Oleh BRIGITTA
ISWORO L
Kompas, Kamis, 16
April 2009 | 03:17 WIB
Sejumlah bangsa
atau masyarakat tertentu di dunia ini telah hilang dari catatan sejarah karena
mereka lenyap tanpa sisa. Yang sering disebut-sebut, karena banyak artefak yang
bercerita tentangnya, adalah suku bangsa atau masyarakat Maya. Selain suku
Maya, juga ada sebuah masyarakat yang hidup di suatu lembah di bagian utara
China. Mereka ko- non mirip Kaukasia (orang Eropa), tetapi mereka pun telah
lenyap. Mereka punah.
Ada dua penyebab
punahnya sebuah masyarakat, yaitu kerusakan lingkungan yang amat parah dan
perang dengan masyarakat lain—yang bisa disertai dengan genosida. Lingkungan
yang hancur bisa membawa ke jurang ekosida atau bunuh diri lingkungan
(ecocide)—bunuh diri suatu masyarakat akibat perusakan lingkungan.
Proses ekosida,
menurut seorang panelis, telah terjadi di sejumlah negara Afrika, antara lain
Somalia, Burundi, dan Kongo. Tragedi perang Darfur adalah akibat menurunnya
daya dukung lingkungan terhadap kehidupan sehingga terjadi perebutan sumber
air.
Untuk hidup,
manusia bergantung pada alam, baik alam sebagai ruang, alam sebagai penghasil
pangan, alam sebagai penghasil oksigen untuk bernapas, alam sebagai penyedia
air, maupun alam sebagai sebuah lingkungan di mana di dalamnya tercakup
berbagai ekosistem yang saling bergantung, yang saling menghidupi.
Meningkatnya
jumlah penduduk akan melahirkan tekanan lebih besar terhadap lingkungan alam
yang berpotensi merusak lingkungan. Lingkungan yang rusak atau hancur secara
otomatis akan turun daya dukungnya terhadap kehidupan. Seorang panelis
menyebutkan, sumber dari kerusakan lingkungan antara lain adalah pertumbuhan
penduduk karena semakin banyak penduduk, akan dibutuhkan semakin banyak sumber
daya, di antaranya adalah sumber daya alam.
Persoalan
kerusakan lingkungan tersebut antara lain berupa hutan gundul, rusaknya
habitat, kerusakan daerah aliran sungai (DAS) yang bisa berakibat tanah
longsor, kesuburan tanah hilang, punahnya sejumlah spesies, sulitnya penyediaan
air bersih, terbatasnya sumber air, pendangkalan sungai, polusi udara, dan
sampah. Itu semua terjadi akibat pembalakan liar, pembukaan tambak dengan
menghilangkan kawasan bakau, penggundulan DAS, pertambangan yang tidak
menggunakan prinsip- prinsip keberlanjutan, perusakan karst yang menjadi rumah
mata air, serta penggunaan tanaman hasil rekayasa genetika.
Di Indonesia,
akibat kehancuran lingkungan sudah banyak memakan korban jiwa dan materi,
seperti banjir di Kalimantan, yang sebelumnya tak pernah terjadi, perolehan
ikan oleh nelayan semakin menurun, polusi udara yang menyebabkan berbagai
penyakit, perkara limbah tambang di Teluk Buyat, yang pernah diperkarakan, dan
sebagainya.
Seorang panelis
menegaskan, pertumbuhan penduduk yang tak terkendali akan mengakibatkan
”ledakan penduduk”. Ledakan penduduk ditambah dengan kebijakan pembangunan
tanpa wawasan berkelanjutan akan menghasilkan sebuah kombinasi sempurna yang
membawa masyarakat pada suatu situasi ekosida.
Perkembangan
penduduk dunia dan Indonesia meningkat amat pesat sesuai deret ukur dengan
kurva eksponensialnya terjadi pada akhir abad ke-20, dengan berkembang pesatnya
dunia kedokteran yang ditandai dengan penemuan vaksin dan antibiotik sehingga
mampu mencegah terjadinya endemi. Sebagai catatan, perkembangan jumlah penduduk
yang luar biasa ini sebagian besar terjadi di negara berkembang.
Indonesia,
misalnya, pada abad ke-16 hanya berpenduduk 10 juta, 100 tahun kemudian menjadi
14 juta orang, dan pada tahun 1900 sekitar 40 juta orang. Pada tahun 2000 angka
itu melejit menjadi 205,8 juta orang— itu pun dengan sekitar 80 juta kelahiran
bisa dicegah karena program KB. Tahun 2009 angka ini mencapai 230 juta
orang—dengan 100 juta kelahiran dicegah.
Bagaimana dengan
35 tahun lagi? Dengan rumus ilmu demografi, didapat angka jumlah penduduk
Indonesia tahun 2044 adalah 411,6 juta orang! Dua kali lipat dari jumlah
penduduk 2009. Muncul pertanyaan eksistensial, bagaimana mereka harus hidup dan
dihidupi?
Sumber daya manusia
Di ujung lain dari diskursus kependudukan adalah sisi
positif dari sumber daya manusia. Kualitas
sumber daya manusia, ujar seorang panelis, memiliki bobot 80 persen dalam
menentukan kemajuan sebuah bangsa. Jumlah penduduk yang tinggi adalah sebuah
potensi.
Persoalan
kependudukan merupakan sebuah peta besar yang di dalamnya terdapat berbagai
persoalan yang saling kait- mengait: persoalan tata ruang, KB, transmigrasi,
kesehatan perempuan, ibu, dan anak, kesehatan masyarakat, perubahan iklim,
urbanisasi dan migrasi, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, peran serta hak
keluarga, dan sebagainya.
Program Tujuan
Pembangunan Milenium (MDGs) yang lahir tahun 2000 adalah puncak komitmen dunia
internasional terkait persoalan kependudukan.
Seorang panelis
menegaskan, MDGs merupakan titik masuk penanganan masalah kependudukan. MDGs
dan kependudukan memiliki hubungan timbal balik yang amat erat. Semakin
cepat penanganan kependudukan, semakin cepat pula MDGs akan tercapai.
Delapan tujuan pembangunan dalam MDGs terentang mulai dari
persoalan kemiskinan, kelaparan, pendidikan dasar, persoalan kesehatan terkait
penyakit malaria hingga HIV/AIDS, menurunkan angka kematian anak balita, dan
mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Untuk tercapainya MDGs sekaligus terselesaikannya persoalan
kependudukan, panelis itu menggarisbawahi pentingnya kebijaksanaan nasional
yang tegas agar program dapat berkelanjutan, koordinasi antarlembaga dengan
keharusan mengikis ego- sektoral dan ego-daerah, keterkaitan poryek pemerintah
pusat-daerah, mengembangkan kemitraan dengan semua pihak:
pemerintah-swasta-masyarakat yang juga bisa diwakili oleh organisasi
nonpemerintah.
Di atas itu semua adalah pendekatan masalah dan pemecahan
masalah secara holistik. Itu semua adalah kelemahan yang harus diatasi agar
masalah kependudukan teratasi sekaligus MDGs tercapai.
Dengan itu ada sedikit harapan: terjadinya ekosida bisa
dicegah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar