Rabu, 11 April 2012

JALAN MENGHINDAR DARI EKOSIDA


Oleh BRIGITTA ISWORO L
Kompas, Kamis, 16 April 2009 | 03:17 WIB

Sejumlah bangsa atau masyarakat tertentu di dunia ini telah hilang dari catatan sejarah karena mereka lenyap tanpa sisa. Yang sering disebut-sebut, karena banyak artefak yang bercerita tentangnya, adalah suku bangsa atau masyarakat Maya. Selain suku Maya, juga ada sebuah masyarakat yang hidup di suatu lembah di bagian utara China. Mereka ko- non mirip Kaukasia (orang Eropa), tetapi mereka pun telah lenyap. Mereka punah.

Ada dua penyebab punahnya sebuah masyarakat, yaitu kerusakan lingkungan yang amat parah dan perang dengan masyarakat lain—yang bisa disertai dengan genosida. Lingkungan yang hancur bisa membawa ke jurang ekosida atau bunuh diri lingkungan (ecocide)—bunuh diri suatu masyarakat akibat perusakan lingkungan.

Proses ekosida, menurut seorang panelis, telah terjadi di sejumlah negara Afrika, antara lain Somalia, Burundi, dan Kongo. Tragedi perang Darfur adalah akibat menurunnya daya dukung lingkungan terhadap kehidupan sehingga terjadi perebutan sumber air.

Untuk hidup, manusia bergantung pada alam, baik alam sebagai ruang, alam sebagai penghasil pangan, alam sebagai penghasil oksigen untuk bernapas, alam sebagai penyedia air, maupun alam sebagai sebuah lingkungan di mana di dalamnya tercakup berbagai ekosistem yang saling bergantung, yang saling menghidupi.

Meningkatnya jumlah penduduk akan melahirkan tekanan lebih besar terhadap lingkungan alam yang berpotensi merusak lingkungan. Lingkungan yang rusak atau hancur secara otomatis akan turun daya dukungnya terhadap kehidupan. Seorang panelis menyebutkan, sumber dari kerusakan lingkungan antara lain adalah pertumbuhan penduduk karena semakin banyak penduduk, akan dibutuhkan semakin banyak sumber daya, di antaranya adalah sumber daya alam.

Persoalan kerusakan lingkungan tersebut antara lain berupa hutan gundul, rusaknya habitat, kerusakan daerah aliran sungai (DAS) yang bisa berakibat tanah longsor, kesuburan tanah hilang, punahnya sejumlah spesies, sulitnya penyediaan air bersih, terbatasnya sumber air, pendangkalan sungai, polusi udara, dan sampah. Itu semua terjadi akibat pembalakan liar, pembukaan tambak dengan menghilangkan kawasan bakau, penggundulan DAS, pertambangan yang tidak menggunakan prinsip- prinsip keberlanjutan, perusakan karst yang menjadi rumah mata air, serta penggunaan tanaman hasil rekayasa genetika.

Di Indonesia, akibat kehancuran lingkungan sudah banyak memakan korban jiwa dan materi, seperti banjir di Kalimantan, yang sebelumnya tak pernah terjadi, perolehan ikan oleh nelayan semakin menurun, polusi udara yang menyebabkan berbagai penyakit, perkara limbah tambang di Teluk Buyat, yang pernah diperkarakan, dan sebagainya.

Seorang panelis menegaskan, pertumbuhan penduduk yang tak terkendali akan mengakibatkan ”ledakan penduduk”. Ledakan penduduk ditambah dengan kebijakan pembangunan tanpa wawasan berkelanjutan akan menghasilkan sebuah kombinasi sempurna yang membawa masyarakat pada suatu situasi ekosida.

Perkembangan penduduk dunia dan Indonesia meningkat amat pesat sesuai deret ukur dengan kurva eksponensialnya terjadi pada akhir abad ke-20, dengan berkembang pesatnya dunia kedokteran yang ditandai dengan penemuan vaksin dan antibiotik sehingga mampu mencegah terjadinya endemi. Sebagai catatan, perkembangan jumlah penduduk yang luar biasa ini sebagian besar terjadi di negara berkembang.

Indonesia, misalnya, pada abad ke-16 hanya berpenduduk 10 juta, 100 tahun kemudian menjadi 14 juta orang, dan pada tahun 1900 sekitar 40 juta orang. Pada tahun 2000 angka itu melejit menjadi 205,8 juta orang— itu pun dengan sekitar 80 juta kelahiran bisa dicegah karena program KB. Tahun 2009 angka ini mencapai 230 juta orang—dengan 100 juta kelahiran dicegah.

Bagaimana dengan 35 tahun lagi? Dengan rumus ilmu demografi, didapat angka jumlah penduduk Indonesia tahun 2044 adalah 411,6 juta orang! Dua kali lipat dari jumlah penduduk 2009. Muncul pertanyaan eksistensial, bagaimana mereka harus hidup dan dihidupi?

Sumber daya manusia

Di ujung lain dari diskursus kependudukan adalah sisi positif dari sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia, ujar seorang panelis, memiliki bobot 80 persen dalam menentukan kemajuan sebuah bangsa. Jumlah penduduk yang tinggi adalah sebuah potensi.

Persoalan kependudukan merupakan sebuah peta besar yang di dalamnya terdapat berbagai persoalan yang saling kait- mengait: persoalan tata ruang, KB, transmigrasi, kesehatan perempuan, ibu, dan anak, kesehatan masyarakat, perubahan iklim, urbanisasi dan migrasi, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, peran serta hak keluarga, dan sebagainya.

Program Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang lahir tahun 2000 adalah puncak komitmen dunia internasional terkait persoalan kependudukan.

Seorang panelis menegaskan, MDGs merupakan titik masuk penanganan masalah kependudukan. MDGs dan kependudukan memiliki hubungan timbal balik yang amat erat. Semakin cepat penanganan kependudukan, semakin cepat pula MDGs akan tercapai.

Delapan tujuan pembangunan dalam MDGs terentang mulai dari persoalan kemiskinan, kelaparan, pendidikan dasar, persoalan kesehatan terkait penyakit malaria hingga HIV/AIDS, menurunkan angka kematian anak balita, dan mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Untuk tercapainya MDGs sekaligus terselesaikannya persoalan kependudukan, panelis itu menggarisbawahi pentingnya kebijaksanaan nasional yang tegas agar program dapat berkelanjutan, koordinasi antarlembaga dengan keharusan mengikis ego- sektoral dan ego-daerah, keterkaitan poryek pemerintah pusat-daerah, mengembangkan kemitraan dengan semua pihak: pemerintah-swasta-masyarakat yang juga bisa diwakili oleh organisasi nonpemerintah.

Di atas itu semua adalah pendekatan masalah dan pemecahan masalah secara holistik. Itu semua adalah kelemahan yang harus diatasi agar masalah kependudukan teratasi sekaligus MDGs tercapai.

Dengan itu ada sedikit harapan: terjadinya ekosida bisa dicegah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar