.Memisahkannya merupakan sikap salah yang berlebihan. Dalam isu global yang meresahkan ini, ada panggilan moral bagi kaum intelektual.

 Mereka tak boleh hanya melakukan penelitian secara objektif, imparsial,tidak memihak. Tak memihak itu secara moral salah. Intelektual atau ilmuwan wajib memihak. Ada industri terhimpit kekuatan asing, yang agresif dan gigih melobi pemerintah, kita harus memihak.

 Ada petani tembakau tertindas oleh kebijakan, kita harus memihak. Terkutuklah siapa pun orangnya yang tak memihak. Apalagi bila bahkan membantu kekuatan asing. ●


Petani Tembakau sebagai “The Opressed”
M Sobary ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SUMBER :  SINDO, 14 Mei 2012



Ketika di tingkat internasional perdagangan keretek dipersoalkan dan kemudian ada tekanan— atau bujukan menggiurkan— pada tingkat nasional agar keretek juga dipersoalkan,maka apa alasan dasarnya yang dianggap sah,dengan keabsahan yang paling kuat dan karena itu bisa diterima dengan baik oleh segenap pihak?

Alasan kesehatan masyarakat, alasan ekonomi, dan kemudian alasan keagamaan, tentang halal-haram. Inilah puncaknya dan di masyarakat berpenduduk muslim terbesar ini, alasan halal-haram dianggap dan diharapkan menjadi kekuatan pemungkas untuk membungkam bisnis keretek yang di Amerika sana mengalahkan telak perdagangan rokok putih. Alasan demi alasan—juga yang bersumber pada agama— tak begitu manjur.

 Ketika Bloomberg Initiative mengumumkan lewat website tentang gerakan bertawaf dunia untuk “membungkam” bisnis keretek, di sana diumumkan berapa besar dana yang telah dikeluarkan untuk mendukung langkah bisnis global yang memakai tedeng alingaling dan berpura-pura berbicara tentang kesehatan manusia dan masyarakat pada tingkat dunia. Demikian manusiawi, demikian “care” dan meyakinkan langkah ini sehingga dunia pun guncang. Sangat banyak pihak tergopohgopoh untuk ikut menyingsingkan lengan baju.Kita maklum, ini bukan sekadar kerja bakti. Maka, di negeri kita, para pejuang yang menyebut diri mereka “gagah berani”, sebagaimana tampak pada saat mereka berdiskusi untuk saling memberi stimulasi,mulai mendesak. Ada suasana “dengki” pada keretek lebih dari masamasa sebelumnya.

 Teriakan mereka: tak ada warisan budaya segala.Warisan apa? Tak ada tradisi-tradisian. Banyak tradisi yang mati,jadi tak perlu risau. Tunggu dulu. Mati dan “dimatikan” atau “direncanakan untuk dimatikan” itu beda. Suatu tradisi penting mati, itu lumrah. Biar saja kalau memang mati. Usahakan menghidupkannya kembali kalau hal itu mungkin.Tapi kalau “dimatikan”, pemiliknya jelas tidak rela. Lebih-lebih lagi teriakan penuh permusuhan untuk dengan bersemangat “memuseumkan” keretek. Selain langkah-langkah strategis yang disumbangkan para ilmuwan yang terlibat dalam penelitian ini dan itu,para aktivis, para profesional di bidang medis,muncul lagi langkah birokrasi yang lebih fandalistis.

 Tapi patut dicatat: langkah itu “disokong” dari pihak luar sana atau “ditekan” dengan target capaian yang ditentukan. Maka para politikus pun membantu dengan dukungan perundang-undangan,bekerja sama dengan pemerintah.Kemudian pemerintah—juga pemerintah daerah—menyusun perda-perda yang mematikan. Perumusan perda sifatnya bukan hanya tidak transparan dan tidak akuntabel secara sosial, melainkan juga sudah jelas sangat sengaja mematikan bisnis keretek. Aturan sangat mematikan diberlakukan,tapi bisnis itu tetap hidup.

 Mereka tidak melawan, tapi tetap survive.Bahkan ketika senjata pemusnah diterapkan, yaitu memberi beban cukai seberat-beratnya, bisnis itu masih tetap tak tergoyahkan. Semua itu menjadi ancaman mengerikan bagi petani tembakau.Bila pabrik keretek bisa dianggap “sumber api”kehidupan petani, maka ketika “sumber api” itu dimatikan, tak usah banyak cingcong, semua orang yang berpikir tahu, petani tembakau pun dengan sendirinya ikut koit. Tapi seorang aktivis muda yang sangat dedikatif pada program itu berteriak: saya akan berada di garis depan membela petani jika seluruh langkah pengaturan dampak produk tembakau itu bermaksud membunuh petani tembakau.

 Hei, ada yang percaya pada suara yang tak disertai ketulusan politik macam itu? Tidak ada. Dia mungkin mau menutupi sikap para politikus dan birokrat kita yang tak memiliki empati kerakyatan sama sekali. Dia ingin mengesankan memihak petani tembakau ketika tampak dan sangat terasa bahwa kebijakan pemerintah di bidang itu tak memperlihatkan semangat perlindungan pada petani tembakau. Pendeknya, ingin tampil “heroik” supaya makna aktivis itu terasa bedanya dari para birokrat dan para politikus. Tapi orang yang sama juga berteriak: naikkan terus ke tingkat maksimal beban cukai itu. Arahnya?

 Kalau bebannya sangat berat, biarlah industri keretek mati dengan sendirinya. Dengan begitu mereka tak kentara bahwa mereka terlibat dalam pembunuhan.Tapi siapa yang tak tahu akal culas ini? Adakah pabrik tak merasakannya? Jangankan pabrik, petani pun tahu arti politik dari pernyataan itu. Dan perlu dicatat, orang yang berteriak paling keras ini harus bertanggung jawab atas matinya industri rumah tangga demi industri rumah tangga di bidang keretek yang gugur dalam jihad melawan kezaliman.

 Banyak industri rumah tangga yang telah menjadi syuhada karena langkah ini. Apa sikap dan tanggung jawab aktivis muda itu pada kenyataan ini? Dia akan mengatakan bahwa hal itu tak dimaksudkan begitu, sama seperti dia mengatakan bahwa langkah ini semua tak dimaksudkan untuk membunuh petani tembakau? Kalau ya,kenapa ada langkah dari Kementerain Pertanian agar petani tembakau beralih ke tanaman lain? Dia akan menjawab bahwa dirinya tak tahumenahu? Dan mengapa Gubernur Jawa Tengah sudah dengan tegas memojokkan tembakau, dengan program yang menekankan barang siapa sudah beralih dari tanaman tembakau ke tanaman lain akan disubsidi?

 Apakah dia juga akan menjawab bahwa dia tak tahu akan adanya kebijakan daerah ini? Semua kebijakan ini—sekali lagi dibantu dengan sikap all out oleh sebagian golongan intelektual kita—arahnya buat mematikan budi daya tanaman tembakau. Dengan kata lain,targetnya jelas: langkah demi langkah kebijakan itu ditujukan untuk membuat petani tembakau sebagai golongan tertindas di dalam negerinya sendiri. Para petani tembakau dibikin menjadi the oppressed, kelompok tertindas, di tengah para sahabatnya sendiri, di dalam masyarakatnya sendiri, yang dulu begitu ramah dan bersahabat.

 Dan diamkah mereka semua? Tidak.Mereka bangkit dan siap mempertahankan diri di dalam garis “tempur” yang dibentangkan para penguasa, atas dukungan banyak pihak tadi, demi menuruti tekanan kepentingan asing.Tentu saja mereka boleh membuat aturan. Tapi petani tembakau meminta, buatlah aturan yang enak bagi semua kalangan, dengan ketulusan langkah kebijakan yang secara sosial dan politik akuntabel.

 Aturan hendaknya memihak rakyat, juga petani tembakau, dan bukan membuat petani tembakau merasa tersingkir serta terlunta- lunta sebagai the oppressed di kampung halaman sendiri. ●


Laskar sebagai Benteng Perlawanan
Mohamad Sobary; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga
 Produk Indonesia
SUMBER :  SINDO, 07 Mei 2012


Petani tembakau merupakan sasaran tak langsung, tapi tetap harus dibunuh seperti mereka berusaha dengan penuh kedengkian membunuh pabrik keretek di negeri ini. Di zaman modern ini cara membunuh lawan harus modern pula.

Kemajuan di dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan diplomasi canggih, yang begitu lembut dan simbolik, harus memberi manfaat nyata sehingga persaingan yang kejam dalam dunia bisnis ini masih akan terasa halus. Duit, dalam jumlah besar, ditawarkan sebagai insentif, dan seolah duit itu wujud kemuliaan surgawi. Pesan utamanya harus merupakan langkah membunuh keretek, dengan banyak cara, yang kelihatan halus dan diplomatis.

 Jika perlu, rumuskanlah suatu program, yang isinya melindungi manusia, orang per orang, dan warga masyarakat pada umumnya. Basis programnya boleh sosial, boleh ekonomi, boleh pula kebudayaan, boleh rohaniah. Kesehatan masyarakat akan kedengaran menarik sebagai program. Dan akan kelihatan simpatik secara sosial.

 Urusan agama, dan hokum halal-haram, menjadi sangat penting karena ini negeri yang dihuni mayoritas warga negara yang menunjung tinggi agama. Pemikiran ini strategis–– jika dijadikan langkah-langkah atau program lapangan, akan menjadi sangat gemilang. Maka membunuh keretek demi kepentingan asing, pengusaha asing, bangsa asing, yang sudah sangat lama ingin menguasai bisnis itu, akan menjadi sangat mudah.

 Membunuh keretek hanya tinggal perkara waktu. Itu tidak lama. Langkah asing—yang melibatkan WHO—ini didukung banyak kalangan di dalam negeri. Pemerintah merupakan pendukung resmi dan paling utama. Mencekik pabrik keretek dengan menaikkan terus menerus cukai, yang tak akan terpikul oleh mereka, merupakan jalan terdepan.Ini jalan tol untuk membunuh pesaing, yaitu pabrik keretek dalam negeri ini.

 Tapi, cukai dinaikkan terus hingga jumlah penerimaan negara mengerikan sekali kedengarannya, tapi pabrik tetap lestari. Seorang tokoh aktivis muda yang bersemangat, meminta cukai harus naik, naik lagi, naik lagi, dan seterusnya. Dia tahu, sampai di suatu titik, pabrik akan tak mampu dan gulung tikar. Dalam benak aktivis ini sudah terjangkit naluri membunuh, yang semula hanya ada di dalam benak pengusaha asing yang ingin menguasai keretek kita itu.

 Baginya, duit asing disamakan dengan dana pembangunan. Dia bilang: negara saja hidup dengan bantuan dana asing.Maka apa salahnya kita menerima uang asing? Para ilmuwan, kaum cendekiawan, para profesional di bidang medis, politisi, dan sejumlah aktivis lainnya sependapat. Uang itu tak mengusik rasa aman, sikap etis, dan kebebasan mereka sebagai tokoh dalam masyarakat. Mereka tahu, uang bukan sekadar uang. Di balik nilai uang ada ideologi.

 Mungkin ideologi asing, yang beroperasi di bidang bisnis, mungkin ideologi politik, yang hendak memenangkan perjuangan politik asing. Kenapa kita bersedia membela mereka, tak dipersoalkan. Ramai-ramai mereka meneriakkan regulasi pengendalian dampak tembakau tak bermaksud membunuh petani tembakau. Sikap ini dijeritkan lewat forum-forum seminar, lewat pengadilan, dan lewat media.

 Tapi para petani tembakau, yang hidup di ladang dan tak pernah bersentuhan dengan politik dan media, mencemooh. “Mereka itu menggunakan logika apa?” kata seorang petani yang kritis, dalam pertemuan persiapan untuk mendeklarasikan laskar keretek beberapa hari yang lalu. “Kalau tak bermaksud membunuh petani tembakau, mengapa pemerintah—bahkan pemerintah daerah Jawa Tengah sendiri— menyuruh petani beralih ke tanaman lain, selain tanaman tembakau?

 Pikiran aktivis macam apa kalau semangatnya berbohong, dan tak merasa berdosa menodai kehidupan petani, yang seharusnya mereka bela?” “Apakah dia berbohong betul?” “Sampean mau membelanya? Apa Sampeanjuga aktivis, yang berpikiran serupa?” “Dia tak bicara alih tanaman.” Jawab saya. “Memang tidak.Tapi mustahil dia tak tahu rangkaian program membunuh keretek itu.

 Jika pabrik keretek dimatikan, siapa yang peduli terhadap petani tembakau? Untuk apa tembakau ditanam kalau pabrik keretek dimatikan?” Orang Jakarta tak sensitif terhadap kapasitas kaum tani— apa lagi kaum tani zaman ini— yang tangkas memberikan reaksi kritis. Di Temanggung beredar tembakau-tembakau dari daerah lain, yang buruk kualitasnya, tapi dimasukkan ke Temanggung untuk mengacaukan pasaran tembakau Temanggung yang bagus.

 Kualitas tembakau setempat tinggi, dan petani mempertahankan kualitas itu agar penghasilan mereka tetap tinggi. Datangnya subversi dagang untuk mengacaukan kualitas tembakau setempat tak mengganggu sama sekali. Kualitas tak bisa disulap. Maka, orang pun menyebut tembakau tersebut sebagai tembakau “Temanggungan”. Jadi bukan tembakau Temanggung sungguhan.

 Orang pintar yang culas, tidak jujur, dan dalam tindakannya sebagai orang sekolahan sengaja menyembunyikan suatu fakta tertentu demi keuntungan pribadinya di zaman ini mudah ketahuan. Orang biasa, seperti petani dan buruh yang tak pernah memperoleh pelayanan pendidikan secukupnya, toh tahu bahwa mereka diperlakukan tak adil. Maka itu, berteriaklah seribu kali sehari bahwa langkah kalian tak bermaksud membunuh petani tembakau, niscaya para petani itu tak akan mempercayai Anda.

 Komunikasi yang tak terbuka, yang menyembunyikan suatu corak keculasan, apa pun kepentingannya, tak akan membuahkan saling pengertian dan “trust” yang dicita-citakan. Semodern apa pun langkah untuk membunuh keretek, dan sebanyak apa pun jumlah pendukung di dalam birokrasi dan di lapangan, semua akan ketahuan. Sepandai apa pun para aktivis yang mendukungnya, jika kepandaian itu tak berlandaskan kebenaran,apa pun langkahnya akan terbentur-bentur.

 Perlawanan tulus para petani, yang mempertahankan hidupnya, yang dijamin di dalam hak asasi manusia,merupakan kebenaran yang menyilaukan. Mereka tulus dalam arti sebenarnya. Tak ada keculasan. Tak ada tipu daya. Kebutuhan mereka hanya bertahan hidup: sesuatu yang begitu mendasar, sedangkan para tokoh hebathebat di Jakarta bicara tentang logika yang tak bisa dinalar oleh petani.

 “Orang pandai yang tak jujur, tak dihormati. Rohaniwan yang tak tulus, tak mendapat tempat di hati”. Maka itu, pelan-pelan para petani membuat persiapan. Mereka mengorganisasi diri. Tokoh-tokohnya memberi pengarahan: Kita berhimpun dalam laskar bukan untuk menyerang, bukan untuk berperang. Laskar kita hanya ibarat benteng. Kita bertahan. Benteng harus kuat. “Jika diserang” “Kita sudah terbiasa diserang.

 Tapi, kita tak perlu balas menyerang. Kita bertahan dalam benteng kebenaran. Kita diam di balik benteng keadilan yang kita perjuangkan. Kejahatan asing, dibantu bangsa kita sendiri, boleh menyerang. Tapi kejahatan akan kita kalahkan. Kebenaran akan unggul, jika kita tulus, setulus-tulusnya, dalam perjuangan ini. “Jika keadaan memaksa, kita bergerak dengan lascar kita, dan melawan, dengan segenap keluhuran jiwa, yang sudah teruji berabad- abad di dalam hidup kaum tani.”  Pengarahan berakhir dan massa bubar. Pelan-pelan benteng perlawanan diperkukuh. ●



Melawan dengan Kerendahan Hati
Mohamad Sobary, Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SUMBER : SINDO, 30 April 2012


Di ladang-ladang tanaman tembakau, ada kepemimpinan. Di Gunung Sumbing, daerah penghasil tembakau terbaik di dunia, ada tokoh muda yang kepemimpinannya dirasakan masyarakat petani,jauh di luar batas desanya.

Tokoh ini boleh disebut “orang gerakan”. Dia paham akan jiwa masyarakatnya, paham dinamika mereka dan paham akan kesenian petani. Dalam berbagai hal ini dia “pemimpin” yang selangkah didahulukan, seranting ditinggikan. Terutama oleh kaum muda, sebab jangan lupa, dia juga lurah desa setempat. Di kaki gunung itu, ada pemimpin lain, yang juga muda, yang wibawanya memancar luas di kalangan petani. Dia pun lurah,yang berkuasa di daerah lembah Gunung Sumbing, Temanggung, Jawa Tengah.

 Karena posisinya di dalam organisasiAsosiasi Petani Tembakau tingkat nasional maupun tingkat daerah, namanya lebih sering muncul di media nasional. Dia yang menggerakkan roda organisasi dan dengan begitu, dia penggerak jiwa dan semangat kaum tani di wilayahnya. Daerah penghasil tembakau di Temanggung itu disebut wilayah tiga gunung: Sumbing, Sindoro, Perahu. Di Gunung Perahu juga terdapat tokoh muda yang sangat berani dan sikapnya tegas, seperti sikap Bima yang perkasa,sejauh menyangkut nasib petani tembakau.

 Dia juga lurah yang selalu tampil di setiap momentum penting, di Jakarta maupun di daerah lain,untuk memperjuangkan nasib petani tembakau. Tiga lurah, sama mudanya, sama dinamisnya, sama komitmen kerakyatannya. Mereka dulu kuliah di suatu perguruan tinggi yang sama di Yogyakarta dan selalu bersatu dalam langkah kepemimpinan di daerah tiga gunung tadi. Mereka tak bersaing dan tak ada kata “professional jealousy” di antara ketiganya.Kekompakan mereka itu mengagumkan dan itu pula yang membuat warga petani tembakau setempat taat dan patuh kepada mereka.

 Ketiga pemimpin ini menghabiskan waktu di luar rumah untuk perjuangan. Mereka mendatangi para petani di wilayah kabupaten tersebut secara rutin untuk berdialog, siang maupun malam, dan petani yang jauh dari wilayah kecamatan mereka bertiga bersaksi: ketiga orang itu nyaris tak pernah beristirahat. Sudah lama saya melakukan penelitian tentang kehidupan petani tembakau dengan fokus pada gerakan mereka untuk mengorganisasi diri agar mereka tidak menjadi terlalu rentan terhadap segenap ancaman yang datang dari luar.

 Isu apa pun yang tiba di wilayah mereka, yang merupakan ancaman, selalu ditanggapi dengan kesiagaan yang memadai. Ada banyak rangkaian gerakan perlawanan yang mereka tampilkan.Tapi di sini cukup dibahas satu jenis gerakan paling mutakhir, yang dideklarasikan 26 April 2012, di Lapangan Maron, satu setengah kilometer di luar Kota Temanggung. Di sana diumumkan terbentuknya kesatuan sikap, kesatuan cara pandang, dan kesatuan tindakan di dalam wadah gerakan yang disebut Laskar Kretek.

 Ada konotasi negatif pada kata “laskar”itu, tetapi mereka tak peduli. Kalaupun ada laskar yang tidak baik, yang garang dan suka memancing keributan–– apa pun alasannya––, laskar ini dibangun sebagai kekuatan kultural di dalam kehidupan para petani tembakau untuk membangun kebaikan-kebaikan. Dan jika suatu gerakan perlawanan harus diambil, mereka siap melakukannya dalam bentuk perlawanan yang politically right, legally correct.

 Dengan bangga para tokohnya menyatakan, di masa pergerakan kemerdekaan dulu, di Parakan,Temanggung,dikenal Laskar Bambu Runcing, suatu kekuatan politik yang berbasis pesantren, dengan dukungan rakyat secara luas,di bawah kepemimpinan para kiai terkemuka. Dalam pertemuan persiapan deklarasi, tokohtokoh muda ini mendatangi para warga dalam rapat-rapat di balai desa. Saya ikut hadir dan mencatat apa yang mereka rencanakan. Utamakan keamanan. Itu kesepakatan mereka. Semua berseragam kaus bertuliskan “Laskar Kretek” dan ini simbol keluhuran yang harus dijaga.

 Siapa di antara anggota sendiri yang membikin kerusuhan ditindak tegas. Ini momentum para petani itu memperlihatkan kepada dunia kemampuan mereka berorganisasi. Mereka sadar, jika rusuh, pesan deklarasi hancur dan yang disiarkan media hanya kerusuhan yang membawa kehancuran itu. Kaum muda, sekitar 14.000 orang dari keluarga petani tembakau, hadir dan meramaikan deklarasi tadi.Mereka ini layer kedua dalam masyarakat petani. Teriak perjuangan mereka jelas: pertanian tembakau, satu-satunya sandaran hidup terbaik bagi mereka, harus lestari.

 Maka, lawan semua ancaman—juga regulasi pemerintah yang tak adil—yang lebih mengutamakan kepentingan asing. Ini merupakan ancaman bagi kedaulatan ekonomi mereka. Pendeknya, karena sumber ekonomi mereka hanya satu-satunya tembakau itu, maka regulasi dan kepentingan asing merupakan ancaman terhadap hak hidup mereka. Hidup atau mati bersama tembakau tak bisa ditawartawar. Ini pernyataan yang semestinya membuat para perumus kebijakan di Jakarta menjadi agak lebih berhatihati karena menyangkut hajat hidup warga negara.

 Hak hidup itu bagian dari hak asasi mereka. Jadi bagaimana bila hal itu justru diancam oleh pemerintah sendiri? Kebijakan yang dilandaskan pada semangat membasmi keretek hendaknya disadari,di sana penuh dilema. Tak mungkin semangat seperti itu berlangsung di atas landasan kebenaran yang kokoh. Mereka menjunjung tinggi kesehatan masyarakat,tetapi di saat yang sama mereka membunuh jutaan warga negara.

 Orang perlu berpikir agak sedikit mendalam, dengan menimbang sisi keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan yang tak bisa diabaikan, jika betul mereka hendak menampilkan tata pemerintahan yang menjaga keluhuran bangsa. Laskar ini disiapkan sebagai kekuatan rakyat yang taat kepada pemerintah dan semua kebijakannya, cinta kepada bangsa, dan siap mengabdi kepada negara, dengan mengutamakan kedamaian. Meskipun begitu, kalau kebijakan pemerintah menjadi ancaman, apa boleh buat, mereka melawan.

 Kami siap melakukan perlawanan damai dan serbadengan sikap rendah hati.Pertanian tembakau lestari,petani hidup makmur,dan kemakmuran itu membangun suasana jiwa yang penuh damai dan sejahtera. ●


Gerakan Sosial Kaum Tani dalam Politik
M. Sobary, Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SUMBER : SINDO, 16 April 2012



Kajian-kajian sejarah melalui arsip yang disimpan di negeri Belanda, yang memuat gerakan-gerakan protes kaum tani pada abad 19, memberi kesaksian kepada kita bahwa sejak dulu yang namanya kaum tani,yang kelihatannya lugu dan kurang pengalaman––di masa itu memang lugu dan kurang pengalaman––, memiliki satu hal yang kini tak lagi ada pada kita: militansi.

Kita sekarang menjadi lembek. Cenderung menyerah dan tak berdaya? Sejarawan Sartono Kartodirdjo meraih gengsi dan nama besar dari kajian-kajiannya. Protest Movement in Rural Java yang berisi kajian mendalam kasus demi kasus gerakan protes kaum tani,yang militan dan berani tadi, juga menggambarkan situasi politik yang jelas: zaman resah, zaman penuh ketidakpastian, dengan hanya satu hal yang pasti, keterancaman.

 Hidup petani terancam. Pajak makin berat. Bahkan barang siapa punya kepala—dan tiap orang pasti punya—harus juga dipajaki. Petani tak berdaya sama sekali. Karena itu mereka melakukan gerakan-gerakan protes tadi. Dan sifatnya sporadis, tak berani terlalu terangterangan. Tapi melawan adalah melawan.Mereka antipenjajah yang kelewat menindas.

 Buku kedua, hasil kajian yang ditulis sebagai disertasi doktornya, Peasant Revolt of Banten, 1888 mengidentifikasi watak nativistis dan anti asing dengan sangat jelas. Selain membela kepentingan mereka yang tertindas oleh beban pajak yang berat, mereka juga menggunakan ideologi keagamaan yang nyata. Maka,para kiai tarekat,yang dianggap terpandang, berpengaruh luas, dan memiliki kesaktian luar biasa, terlibat di dalamnya dan mereka memegang tampuk pimpinan.

 Mereka menggalakkan kaum tani yang sudah militan itu dengan memberi jimat-jimat dan kekuatan besar. Dan perlawanan revolusioner itu menyebar ke seluruh wilayah Banten sambil berharap munculnya kembali kedaulatan Kesultanan Banten yang bisa mereka harapkan menjadi pelindung yang membawa rasa tenteram dan damai. Kebutuhan akan perlindungan itu penting. Rasa tenteram dan damai sangat penting. Dan itu yang tak mereka miliki.

 Dan mereka yang berjuang hanya dengan militansi itu kalah.Dan diremehkan. Di luar kajian sejarawan Sartono Kartodirdjo masih muncul gerakan kaum tani di bawah Partai Komunis Indonesia yang menjanjikan kepada para petani pembagian tanah agar tiap petani punya tanah dan bisa menikmati hidup adil. Ini berbeda jauh dari corak gerakan yang dikaji dari sudut sejarah tersebut.

 Tapi ini pun mengangkat kembali kaum tani ke permukaan politik.Dengan sikap lebih keras.Lebih politis. Dan Partai Komunis Indonesia (PKI) memberi pemerintah kekuatan politis, yang digunakan secara curang dan seenaknya sendiri: tiap kekuatan mengkritik dianggap melawan pemerintah dan dianggap subversif. Orangnya atau kelompoknya lalu dicap PKI.Dengan cap PKI itu, orang atau kelompok langsung mati. Di masa Orde Baru pun masih tetap ada gerakan protes kaum tani yang mempertahankan hak atas tanah mereka.Protes petani Jenggawah, Jember,merupakan contoh kekuatan politik rakyat yang tak mau dibungkam begitu saja oleh sepatu tentara.

 Tapi ini gerakan berbasis hak dan tidak merupakan gerakan ideologis-politis seperti gerakan kaum tani sebelumnya. Dalam perkembangan lebih lanjut,sejak1980-an,adayangdisebut sebagai “Gerakan Sosial Baru”. Modus lama yang merupakan “gerakan kaum tani” dianggap sudah tertinggal oleh zaman. Isi gerakan baru lebih merupakan usaha merebut hakhak rakyat yang sudah dijamin di dalam konstitusi. Tapi juga dirasuki oleh pencerahan pemikiran kaum feminis.

 Gerakan perlindungan terhadap kaum perempuan, yang juga memiliki hak-hak sosial, ekonomi, dan kultural, tak boleh berhenti hanya pada kalimat-kalimat jaminan. Gerakan itu justru muncul dari bawah untuk memastikan bahwa yang berkuasa sungguhsungguh melaksanakan konstitusi yang menjanjikan perlindungan hak-hak mereka. Dengan kata lain, gerakan mereka terutama menuntut hak yang sudah dijanjikan.

 Namun di sana sini terkadang tampil ideologi yang oleh pemerintah dicemooh secara apriori sebagai ideologi Barat tanpa memerinci apa maknanya Barat dan di mana kelemahan ideologi itu jika harus dipraktikkan di negeri yang bukan Barat ini. Selain feminisme, gerakan penghutanan kembali dan pemeliharaan hutan berbasis masyarakat, gerakan perempuan untuk mengontrol jalannya pemerintahan yang harus berbasis good governance,

 gerakan parlemen bersih,dan berbagai macam gerakan memperjuangkan kepentingan rakyat agar mereka meraih hak-hak mereka tadi patut dicatat sebagai pembawa angin segar dalam kehidupan politik rakyat yang enggan menjadi korban politik terus menerus. Tapi ketika muncul lagi gerakan petani tembakau memprotes ketidakadilan tata kelola pemerintahan yang lebih memojokkan dan mempersulit kaum tani itu, kita diingatkan kembalinya corak gerakan petani abad ke-19 seperti disebut di atas.

 Mereka petani, terorganisasi, dengan militansi, tapi sifat gerakannya juga menuntut hak seperti corak gerakan sosial baru tersebut. Bentukgerakanmerekakhas cara baru: demo, mengajukan judicial review, menuntut ke pengadilan atas peraturan perundangan yang dibuat secara sepihak, dan lebih mengadopsi kepentinganasing. Bahkan,harus dicatat, peraturan perundangan itu memang dibuat karena desakan lobi-lobi asing untuk kepentingan asing sambil dengan sendirinya menyengsarakan rakyat,kaum tani itu sendiri.

 Desakan pemerintah agar petani tembakau beralih ke tanaman lain, bahkan Gubernur Jawa Tengah merangsang dengan iming-iming: petani yang beralih dari tanaman tembakau ke tanaman lain didukung dan diberi uang. Ini mirip peraturan tanam paksa dulu. Kepentingannya jelas: buat bangsa asing. Tak peduli gubernurnya orang kampung di situ-situ juga. Kaum tani bergerak.

 Kaum tani di bawah NU bahkan telah merencanakan bakal melakukan gerakan menuntut peninjauan semua jenis perundangan yang lebih memihak bangsa asing. Ini bakal “meriah” karena perasaan ketertindasan petani sudah memuncak. Kalau pemerintah tak sesensitif terhadap ini, repot mereka.

 Menang atau kalah, mereka dicap terkutuk,karena melindungi bangsa asing. Juga terutama oleh petani tembakau yang hingga kini tetap gigih menuntut dan menuntut agar pemerintah mau belajar lebih adil, lebih nasionalistis. Pemerintah hendaknya melindungi bangsanya sendiri,bukan mengabdi kepentingan asing. ●