Kurtubi ; Pengajar Pascasarjana FEUI dan Universitas
Paramadina
KOMPAS, 02 Agustus 2012
Ada semacam benang merah antara mencuatnya kasus Churchill
Mining Plc—sebuah perusahaan tambang Inggris—yang menggugat Pemerintah RI di
Arbitrase Internasional dengan alotnya proses renegosiasi Kontrak Karya
Pertambangan antara Pemerintah RI dan Freeport McMoran.
Freeport adalah perusahaan tambang AS, pemegang kontrak
karya (KK) pertambangan di Papua. Churchill menggugat Pemerintah RI 2 miliar dollar AS (sekitar Rp 19 triliun)
karena merasa dirugikan sebab izin usaha pertambangan (IUP) yang sudah
diperoleh dicabut Bupati Kutai Timur. Pencabutan IUP itu oleh Pemerintah RI
dinilai sah karena sudah memenuhi prosedur dan ketentuan yang berlaku. Apakah
gugatan yang dilayangkan ke pengadilan arbitrase di International Centre for
Settlement of Investment Dispute di Washington, AS, ini akan ditolak atau
dikabulkan, tergantung argumentasi, dalil, dan bukti sah yang dimunculkan
pemerintah di Pengadilan arbitrase.
Karena Pemerintah RI menjadi ”pihak yang
berperkara/tergugat”, semua aset pemerintah, termasuk pesawat Garuda, gedung
KBRI di luar negeri, misalnya, berpotensi disandera jika pemerintah kalah di
pengadilan arbitrase. Tentu ini sangat riskan dan seharusnya bisa jadi
pelajaran yang sangat penting. Di samping kedaulatan negara terancam
hilang/dilecehkan, negara berpotensi dirugikan secara finansial jika
pengelolaan kekayaan tambang dan migas nasional didasarkan atas pola hubungan
langsung antara pemerintah dan investor (business-to-government/B to G). B to G
itu bisa dalam bentuk ”pemberian izin” oleh pemerintah kepada investor, seperti
model IUP di bidang tambang, atau ”kontrak/perjanjian” antara pemerintah dan investor,
seperti model KK di bidang tambang dan model kontrak kerja sama (KKS) di bidang
migas.
Di sinilah letak benang merah antara kasus Churchill dan
alotnya renegosiasi antara pemerintah dan Freeport. Kedua hal ini konsekuensi
dari bentuk pola hubungan langsung antara pemerintah dan perusahaan tambang
atau perusahaan migas internasional. Dalam kasus Churchill, dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU
Minerba), pemerintah (bupati) diberi wewenang penuh mengeluarkan IUP kepada
investor sehingga setiap investor harus berhubungan atau tawar-menawar langsung
dengan bupati. Kewenangan yang diberikan UU Minerba kepada pemerintah daerah
tak diimbangi sistem yang akuntabel, transparan, serta kontrol, koordinasi, dan
sumber daya manusia memadai.
Dengan demikian, penerbitan IUP sangat riskan jadi ajang
”perburuan rente”. Meskipun UU Minerba baru berlaku sekitar dua tahun, IUP yang
sudah dikeluarkan sangat banyak, sekitar 10.500, sebagian besar bermasalah,
termasuk tumpang tindih lahan, seperti dalam kasus Churchill. Pemerintah
menyortir dengan kebijakan clear and clean. Ternyata yang tak lulus clean and
clear masih sangat banyak. Di sini jelas terlihat, model UU Minerba bukanlah
cara pengelolaan kekayaan tambang mineral dan batubara yang tepat.
Pemilik: Negara atau Investor?
Investor yang berhasil memperoleh IUP dari pemda/bupati
seolah telah memperoleh konsesi yang diidentikkan dengan hak menambang dan hak
memiliki bahan tambang yang ada di wilayah IUP. Churchill menggugat Pemerintah
RI meski yang mengeluarkan dan mencabut IUP adalah bupati. Churchill
kemungkinan menganggap potensi bahan tambang di wilayah IUP yang dicabut
miliknya.
Pasalnya, UU Minerba No 4/2009 yang terdiri dari 175 pasal,
termasuk Pasal 4 Ayat 1 dan ayat 2 yang hanya menyebut kata ”dikuasai” negara,
sama sekali tak menyebutkan bahwa cadangan bahan tambang mineral dan batubara
di perut bumi adalah milik negara atau rakyat. Yang terjadi sebaliknya. Dalam
Pasal 92 dinyatakan, hak kepemilikan atas bahan tambang diberikan ke pemegang
IUP jika ia telah membayar iuran eksplorasi atau iuran produksi (royalti) yang
sangat kecil (sekitar 1 persen untuk emas), sangat tak sebanding dengan hak
kepemilikan atas bahan tambang yang diperoleh investor.
Tak dicantumkannya hak kepemilikan negara/rakyat atas
kekayaan bahan tambang mineral dan batubara menunjukkan tafsir atas Pasal 33
UUD 1945 yang dianut UU Minerba ini kelihatannya mengikuti pendapat yang,
antara lain, dilontarkan Erman Rajagukguk, ahli hukum yang bekerja di
Sekretariat Negara RI. Sekneg adalah instansi yang harus dilalui setiap RUU
yang diajukan pemerintah ke DPR.
Erman kerap memberikan pernyataan bahwa kata ”dikuasai
negara” atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya seperti
yang tertulis dalam Pasal 33 UUD 1945 Ayat 3 bukan berarti ”dimiliki’” negara.
”Artinya, dikuasai oleh negara tetapi bukan dimiliki oleh negara,” katanya.
Menurut hemat saya kalau kekayaan alam di perut bumi Indonesia dinyatakan
sebagai bukan milik negara atau rakyat, atau status kepemilikannya disamarkan,
di sini terjadi semacam kevakuman hukum atas status kepemilikan kekayaan alam
yang sangat besar nilainya ini. Karena itu, kekayaan alam ini harus dinyatakan
secara jelas pemiliknya, yakni negara/rakyat. Bukan orang per orang ataupun
pemegang IUP atau KK.
Kekayaan alam berupa cadangan terbukti yang sudah
disertifikatkan pada hakikatnya secara ekonomi merupakan aset/harta bernilai
ekonomi tinggi yang bisa dilokalisasi, diukur, diidentifikasi, dimonetasi,
diperdagangkan, dan bersifat bankable. Oleh karena itu, harus ada pemilik sah.
Kalau UU Minerba tak secara jelas menyatakan status kepemilikan kekayaan
tambang mineral dan batubara di perut bumi Indonesia atau sengaja disamarkan
oleh pembuat UU, pasti ada pihak lain (investor/pemegang IUP) yang akan
mengklaim sebagai miliknya. Dan ini terjadi, terbukti dari dimasukkannya
cadangan bahan tambang di perut bumi sebagai aset dalam laporan keuangan
perusahaan tambang seperti kasus BHP.
Mahkamah Konstitusi sebaiknya segera memberikan tafsiran
yang jelas akan kata ”dikuasai” negara dalam Pasal 33 UUD 1945 atau sebaiknya
UU Minerba segera dicabut, baik melalui uji materi di MK atau oleh presiden
lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) dengan alasan
sangat urgen untuk menyelamatkan aset milik negara agar tak diklaim pihak lain.
Hal ini mengikuti yurisprudensi PM Juanda mencabut Indische Mijnwet 1899 dengan
perppu yang kemudian disahkan DPR menjadi UU No 30 Prp/1960 tentang
Pertambangan.
Renegosiasi Kontrak
Dalam kasus alotnya renegosiasi pemerintah dengan pemegang
KK Freeport, sejatinya ini karena posisi legal pemerintah yang relatif lemah.
Pasalnya, dalam rezim ”kontrak karya” yang berkontrak adalah pemerintah (pola B
to G). Sama dengan rezim IUP dan rezim KKS di migas, pemerintah berhubungan
langsung, tawar-menawar, dan berkontrak dengan investor/perusahaan tambang.
