Jumat, 15 Juni 2012

Isu Strategis Pertemuan Rio+20

Sabtu, 12 Mei 2012


Setiap manusia memerlukan air minum antara 2-3 liter setiap hari. Sekitar 15.000 liter air diperlukan untuk memproduksi satu kilogram daging dan 1.500 liter untuk memproduksi satu kilogram beras. Ketersediaan pangan, energi, dan air harus semakin menjadi prioritas di dalam berbagai agenda internasional, sebab ketiganya merupakan isu strategis dan menentukan masa depan global. Ini juga vital bagi kelangsungan pembangunan suatu bangsa. Namun, isu air, pangan, dan energi sering terlupakan.

Para pemimpin/kepala negara akan bersidang dalam Pertemuan Rio+20, Juni 2012, di Rio de Janeiro, Brasil. Mereka diharapkan mengeluarkan dokumen akhir bernama "Zero Draft" yang kini dalam tahap perundingan. Isu ketahanan pangan, air, dan energi berada dalam paragraf-paragraf pertama bab mengenai isu-isu lintas sektoral.

Ketiganya juga sering disebut sebagai isu yang dapat menjadi pijakan untuk mengembangkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) sebagai pengganti Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) pasca-2015.

Tekanan terhadap kebutuhan dasar manusia tersebut semakin meningkat selama 50 tahun terakhir, sehingga menjadi tantangan bagi model perencanaan pembangunan konvensional. Mencoba memenuhi sisi permintaan hanya melalui pendekatan sektoral secara sepihak terhadap proses yang bersifat saling terkait tersebut, akan menjadi hambatan dalam penyediaan layanan dasar di sektor air, pangan, dan energi.

Pada saat yang sama, dampak kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki serta peningkatan konflik sosial dan geopolitik, kian terasa. Jika gagal mengenali dampak keputusan di satu sektor terhadap sektor lain, akan terjadi ketimpangan serius dalam sistem secara keseluruhan.

Contoh, kebijakan dalam penyediaan pangan akan memengaruhi kebutuhan terhadap air dan energi. Pada saat yang sama, cara pengelolaan, penentuan harga, dan pendistribusian air akan meningkatkan atau menurunkan kebutuhan terhadap energi. Sementara itu, pengadaan lahan untuk memproduksi "biofuels" akan memengaruhi secara signifikan permintaan terhadap air dan mengorbankan lahan yang sedianya memproduksi pangan.

Ketersediaan air, energi, dan pangan masih jauh dari harapan global. Mengingat sekitar 70 persen penduduk dunia akan tinggal di perkotaan (diperkirakan sekitar 9,3 miliar pada tahun 2050), permintaan terhadap air, energi dan pangan akan meningkat secara eksponensial. Diproyeksikan terjadi peningkatan permintaan sebesar 70 persen terhadap produk pertanian pada tahun 2050 dan kenaikan 40 persen terhadap kebutuhan energi pada tahun 2030.

Menurut World Water Forum, pelayanan mendasar tidak tersedia bagi sebagian besar penduduk dunia. Sekitar 2,6 miliar penduduk tidak memiliki akses terhadap sanitasi. Sekitar 0,9 miliar tidak memiliki akses terhadap air minum dan sedikitnya 1,5 miliar penduduk tidak memiliki akses terhadap sumber energi modern.

Oleh karena itu, masih banyak penduduk yang belum terpenuhi hak asasinya dan terampasnya kesempatan dalam pembangunan.

Dalam Jalur

Indonesia berada dalam jalur untuk mengurangi setengah penduduk miskinnya pada tahun 2015 (dari jumlah tahun 2000). Namun, masih banyak upaya yang harus dilakukan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) lainnya, khususnya akses terhadap air minum dan sanitasi.

Proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap air minum dan sanitasi secara berkelanjutan masih belum meningkat secara signifikan. Jumlah penduduk yang menggunakan fasilitas sanitasi yang lebih baik di wilayah perkotaan dan pedesaan masih jauh dari target yang ditetapkan.

Kota-kota besar di Indonesia semakin meningkat secara signifikan. Penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan mencapai hampir 55 persen dari total jumlah penduduk pada tahun 2010. Hal ini memberi tekanan terhadap kebutuhan air yang semakin meningkat. Sayang, ketersediaan sumber daya air juga semakin menipis. Masalah kekurangan air akan semakin sering terjadi di kota-kota besar.

Dalam beberapa kasus, sumber mata air bawah tanah telah digunakan untuk mengatasi kekurangan air tersebut. Namun, penggunaan air yang berlebihan telah mengeringkan sumber mata air dan masuknya air asin di wilayah pesisir. Hal ini telah terjadi di beberapa kota seperti Jakarta.

Masalah yang dihadapi tersebut diperparah dengan minimnya anggaran yang tersedia dan fakta bahwa di beberapa wilayah telah mencapai batas maksimum ketersediaan sumber air berkelanjutan.

Maka, diperlukan langkah-langkah inovatif untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan. Masih ada ruang untuk mencapai standar minimal akses terhadap air, energi, dan pangan secara universal, asal ada komitmen politis yang kuat dan lingkungan yang mendukung.

Namun demikian, situasi kini menunjukkan, efektivitas perencanaan dan pembuatan keputusan konvensional telah mencapai batas maksimumnya dan dapat mengganggu prospek pembangunan berkelanjutan.

Untuk itu diperlukan transformasi dan pendekatan baru. Di antaranya, perubahan dalam pola pikir untuk menerima fakta bahwa pangan, air, dan energi saling terkait, harus dikelola secara komprehensif. Kemudian, pengelolaan sisi permintaan untuk lebih mencerminkan sifat air yang terbatas.

Ini memerlukan komitmen politis tertinggi dan aksi terpadu seluruh pemangku kepentingan. Lalu pengelolaan sumber daya air dan lahan untuk mencapai perimbangan antara ketersediaan pangan, "biofuel" dan pembangunan berkelanjutan. Tak lupa, pengarusutamaan keterkaitan yang semakin meningkat di antara ketiga isu tersebut di setiap perencanaan pembangunan nasional. Terakhir, kepemimpinan yang kuat untuk menginternalisasikan keterkaitan ketiganya.

Hanya dengan menerapkan pendekatan keterkaitan (nexus) inilah dapat lebih dipahami saling ketergantungan ketiganya. Lebih lanjut, kebijakan yang tepat yang mempertimbangkan untung-rugi dari berbagai pilihan kebijakan dapat dikembangkan. Sudah mendesak untuk menerapkan pendekatan keterkaitan itu guna menciptakan berbagai peluang baru mencapai ketahanan ketiganya.

Pelaksanaan perspektif keterkaitan (nexus) tidak akan dapat dicapai seketika, harus diperlukan komitmen terus-menerus. Ada tantangan untuk mengidentifikasi pemecahan masalah yang dapat diterapkan dan mengejawantahkannya menjadi kebijakan yang inovatif dan efektif.

Dengan begitu, dapat memicu perubahan ke arah pembangunan yang lebih koheren. Pada saat yang sama, kearifan lokal harus tetap dipelihara, seperti praktik irigasi subak di Bali. Di atas semuanya itu, diperlukan kepemimpinan kuat untuk memastikan konsistensi pelaksanaan.

Mengingat perhatian yang tinggi Pertemuan Rio+20 terhadap ketiganya, diharapkan muncul deklarasi atas isu tersebut agar diprioritaskan dalam agenda pembangunan nasional setiap negara. Ini sejalan laporan High-Level Panel yang dibentuk Sekjen PBB yang menyatakan, "Sudah saatnya PBB mengadopsi pendekatan keterkaitan ketiganya dan tidak lagi mengotak-kotakkan."

M Siradj Parwito
Penulis bekerja di Kementerian Luar Negeri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar