Pemihakan Moral
M Sobary ; Esais,
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SUMBER : SINDO, 21
Mei 2012
Kajian sejarah sosial tentang gerakan protes kaum tani
ditandai keresahan, gejolak,dan kemarahan yang mencapai klimaks dalam bentuk
kekerasan. Bentrok fisik, dengan
menggunakan senjata, ilmu silat, dan tenaga dalam, dimantapkan dengan
mantra-mantra dan jimat dari kiai terkemuka.
Di pihak lawan,
ada bedil,granat,mitraliur dan segenap corak senjata otomatis yang bisa
memuntahkan benda-benda modern yang mematikan. Kaum tani di pedesaan Jawa, sebagaimana dapat ditelusuri
melalui karya-karya penting sejarawan Kartono Kartodirdjo, Protest Movements in
Rural Java dan Banten Revolt of 1888, di abad ke-19 dan menjelang abad ke-20,
hidup dalam keresahan karena tekanan politik dan ekonomi pemerintah kolonial
Belanda makin tak tertahankan.
Pemberontakan mereka, sebagai kelanjutan
gerakan protes tadi,berlangsung amat singkat, yang ditandai kekalahan mutlak
dan jiwa yang terpukul telak, terutama karena kaum tani tersebut kurang mampu
berorganisasi dan kurang pengalaman. Dengan begitu, perjuangan untuk
mengembalikan kejayaan dan zaman keemasan pada masa lampau, dengan berpegang
pada gagasan Ratu Adil, yaitu kerajaan surga yang bakal terwujud di bumi,berakhir
porak-poranda.
Mimpi tentang masa lampau yang bakal kembali
hanya tinggal— kata Ebiet—mimpi di atas mimpi. Belanda lalu mengontrol
kehidupan kaum tani di perdesaan Jawa lebih ketat, lebih kejam, lebih tak
berperikemanusiaan. Dan kaum tani, yang terpukul jiwa dan kekuatan barisannya
yang kurang well organized mundur tak teratur, bersembunyi dan tak mau bicara
apa-apa lagi kecuali kenangan getir, bahwa gagasan mistis tentang Ratu Adil tak
bisa diperjuangkan kecuali dengan ilmu, yang tak bisa mereka temukan di dalam
kitabkitab yang mereka baca.
Ilmu milik yang berkuasa itu ilmu modern,
hasil sebuah “ijtihad” modern, yang tak bisa mereka ikuti. Ini paradoks
kebudayaan yang percaya dan menjunjung tinggi ngelmu kadigdayan, kanuragan,
serta ilmu batin, tapi tak dirumuskan secara terbuka dalam formula dan
dalil-dalil objektif, ilmiah, sebagaimana hukum keilmuan yang dipegang kaum
penjajah.
Maka sejarah gerakan protes kaum tani, dilihat
dari pihak kaum tadi, mungkin bisa disebut sejarah gerakan orang-orang yang
kalah dan tak akan pernah mencapai kemenangan dalam bentuk apa pun hingga
sesudah abad-abad lewat, saat kita membaca tragedi gerakan mereka yang membikin
kita ikut merasa pilu.
Gerakan Sosial
Baru
Gerakan sosial baru, yang muncul menjelang
abad ke-21, berutang pada sejarah gerakan protes tersebut, tetapi tak mengambil
apa pun sebagai modal gerakan selanjutnya. Gerakan sosial baru berangkat dari
luka-luka jiwa maupun kebudayaan karena intervensi berlebihan negara dan pasar—
dunia bisnis—ke dalam kehidupan pribadi dan keluarga di dalam civil society
kita. Gerakan ini juga membawa rasa kecewa, cemas, takut, dan frustrasi
berkepanjangan karena kekejaman negara dan
Civil society tertindas dan tak berdaya, dengan terpaksa menelan tanpa
mengunyah doktrin politik dan dunia bisnis yang didukung oleh para ilmuwan
sosial konvensional, yang memberi pembenaran teoretis kepada para penguasa dan
dunia bisnis yang menangguki untung besar karena dukungan keilmuan tadi. Ilmu
yang tidak kritis, tidak manusiawi, membuat pihak lain menderita, tertekan, dan
terus berada di lapis terbawah dalam masyarakat hingga ke titik hilangnya
kemanusiaan mereka.
Ini dilawan dengan gigih oleh gerakan sosial
baru tadi, tapi gerakan mereka tak mengakomodasi gagasan mistis tentang Ratu
Adil dan kerajaan surga yang menggiurkan. Mereka pun tak bermimpi kembalinya
kejayaan para penguasa lokal abad lampau. Gerakan ini modern, bersifat global,
tetapi dengan jeli dan sensitif meng-address isu-isu lokal: gender, human
rights, environment, poverty, women trafficking, kebijakan pemerintah yang tak
adil, penistaan terhadap minoritas, dan semua jenis tindakan yang secara
kebudayaan tidak sensitif, tidak adil, dan tidak akomodatif.
Gerakan ini memandang ke “depan” dengan
pijakan kuat pada problem kekinian yang harus dirampungkan secara adil dan
manusiawi agar kita bisa melangkah ke depan tanpa dibebani problem-problem lama
yang kita anggap sebagai pending matters yang merupakan beban yang seharusnya
tak perlu ada. Jika diingat ciri pokok gerakan yang selalu bersifat global tapi
tak lupa memfokuskan diri pada isu-isu lokal, seperti disebut di atas, maka
apakah idiom yang tepat untuk gerakan itu selain apa yang di masa lampau telah
dideklarasikan dengan rasa bangga: think globally, act locally?
Orang bijak berkata, sejarah sering terulang
dan kini kita menyaksikan sendiri terulangnya idiom gerakan seperti tadi. Dengan
sendirinya tak mengherankan bila para pemikir gerakan sosial baru menolak teori
Marx tentang kelas dan perjuangankelas. Bagi Marx, semua gerakan dalam sejarah
hingga kini tak bermakna lain kecuali sejarah perjuangan kelas. Orang gerakan
sosial baru meyakinkan kita, gerakan sosial baru ini bersifat lintas kelas,
lintas etnik, lintas bangsa. Jadi perjuangan kelas macam apa yang muncul di
situ.
Dan, sekali lagi, seglobal apa pun ciri
orientasi ideologis mereka, fokus gerakannya diletakkan pada isu-isu lokal
tadi. Rajendra Singh,mahaguru di bidang pekerjaan sosial,yang merumuskan
teori-teori gerakan ini, membuka kesadaran ilmiah kita untuk menyikapi
persoalan kekinian dengan gerakan-gerakan nyata, bukan dengan diskusi. Tapi dia
melupakan satu hal: zaman ini, apa yang global dan apa yang lokal, bukanlah dua
entitas yang secara absolut terpisah.
Pasar dan corak kebijakan negara sudah global
sifatnya. Dengan begitu pengaruhnya juga global. Jadi apa yang terjadi di
Trenggalek dan Bintuni tak pernah lepas dari konsensus yang dirumuskan PBB di
New York maupun kebijakan Amerika Serikat yang global,yang dirumuskan di Gedung
Putih.Global dan lokal itu dua hal yang hakikatnya sama karena diakibatkan oleh
hal yang sama.Memisahkannya merupakan sikap salah yang berlebihan. Dalam isu
global yang meresahkan ini, ada panggilan moral bagi kaum intelektual.
Mereka tak boleh hanya melakukan penelitian
secara objektif, imparsial,tidak memihak. Tak memihak itu secara moral salah. Intelektual
atau ilmuwan wajib memihak. Ada industri terhimpit kekuatan asing, yang agresif
dan gigih melobi pemerintah, kita harus memihak.
Ada petani tembakau tertindas oleh kebijakan,
kita harus memihak. Terkutuklah siapa pun orangnya yang tak memihak. Apalagi
bila bahkan membantu kekuatan asing. ●
Petani Tembakau sebagai “The Opressed”
M Sobary ; Esais,
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SUMBER : SINDO, 14
Mei 2012
Ketika di tingkat internasional perdagangan keretek
dipersoalkan dan kemudian ada tekanan— atau bujukan menggiurkan— pada tingkat
nasional agar keretek juga dipersoalkan,maka apa alasan dasarnya yang dianggap
sah,dengan keabsahan yang paling kuat dan karena itu bisa diterima dengan baik
oleh segenap pihak?
Alasan kesehatan
masyarakat, alasan ekonomi, dan kemudian alasan keagamaan, tentang halal-haram.
Inilah puncaknya dan di masyarakat berpenduduk muslim terbesar ini, alasan
halal-haram dianggap dan diharapkan menjadi kekuatan pemungkas untuk membungkam
bisnis keretek yang di Amerika sana mengalahkan telak perdagangan rokok putih. Alasan
demi alasan—juga yang bersumber pada agama— tak begitu manjur.
Ketika Bloomberg Initiative mengumumkan lewat
website tentang gerakan bertawaf dunia untuk “membungkam” bisnis keretek, di
sana diumumkan berapa besar dana yang telah dikeluarkan untuk mendukung langkah
bisnis global yang memakai tedeng alingaling dan berpura-pura berbicara tentang
kesehatan manusia dan masyarakat pada tingkat dunia. Demikian manusiawi,
demikian “care” dan meyakinkan langkah ini sehingga dunia pun guncang. Sangat
banyak pihak tergopohgopoh untuk ikut menyingsingkan lengan baju.Kita maklum,
ini bukan sekadar kerja bakti. Maka, di negeri kita, para pejuang yang menyebut
diri mereka “gagah berani”, sebagaimana tampak pada saat mereka berdiskusi
untuk saling memberi stimulasi,mulai mendesak. Ada suasana “dengki” pada
keretek lebih dari masamasa sebelumnya.
Teriakan mereka: tak ada warisan budaya
segala.Warisan apa? Tak ada tradisi-tradisian. Banyak tradisi yang mati,jadi
tak perlu risau. Tunggu dulu. Mati dan “dimatikan” atau “direncanakan untuk
dimatikan” itu beda. Suatu tradisi penting mati, itu lumrah. Biar saja kalau
memang mati. Usahakan menghidupkannya kembali kalau hal itu mungkin.Tapi kalau
“dimatikan”, pemiliknya jelas tidak rela. Lebih-lebih lagi teriakan penuh
permusuhan untuk dengan bersemangat “memuseumkan” keretek. Selain
langkah-langkah strategis yang disumbangkan para ilmuwan yang terlibat dalam
penelitian ini dan itu,para aktivis, para profesional di bidang medis,muncul
lagi langkah birokrasi yang lebih fandalistis.
Tapi patut dicatat: langkah itu “disokong”
dari pihak luar sana atau “ditekan” dengan target capaian yang ditentukan. Maka
para politikus pun membantu dengan dukungan perundang-undangan,bekerja sama
dengan pemerintah.Kemudian pemerintah—juga pemerintah daerah—menyusun
perda-perda yang mematikan. Perumusan perda sifatnya bukan hanya tidak
transparan dan tidak akuntabel secara sosial, melainkan juga sudah jelas sangat
sengaja mematikan bisnis keretek. Aturan sangat mematikan diberlakukan,tapi
bisnis itu tetap hidup.
Mereka tidak melawan, tapi tetap survive.Bahkan
ketika senjata pemusnah diterapkan, yaitu memberi beban cukai seberat-beratnya,
bisnis itu masih tetap tak tergoyahkan. Semua itu menjadi ancaman mengerikan
bagi petani tembakau.Bila pabrik keretek bisa dianggap “sumber api”kehidupan
petani, maka ketika “sumber api” itu dimatikan, tak usah banyak cingcong, semua
orang yang berpikir tahu, petani tembakau pun dengan sendirinya ikut koit. Tapi
seorang aktivis muda yang sangat dedikatif pada program itu berteriak: saya
akan berada di garis depan membela petani jika seluruh langkah pengaturan
dampak produk tembakau itu bermaksud membunuh petani tembakau.
Hei, ada yang percaya pada suara yang
tak disertai ketulusan politik macam itu? Tidak ada. Dia mungkin mau menutupi sikap para politikus dan birokrat kita
yang tak memiliki empati kerakyatan sama sekali. Dia ingin mengesankan memihak
petani tembakau ketika tampak dan sangat terasa bahwa kebijakan pemerintah di
bidang itu tak memperlihatkan semangat perlindungan pada petani tembakau. Pendeknya,
ingin tampil “heroik” supaya makna aktivis itu terasa bedanya dari para
birokrat dan para politikus. Tapi orang yang sama juga berteriak: naikkan terus
ke tingkat maksimal beban cukai itu. Arahnya?
Kalau bebannya sangat berat, biarlah industri
keretek mati dengan sendirinya. Dengan begitu mereka tak kentara bahwa mereka
terlibat dalam pembunuhan.Tapi siapa yang tak tahu akal culas ini? Adakah
pabrik tak merasakannya? Jangankan pabrik, petani pun tahu arti politik dari
pernyataan itu. Dan perlu dicatat, orang yang berteriak paling keras ini harus
bertanggung jawab atas matinya industri rumah tangga demi industri rumah tangga
di bidang keretek yang gugur dalam jihad melawan kezaliman.
Banyak industri rumah tangga yang telah
menjadi syuhada karena langkah ini. Apa sikap dan tanggung jawab aktivis muda
itu pada kenyataan ini? Dia akan mengatakan bahwa hal itu tak dimaksudkan
begitu, sama seperti dia mengatakan bahwa langkah ini semua tak dimaksudkan
untuk membunuh petani tembakau? Kalau ya,kenapa ada langkah dari Kementerain
Pertanian agar petani tembakau beralih ke tanaman lain? Dia akan menjawab bahwa
dirinya tak tahumenahu? Dan mengapa Gubernur Jawa Tengah sudah dengan tegas
memojokkan tembakau, dengan program yang menekankan barang siapa sudah beralih
dari tanaman tembakau ke tanaman lain akan disubsidi?
Apakah dia juga akan menjawab bahwa dia tak
tahu akan adanya kebijakan daerah ini? Semua kebijakan ini—sekali lagi dibantu
dengan sikap all out oleh sebagian golongan intelektual kita—arahnya buat
mematikan budi daya tanaman tembakau. Dengan kata lain,targetnya jelas: langkah
demi langkah kebijakan itu ditujukan untuk membuat petani tembakau sebagai
golongan tertindas di dalam negerinya sendiri. Para petani tembakau dibikin
menjadi the oppressed, kelompok tertindas, di tengah para sahabatnya sendiri,
di dalam masyarakatnya sendiri, yang dulu begitu ramah dan bersahabat.
Dan diamkah mereka semua? Tidak.Mereka bangkit
dan siap mempertahankan diri di dalam garis “tempur” yang dibentangkan para
penguasa, atas dukungan banyak pihak tadi, demi menuruti tekanan kepentingan
asing.Tentu saja mereka boleh membuat aturan. Tapi petani tembakau meminta,
buatlah aturan yang enak bagi semua kalangan, dengan ketulusan langkah
kebijakan yang secara sosial dan politik akuntabel.
Aturan hendaknya memihak rakyat, juga petani
tembakau, dan bukan membuat petani tembakau merasa tersingkir serta terlunta-
lunta sebagai the oppressed di kampung halaman sendiri. ●
Laskar sebagai
Benteng Perlawanan
Mohamad Sobary; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga
Produk Indonesia
SUMBER : SINDO, 07
Mei 2012
Petani tembakau merupakan sasaran tak langsung, tapi tetap
harus dibunuh seperti mereka berusaha dengan penuh kedengkian membunuh pabrik
keretek di negeri ini. Di zaman modern ini cara membunuh lawan harus modern
pula.
Kemajuan di dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan
diplomasi canggih, yang begitu lembut dan simbolik, harus memberi manfaat nyata
sehingga persaingan yang kejam dalam dunia bisnis ini masih akan terasa halus.
Duit, dalam jumlah besar, ditawarkan sebagai insentif, dan seolah duit itu
wujud kemuliaan surgawi. Pesan utamanya harus merupakan langkah membunuh
keretek, dengan banyak cara, yang kelihatan halus dan diplomatis.
Jika perlu,
rumuskanlah suatu program, yang isinya melindungi manusia, orang per orang, dan
warga masyarakat pada umumnya. Basis programnya boleh sosial, boleh ekonomi,
boleh pula kebudayaan, boleh rohaniah. Kesehatan masyarakat akan kedengaran menarik sebagai program. Dan akan
kelihatan simpatik secara sosial.
Urusan agama, dan hokum halal-haram, menjadi
sangat penting karena ini negeri yang dihuni mayoritas warga negara yang
menunjung tinggi agama. Pemikiran ini strategis–– jika dijadikan
langkah-langkah atau program lapangan, akan menjadi sangat gemilang. Maka
membunuh keretek demi kepentingan asing, pengusaha asing, bangsa asing, yang
sudah sangat lama ingin menguasai bisnis itu, akan menjadi sangat mudah.
Membunuh keretek hanya tinggal perkara waktu. Itu
tidak lama. Langkah asing—yang melibatkan WHO—ini didukung banyak kalangan di
dalam negeri. Pemerintah merupakan pendukung resmi dan paling utama. Mencekik
pabrik keretek dengan menaikkan terus menerus cukai, yang tak akan terpikul
oleh mereka, merupakan jalan terdepan.Ini jalan tol untuk membunuh pesaing,
yaitu pabrik keretek dalam negeri ini.
Tapi, cukai dinaikkan terus hingga jumlah
penerimaan negara mengerikan sekali kedengarannya, tapi pabrik tetap lestari. Seorang
tokoh aktivis muda yang bersemangat, meminta cukai harus naik, naik lagi, naik
lagi, dan seterusnya. Dia tahu, sampai di suatu titik, pabrik akan tak mampu
dan gulung tikar. Dalam benak aktivis ini sudah terjangkit naluri membunuh,
yang semula hanya ada di dalam benak pengusaha asing yang ingin menguasai
keretek kita itu.
Baginya, duit asing disamakan dengan
dana pembangunan. Dia bilang: negara saja hidup dengan bantuan dana asing.Maka
apa salahnya kita menerima uang asing? Para ilmuwan,
kaum cendekiawan, para profesional di bidang medis, politisi, dan sejumlah
aktivis lainnya sependapat. Uang itu
tak mengusik rasa aman, sikap etis, dan kebebasan mereka sebagai tokoh dalam
masyarakat. Mereka tahu, uang bukan sekadar uang. Di balik nilai uang ada
ideologi.
Mungkin ideologi asing, yang beroperasi di
bidang bisnis, mungkin ideologi politik, yang hendak memenangkan perjuangan
politik asing. Kenapa kita bersedia membela mereka, tak dipersoalkan.
Ramai-ramai mereka meneriakkan regulasi pengendalian dampak tembakau tak
bermaksud membunuh petani tembakau. Sikap ini dijeritkan lewat forum-forum
seminar, lewat pengadilan, dan lewat media.
Tapi para petani tembakau, yang hidup di
ladang dan tak pernah bersentuhan dengan politik dan media, mencemooh. “Mereka
itu menggunakan logika apa?” kata seorang petani yang kritis, dalam pertemuan
persiapan untuk mendeklarasikan laskar keretek beberapa hari yang lalu. “Kalau
tak bermaksud membunuh petani tembakau, mengapa pemerintah—bahkan pemerintah
daerah Jawa Tengah sendiri— menyuruh petani beralih ke tanaman lain, selain
tanaman tembakau?
Pikiran aktivis macam apa kalau semangatnya
berbohong, dan tak merasa berdosa menodai kehidupan petani, yang seharusnya
mereka bela?” “Apakah dia berbohong betul?” “Sampean mau membelanya? Apa
Sampeanjuga aktivis, yang berpikiran serupa?” “Dia tak bicara alih tanaman.”
Jawab saya. “Memang tidak.Tapi mustahil dia tak tahu rangkaian program membunuh
keretek itu.
Jika pabrik keretek dimatikan, siapa yang
peduli terhadap petani tembakau? Untuk apa tembakau ditanam kalau pabrik keretek
dimatikan?” Orang Jakarta tak sensitif terhadap kapasitas kaum tani— apa lagi
kaum tani zaman ini— yang tangkas memberikan reaksi kritis. Di Temanggung
beredar tembakau-tembakau dari daerah lain, yang buruk kualitasnya, tapi
dimasukkan ke Temanggung untuk mengacaukan pasaran tembakau Temanggung yang
bagus.
Kualitas tembakau setempat tinggi, dan petani
mempertahankan kualitas itu agar penghasilan mereka tetap tinggi. Datangnya
subversi dagang untuk mengacaukan kualitas tembakau setempat tak mengganggu
sama sekali. Kualitas tak bisa disulap. Maka, orang pun menyebut tembakau
tersebut sebagai tembakau “Temanggungan”. Jadi bukan tembakau Temanggung
sungguhan.
Orang pintar yang culas, tidak jujur, dan
dalam tindakannya sebagai orang sekolahan sengaja menyembunyikan suatu fakta
tertentu demi keuntungan pribadinya di zaman ini mudah ketahuan. Orang biasa,
seperti petani dan buruh yang tak pernah memperoleh pelayanan pendidikan
secukupnya, toh tahu bahwa mereka diperlakukan tak adil. Maka itu, berteriaklah
seribu kali sehari bahwa langkah kalian tak bermaksud membunuh petani tembakau,
niscaya para petani itu tak akan mempercayai Anda.
Komunikasi yang tak terbuka, yang
menyembunyikan suatu corak keculasan, apa pun kepentingannya, tak akan
membuahkan saling pengertian dan “trust” yang dicita-citakan. Semodern apa pun
langkah untuk membunuh keretek, dan sebanyak apa pun jumlah pendukung di dalam
birokrasi dan di lapangan, semua akan ketahuan. Sepandai apa pun para aktivis
yang mendukungnya, jika kepandaian itu tak berlandaskan kebenaran,apa pun
langkahnya akan terbentur-bentur.
Perlawanan tulus para petani, yang
mempertahankan hidupnya, yang dijamin di dalam hak asasi manusia,merupakan
kebenaran yang menyilaukan. Mereka tulus dalam arti sebenarnya. Tak ada
keculasan. Tak ada tipu daya. Kebutuhan mereka hanya bertahan hidup: sesuatu
yang begitu mendasar, sedangkan para tokoh hebathebat di Jakarta bicara tentang
logika yang tak bisa dinalar oleh petani.
“Orang pandai yang tak jujur, tak dihormati. Rohaniwan
yang tak tulus, tak mendapat tempat di hati”. Maka itu, pelan-pelan para petani
membuat persiapan. Mereka mengorganisasi diri. Tokoh-tokohnya memberi
pengarahan: Kita berhimpun dalam laskar bukan untuk menyerang, bukan untuk
berperang. Laskar kita hanya ibarat benteng. Kita bertahan. Benteng harus kuat.
“Jika diserang” “Kita sudah terbiasa diserang.
Tapi, kita tak perlu balas menyerang. Kita
bertahan dalam benteng kebenaran. Kita diam di balik benteng keadilan yang kita
perjuangkan. Kejahatan asing, dibantu bangsa kita sendiri, boleh menyerang.
Tapi kejahatan akan kita kalahkan. Kebenaran akan unggul, jika kita tulus,
setulus-tulusnya, dalam perjuangan ini. “Jika keadaan memaksa, kita bergerak
dengan lascar kita, dan melawan, dengan segenap keluhuran jiwa, yang sudah
teruji berabad- abad di dalam hidup kaum tani.”
Pengarahan berakhir dan massa bubar. Pelan-pelan benteng perlawanan
diperkukuh. ●
Melawan dengan
Kerendahan Hati
Mohamad Sobary, Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga
Produk Indonesia
SUMBER : SINDO, 30
April 2012
Di ladang-ladang tanaman tembakau, ada kepemimpinan. Di
Gunung Sumbing, daerah penghasil tembakau terbaik di dunia, ada tokoh muda yang
kepemimpinannya dirasakan masyarakat petani,jauh di luar batas desanya.
Tokoh ini boleh disebut “orang gerakan”. Dia paham akan jiwa
masyarakatnya, paham dinamika mereka dan paham akan kesenian petani. Dalam
berbagai hal ini dia “pemimpin” yang selangkah didahulukan, seranting
ditinggikan. Terutama oleh kaum muda, sebab jangan lupa, dia juga lurah desa
setempat. Di kaki gunung itu, ada pemimpin lain, yang juga muda, yang wibawanya
memancar luas di kalangan petani. Dia pun lurah,yang berkuasa di daerah lembah
Gunung Sumbing, Temanggung, Jawa Tengah.
Karena posisinya di
dalam organisasiAsosiasi Petani Tembakau tingkat nasional maupun tingkat
daerah, namanya lebih sering muncul di media nasional. Dia yang menggerakkan roda organisasi dan dengan
begitu, dia penggerak jiwa dan semangat kaum tani di wilayahnya. Daerah
penghasil tembakau di Temanggung itu disebut wilayah tiga gunung: Sumbing,
Sindoro, Perahu. Di Gunung Perahu juga terdapat tokoh muda yang sangat berani
dan sikapnya tegas, seperti sikap Bima yang perkasa,sejauh menyangkut nasib
petani tembakau.
Dia juga lurah yang
selalu tampil di setiap momentum penting, di Jakarta
maupun di daerah lain,untuk memperjuangkan nasib petani tembakau. Tiga lurah,
sama mudanya, sama dinamisnya, sama komitmen kerakyatannya. Mereka dulu kuliah
di suatu perguruan tinggi yang sama di Yogyakarta dan
selalu bersatu dalam langkah kepemimpinan di daerah tiga gunung tadi. Mereka
tak bersaing dan tak ada kata “professional jealousy” di antara
ketiganya.Kekompakan mereka itu mengagumkan dan itu pula yang membuat warga
petani tembakau setempat taat dan patuh kepada mereka.
Ketiga pemimpin ini
menghabiskan waktu di luar rumah untuk perjuangan. Mereka mendatangi para
petani di wilayah kabupaten tersebut secara rutin untuk berdialog, siang maupun
malam, dan petani yang jauh dari wilayah kecamatan mereka bertiga bersaksi:
ketiga orang itu nyaris tak pernah beristirahat. Sudah lama saya melakukan
penelitian tentang kehidupan petani tembakau dengan fokus pada gerakan mereka
untuk mengorganisasi diri agar mereka tidak menjadi terlalu rentan terhadap
segenap ancaman yang datang dari luar.
Isu apa pun yang tiba
di wilayah mereka, yang merupakan ancaman, selalu ditanggapi dengan kesiagaan
yang memadai. Ada banyak rangkaian
gerakan perlawanan yang mereka tampilkan.Tapi di sini cukup dibahas satu jenis
gerakan paling mutakhir, yang dideklarasikan 26 April 2012 , di Lapangan Maron, satu setengah kilometer
di luar Kota Temanggung. Di sana
diumumkan terbentuknya kesatuan sikap, kesatuan cara pandang, dan kesatuan
tindakan di dalam wadah gerakan yang disebut Laskar Kretek.
Ada konotasi negatif pada kata “laskar”itu, tetapi
mereka tak peduli. Kalaupun ada laskar yang tidak baik, yang garang dan suka
memancing keributan–– apa pun alasannya––, laskar ini dibangun sebagai kekuatan
kultural di dalam kehidupan para petani tembakau untuk membangun
kebaikan-kebaikan. Dan jika suatu gerakan perlawanan harus diambil,
mereka siap melakukannya dalam bentuk perlawanan yang politically right,
legally correct.
Dengan bangga para
tokohnya menyatakan, di masa pergerakan kemerdekaan dulu, di
Parakan,Temanggung,dikenal Laskar Bambu Runcing, suatu kekuatan politik yang
berbasis pesantren, dengan dukungan rakyat secara luas,di bawah kepemimpinan
para kiai terkemuka. Dalam pertemuan
persiapan deklarasi, tokohtokoh muda ini mendatangi para warga dalam
rapat-rapat di balai desa. Saya ikut hadir dan mencatat apa yang mereka
rencanakan. Utamakan keamanan. Itu kesepakatan mereka. Semua berseragam kaus
bertuliskan “Laskar Kretek” dan ini simbol keluhuran yang harus dijaga.
Siapa di antara anggota sendiri yang membikin
kerusuhan ditindak tegas. Ini momentum para petani itu memperlihatkan kepada
dunia kemampuan mereka berorganisasi. Mereka sadar, jika rusuh, pesan deklarasi
hancur dan yang disiarkan media hanya kerusuhan yang membawa kehancuran itu. Kaum
muda, sekitar 14.000 orang dari keluarga petani tembakau, hadir dan meramaikan
deklarasi tadi.Mereka ini layer kedua dalam masyarakat petani. Teriak
perjuangan mereka jelas: pertanian tembakau, satu-satunya sandaran hidup
terbaik bagi mereka, harus lestari.
Maka, lawan semua ancaman—juga regulasi
pemerintah yang tak adil—yang lebih mengutamakan kepentingan asing. Ini
merupakan ancaman bagi kedaulatan ekonomi mereka. Pendeknya, karena sumber
ekonomi mereka hanya satu-satunya tembakau itu, maka regulasi dan kepentingan
asing merupakan ancaman terhadap hak hidup mereka. Hidup atau mati bersama
tembakau tak bisa ditawartawar. Ini pernyataan yang semestinya membuat para
perumus kebijakan di Jakarta
menjadi agak lebih berhatihati karena menyangkut hajat hidup warga negara.
Hak hidup itu bagian dari hak asasi mereka. Jadi
bagaimana bila hal itu justru diancam oleh pemerintah sendiri? Kebijakan yang
dilandaskan pada semangat membasmi keretek hendaknya disadari,di sana
penuh dilema. Tak mungkin semangat
seperti itu berlangsung di atas landasan kebenaran yang kokoh. Mereka
menjunjung tinggi kesehatan masyarakat,tetapi di saat yang sama mereka membunuh
jutaan warga negara.
Orang perlu berpikir agak sedikit mendalam,
dengan menimbang sisi keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan yang tak bisa
diabaikan, jika betul mereka hendak menampilkan tata pemerintahan yang menjaga
keluhuran bangsa. Laskar ini disiapkan sebagai kekuatan rakyat yang taat kepada
pemerintah dan semua kebijakannya, cinta kepada bangsa, dan siap mengabdi
kepada negara, dengan mengutamakan kedamaian. Meskipun begitu, kalau kebijakan
pemerintah menjadi ancaman, apa boleh buat, mereka melawan.
Kami siap melakukan perlawanan damai dan
serbadengan sikap rendah hati.Pertanian tembakau lestari,petani hidup
makmur,dan kemakmuran itu membangun suasana jiwa yang penuh damai dan
sejahtera. ●
Gerakan Sosial
Kaum Tani dalam Politik
M. Sobary, Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SUMBER : SINDO, 16
April 2012
Kajian-kajian sejarah melalui arsip yang disimpan di negeri
Belanda, yang memuat gerakan-gerakan protes kaum tani pada abad 19, memberi
kesaksian kepada kita bahwa sejak dulu yang namanya kaum tani,yang kelihatannya
lugu dan kurang pengalaman––di masa itu memang lugu dan kurang pengalaman––,
memiliki satu hal yang kini tak lagi ada pada kita: militansi.
Kita sekarang
menjadi lembek. Cenderung menyerah dan tak berdaya? Sejarawan Sartono Kartodirdjo
meraih gengsi dan nama besar dari kajian-kajiannya. Protest Movement in Rural
Java yang berisi kajian mendalam kasus demi kasus gerakan protes kaum tani,yang
militan dan berani tadi, juga menggambarkan situasi politik yang jelas: zaman
resah, zaman penuh ketidakpastian, dengan hanya satu hal yang pasti,
keterancaman.
Hidup petani terancam. Pajak makin
berat. Bahkan barang siapa punya kepala—dan tiap orang pasti punya—harus juga
dipajaki. Petani tak berdaya sama sekali. Karena itu mereka melakukan gerakan-gerakan protes tadi. Dan sifatnya
sporadis, tak berani terlalu terangterangan. Tapi melawan adalah melawan.Mereka
antipenjajah yang kelewat menindas.
Buku kedua, hasil kajian yang ditulis sebagai
disertasi doktornya, Peasant Revolt of Banten, 1888 mengidentifikasi watak
nativistis dan anti asing dengan sangat jelas. Selain membela kepentingan
mereka yang tertindas oleh beban pajak yang berat, mereka juga menggunakan
ideologi keagamaan yang nyata. Maka,para kiai tarekat,yang dianggap terpandang,
berpengaruh luas, dan memiliki kesaktian luar biasa, terlibat di dalamnya dan
mereka memegang tampuk pimpinan.
Mereka menggalakkan kaum tani yang sudah
militan itu dengan memberi jimat-jimat dan kekuatan besar. Dan perlawanan
revolusioner itu menyebar ke seluruh wilayah Banten sambil berharap munculnya
kembali kedaulatan Kesultanan Banten yang bisa mereka harapkan menjadi
pelindung yang membawa rasa tenteram dan damai. Kebutuhan akan perlindungan itu
penting. Rasa tenteram dan damai sangat penting. Dan itu yang tak mereka
miliki.
Dan mereka yang berjuang hanya dengan
militansi itu kalah.Dan diremehkan. Di luar kajian sejarawan Sartono
Kartodirdjo masih muncul gerakan kaum tani di bawah Partai Komunis Indonesia
yang menjanjikan kepada para petani pembagian tanah agar tiap petani punya
tanah dan bisa menikmati hidup adil. Ini berbeda jauh dari corak gerakan yang
dikaji dari sudut sejarah tersebut.
Tapi ini pun mengangkat kembali kaum tani ke
permukaan politik.Dengan sikap lebih keras.Lebih politis. Dan Partai Komunis
Indonesia (PKI) memberi pemerintah kekuatan politis, yang digunakan secara
curang dan seenaknya sendiri: tiap kekuatan mengkritik dianggap melawan
pemerintah dan dianggap subversif. Orangnya atau kelompoknya lalu dicap
PKI.Dengan cap PKI itu, orang atau kelompok langsung mati. Di masa Orde Baru
pun masih tetap ada gerakan protes kaum tani yang mempertahankan hak atas tanah
mereka.Protes petani Jenggawah, Jember,merupakan contoh kekuatan politik rakyat
yang tak mau dibungkam begitu saja oleh sepatu tentara.
Tapi ini gerakan berbasis hak dan tidak
merupakan gerakan ideologis-politis seperti gerakan kaum tani sebelumnya. Dalam
perkembangan lebih lanjut,sejak1980-an,adayangdisebut sebagai “Gerakan Sosial
Baru”. Modus lama yang merupakan “gerakan kaum tani” dianggap sudah tertinggal
oleh zaman. Isi gerakan baru lebih merupakan usaha merebut hakhak rakyat yang
sudah dijamin di dalam konstitusi. Tapi juga dirasuki oleh pencerahan pemikiran
kaum feminis.
Gerakan perlindungan terhadap kaum perempuan,
yang juga memiliki hak-hak sosial, ekonomi, dan kultural, tak boleh berhenti
hanya pada kalimat-kalimat jaminan. Gerakan itu justru muncul dari bawah untuk
memastikan bahwa yang berkuasa sungguhsungguh melaksanakan konstitusi yang
menjanjikan perlindungan hak-hak mereka. Dengan kata lain, gerakan mereka
terutama menuntut hak yang sudah dijanjikan.
Namun di sana sini terkadang tampil ideologi
yang oleh pemerintah dicemooh secara apriori sebagai ideologi Barat tanpa
memerinci apa maknanya Barat dan di mana kelemahan ideologi itu jika harus
dipraktikkan di negeri yang bukan Barat ini. Selain feminisme, gerakan
penghutanan kembali dan pemeliharaan hutan berbasis masyarakat, gerakan
perempuan untuk mengontrol jalannya pemerintahan yang harus berbasis good governance,
gerakan parlemen bersih,dan berbagai macam
gerakan memperjuangkan kepentingan rakyat agar mereka meraih hak-hak mereka
tadi patut dicatat sebagai pembawa angin segar dalam kehidupan politik rakyat
yang enggan menjadi korban politik terus menerus. Tapi ketika muncul lagi
gerakan petani tembakau memprotes ketidakadilan tata kelola pemerintahan yang
lebih memojokkan dan mempersulit kaum tani itu, kita diingatkan kembalinya
corak gerakan petani abad ke-19 seperti disebut di atas.
Mereka petani, terorganisasi, dengan
militansi, tapi sifat gerakannya juga menuntut hak seperti corak gerakan sosial
baru tersebut. Bentukgerakanmerekakhas cara baru: demo, mengajukan judicial
review, menuntut ke pengadilan atas peraturan perundangan yang dibuat secara
sepihak, dan lebih mengadopsi kepentinganasing. Bahkan,harus dicatat, peraturan
perundangan itu memang dibuat karena desakan lobi-lobi asing untuk kepentingan
asing sambil dengan sendirinya menyengsarakan rakyat,kaum tani itu sendiri.
Desakan pemerintah agar petani tembakau
beralih ke tanaman lain, bahkan Gubernur Jawa Tengah merangsang dengan
iming-iming: petani yang beralih dari tanaman tembakau ke tanaman lain didukung
dan diberi uang. Ini mirip peraturan tanam paksa dulu. Kepentingannya jelas:
buat bangsa asing. Tak peduli gubernurnya orang kampung di situ-situ juga. Kaum
tani bergerak.
Kaum tani di bawah NU bahkan telah
merencanakan bakal melakukan gerakan menuntut peninjauan semua jenis
perundangan yang lebih memihak bangsa asing. Ini bakal “meriah” karena perasaan
ketertindasan petani sudah memuncak. Kalau pemerintah tak sesensitif terhadap
ini, repot mereka.
Menang atau kalah, mereka dicap
terkutuk,karena melindungi bangsa asing. Juga terutama oleh petani tembakau
yang hingga kini tetap gigih menuntut dan menuntut agar pemerintah mau belajar
lebih adil, lebih nasionalistis. Pemerintah hendaknya melindungi
bangsanya sendiri,bukan mengabdi kepentingan asing. ●