Pemerintah jadi bagian ”para pihak” yang berkontrak. Semua
pasal dalam isi KK yang ditandatangani pemerintah dan pihak investor/Freeport
untuk tambang di Papua 7 April 1967 baru bisa berubah kalau disetujui oleh
kedua belah pihak.
Kalau salah satu pihak tak setuju mengubah bagian/pasal mana
pun dari isi KK, perubahan tak pernah bisa terjadi! Pemerintah berkewajiban
menghormati kesucian kontrak (sanctity of contract) meski di kemudian hari isi
KK ternyata sangat merugikan Indonesia. Pasal yang menyangkut kewajiban
Freeport membayar royalti emas hanya 1 persen juga harus dihormati pemerintah
mengingat pemerintah sendiri yang menandatangani KK! Besaran royalti emas yang
hanya 1 persen jelas sangat tak adil mengingat harga emas saat ini sekitar
1.600 dollar AS per troy once, relatif sangat tinggi dibanding harga emas saat
KK ditandatangani tahun 1967 yang sekitar 200 dollar AS per troy once.
Faktanya, meski Pemerintah RI sudah mengeluarkan PP No
45/2003 pada 31 Juli 2003 yang menetapkan besaran royalti emas jadi 3,7 persen,
kalau Freeport tak setuju, perubahan royalti tak pernah bisa terlaksana hingga
hari ini! Pemerintah tak berdaya, kedaulatan negara RI dilecehkan/hilang dengan
tak kunjung ditaatinya PP No 45/2003 yang sudah berlaku hampir 10 tahun! Dalam
renegosiasi Freeport merasa berada di posisi kuat. Pemerintah tak bisa memaksa
ubah kesepakatan KK, termasuk soal royalti, divestasi 51 persen, smelter, dan
sebagainya.
Kasus Churchill dan KK Freeport bukti sangat jelas
pengelolaan kekayaan tambang dan kekayaan migas dengan UU Migas No 22/2001 yang
menerapkan pola B to G sangat merugikan negara, secara finansial dan kedaulatan
negara. Sebenarnya, Indonesia pernah berpeluang keluar dari kungkungan rezim KK
Freeport di Papua atau setidaknya memperbaiki besaran royalti dengan tak
memperpanjang KK Jilid I yang berakhir 1991. Namun, di bawah pemerintahan
Soeharto dengan Menteri Pertambangan dan Energi Ginanjar Kartasasmita, KK
diperpanjang hingga 2021, antara lain dengan alasan Freeport butuh kepastian
investasi jangka panjang dalam mengembangkan cadangan Grasberg yang ditemukan
1988.
Dalam renegosiasi saat ini, Freeport meminta perpanjangan KK
hingga 2041 dengan alasan kurang lebih sama, untuk jamin investasi jangka
panjang senilai 16,9 miliar dollar AS untuk pengembangan tambang bawah tanah.
Kondisi saat ini tentu tak sama dengan saat perpanjangan KK Jilid I. Model KK
sudah tak ada lagi landasan hukumnya karena UU No 11/1967 sudah dicabut. Rakyat
sudah menyadari selama ini penerimaan negara dari tambang mineral dan batubara
sangat kecil, tak sebanding jumlah produksi, ekspor, dan kenaikan harga bahan
tambang.
Solusi jangka panjang kemelut pengelolaan kekayaan mineral
dan batubara nasional saat ini adalah menghapus pola B to G, baik rezim KK
maupun IUP. Kembalikan kedaulatan dan kekuasaan negara atas kekayaan alam
sehingga bisa memberikan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi rakyat dengan
memperjelas status kepemilikan negara/rakyat atas kekayaan alam di perut bumi.
Investor bisa berkontrak dengan BUMN dalam pola B to B di mana pemerintah
berada di atas kontrak. Bahan tambang mineral dan batubara baru jadi milik
investor setelah diproduksi dan dibagi dengan pemiliknya/negara. Cadangan
terbukti yang sudah bersertifikat, bukan milik pemegang KK atau IUP, tetapi
milik negara yang dibukukan dan dimonetasi oleh BUMN untuk kemakmuran rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar