Senin, 18 Juni 2012

Solusi Iklim

Tejo Pramono, STAF GERAKAN PETANI INTERNASIONAL, LA VIA CAMPESINA
Sumber : REPUBLIKA, 6 Desember 2011


Perundingan perubahan iklim COP 17 masih terus berlangsung sampai 9 Desember ini di Durban, Afrika Selatan. Pertemuan di Durban kali ini cukup menentukan daripada pertemuan sebelumnya karena memutuskan dilanjutkan atau tidaknya Protokol Kyoto pasca-2012.

Jepang, Kanada, dan Amerika Serikat (AS) terang-terangan menolak kelanjutan Protokol Kyoto yang mewajibkan pengurangan emisi bagi negara industri (annex 1 countries). Mereka menginginkan pada pengurangan sukarela atau tanpa target tertentu. Sementara itu, Indonesia bersama negara 77 plus Cina mendukung kelanjutan Protokol Kyoto.

Kita berharap Protokol Kyoto dilanjutkan lagi karena tanpa kewajiban pengurangan emisi di negara industri, mustahil dampak perubahan iklim dikurangi secara drastis. Selain soal kelanjutan Protokol Kyoto, perundingan UNFCCC dihujani banyak kritik karena memunculkan solusi palsu perubahan iklim.

Pengurangan emisi karbon melalui model offsetting alias tukar guling karbon adalah solusi palsu. Pasalnya, negara pengemisi tetap boleh mengemisi asalkan membayar kepada negara berkembang yang mereforestasi hutan.

Bukan Jalan Keluar
Proposal mengenai pengurangan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan serta penjagaan stok karbon atau dikenal dengan REDD+ adalah salah satu bentuk dari praktik tukar guling karbon tersebut. Solusi yang sejati tentunya adalah negara industri melakukan pengurangan emisi secara domestik di negara masing-masing. Sementara, negara berkembang juga menjaga hutannya dari deforestasi.

Soal REDD+ yang kini juga banyak didorong oleh delegasi Indonesia sebenarnya menyimpan persoalan lain yang pelik. Setelah REDD+ dijalankan, akan terjadi pindah atau pengalihan tanggung jawab pengurangan emisi. Setelah negara pengemisi setuju REDD+, kewajiban pengurangan emisi karbon beralih ke negara berkembang yang kini banyak mengajukan diri sebagai penerima proyek REDD+. Jika demikian, bukankah REDD+ adalah jalan 'cuci tangan' dari 'dosa' emisi karbon selama ini dari negara industri.

Hal lain adalah menyangkut kedaulatan pengelolaan hutan di negara berkembang. Setelah REDD+ disepakati, seluruh kegiatan pengelolaan hutan harus disetujui oleh negara yang membiayai REDD+. Artinya, Pemerintah Indonesia dan masyarakat penghuni hutan tidak bebas lagi menentukan pemanfaatan atas hutan yang mereka diami. Bisa dibayangkan apabila negara pendana REDD+ tidak menyetujui, petani dan masyarakat adat di hutan tersebut bisa saja tersingkir karena hutan diperuntukkan bagi karbon, bukan kehidupan rakyat.

Bukan tidak mungkin ke depan konflik antara rakyat penghuni hutan, petani, dan aparat akan meningkat. Pasalnya, pelaksanaan dari REDD+ dipaksakan alias tanpa proses persetujuan dari masyarakat. Walaupun ada mekanisme untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat penghuni hutan melalui //free prior informed consent (FPIP), hingga saat ini, tiada pelaksanaan yang baik. Kalaupun dilaksanakan, prosesnya sangat bias karena masyarakat diiming-imingi dengan janji dana kredit karbon.

Masalah tidak berhenti di situ. Mekanisme pasar karbon untuk pendanaan REDD+ memiliki potensi menjadi ajang spekulasi bisnis karbon oleh spekulan ataupun dikorupsi oleh pejabat pemerintah. Hal itu karena banyak pialang perantara yang menawarkan proyek-proyek REDD+ ke perusahaan-perusahaan yang memiliki kewajiban pengurangan emisi. Dampaknya, akan terjadi pasar karbon di mana transaksi ini menjadi ajang spekulasi.

Dalam situasi semacam ini disayangkan delegasi Indonesia sangat ambisius untuk mendorong pengurangan emisi melalui mekanisme REDD+. Mereka seolah tanpa berpikir panjang bahwa terdapat banyak sekali prasyarat-prasyarat atau modalitas yang kemudian membatasi kedaulatan masyarakat yang tinggal di hutan untuk mengelola teritorinya.

Dewan nasional perubahan iklim Indonesia juga bahkan tidak membuat pembatasan hal-hal apa saja yang bisa menjurus pada spekulasi karbon. Logika berpikir yang melihat perubahan iklim sebagai peluang bisnis adalah awal dari berlarut-larutnya penyelesaian negosiasi perubahan iklim. Akibatnya, konferensi perubahan iklim bergeser dari tujuan untuk meminta pertanggungjawaban para pengemisi karbon, menjadi ladang bisnis karbon.

Penulis ingin mengingatkan delegasi perubahan iklim Indonesia bahwa menjalankan mekanisme pasar dan tukar guling karbon akan membuat Indonesia rugi berlipat-lipat. Sudah dua tahun berturut-turut ini bencana dampak perubahan iklim telah mengakibatkan serangan hama dan membuat Indonesia kekurangan pasokan pangan.

Tidak terbayangkan bencana apa lagi yang akan muncul bila suhu iklim global terus meningkat. Bencana iklim yang meningkat adalah ongkosnya langsung yang harus dibayar hari ini. Adapun potensi pendapatan dari bisnis karbon tidak lebih dari mengharap dapat lotre dari spekulasi karbon.

Solusi Sejati
Bagi Indonesia, ada beberapa solusi sejati yang harus diperjuangkan dalam mengatasi perubahan iklim di tingkat perundingan iklim dan di dalam negeri. Pertama, delegasi perubahan iklim harus berjuang keras agar Protokol Kyoto dilanjutkan dan diimplementasikan dengan prioritas di negara industri tanpa melalui mekanisme offsetting.

Kedua, dana perubahan iklim global melalui Green Climate Fund mempercepat pencairan dana mitigasi dan adaptasi dengan mekanisme yang melibatkan negara-negara berkembang yang menjadi korban dari bencana iklim. Delegasi perubahan iklim Indonesia harus menolak keterlibatan Bank Dunia dalam pengelolaan dana perubahan iklim atas dasar pencemar tidak layak mengelola dana mitigasi iklim.

Adapun di dalam negeri, karena bencana akibat dampak perubahan iklim paling banyak terjadi di sektor pertanian, yang harus dilakukan adalah segera melakukan transformasi model pertanian. Sistem pertanian konvensional ala revolusi hijau, selain ikut meningkatkan emisi gas rumah kaca, juga sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Adapun pertanian agroekologi, yaitu pertanian alami (natural farming) sangat tahan terhadap bencana iklim dengan perolehan hasil yang lebih produktif. Karena itu, untuk menyelamatkan kebutuhan pangan nasional, pemerintah harus segera mengubah pertanian konvensional ke agroekologi.

Kini, telah banyak bukti ilmiah yang menyebut agroekologi bahkan menjadi solusi perubahan iklim. Pertama, agroekologi mampu mengembalikan bahan organik (utamanya karbon) dalam tanah sebanyak 20-35 persen.

Agroekologi akan meningkatkan populasi bakteri nitrogen-fixating yang efektif untuk mengurangi emisi. Bahkan, penelitian Jules Pretty menunjukkan bahwa pertanian agroekologi menggunakan 6-10 kali lipat lebih rendah energi fosil daripada pertanian industrial.

Kedua, mengubah model produksi ternak dan daging yang terkonsentrasi dan industrial menjadi peternakan dengan sistem pakan alami yang terintegrasi dengan produksi pangan, akan mengurangi 5-9 persen emisi GRK. Ketiga, perubahan orientasi konsumen ke konsumsi pangan lokal (food with less carbon foot print) dan segar (minim penyimpanan), akan mengurangi emisi GRK 10-12 persen.

Bila konsumen bisa beralih mengonsumsi pangan lokal, transportasi pangan melalui kargo pesawat bisa diturunkan 140 persen. Kondisi ini juga akan berdampak pada pengurangan emisi dari sektor pelayaran dan penerbangan sebesar dua kali lipat atau sama dengan emisi tahun 1990 (Intertanko 2007). Alangkah besarnya pengurangan emisi GRK Indonesia bila mampu mengurangi impor 4 juta ton gandum per tahun dari benua Amerika.

Keempat, penghentian deforestasi dan rekonversi perkebunan monokultur, termasuk perkebunan agrofuel kembali ke agroekologi berbasis rakyat mampu mengurangi emisi GRK sebanyak15-18 persen. Semoga Indonesia tidak terjebak dalam sistem kasino karbon dan muncul dengan agroekologi sebagai solusi nyata perubahan iklim. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar